Muncul di Balai Senat Kampus UGM Yogyakarta, Profesor Bambang Brodjonegoro hadir lebih sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Profesor Bambang datang dengan disertai sejumlah petinggi BRIN saat memberikan kuliah umum tentang kebijakan Kementerian Ristek/BRIN di Kampus Bulak Sumur itu, Rabu (18/12/2019). Sebagai lembaga baru, BRIN telah siap untuk bekerja.
Dalam kuliah umum itu Profesor Bambang menekankan, dunia riset kini tak lepas dari urusan ekonomi. Terkait isu itu, dia menyatakan, Indonesia bertekad untuk memanfaatkan hasil riset dan inovasi untuk melakukan transformasi, dari negara investment-driven economy menjadi innovation-driven economy. Dengan begitu, ekonomi nasional akan bertumpu pada inovasi, tidak lagi bergantung pada investasi yang didikte oleh kondisi pasar yang sesaat.
Dalam implementasinya, hal yang penting adalah menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan yang menghasilkan inovasi, mengkomersialisasikan serta melaksanakan sektor-sektor produksi nasional. ‘’Indonesia perlu segera memperbaiki dan meningkatkan kinerja ekosistem inovasi nasional, agar dapat melahirkan lebih banyak lagi produk-produk inovasi yang mendunia dan menjadi brand nasional,” kata Menristek/Kepala BRIN itu.
Lebih jauh, Profesor Bambang yang mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas RI itu menyatakan, riset dan inovasi membutuhkan optimalisasi kerja sama dari tiga pilar utama, yakni entitas peneliti di Perguruan Tinggi/Lemlitbang (Academicians/researchers), dunia usaha/industri (Businesses), serta pemerintah (Government). Bambang menyebutnya sinergitas Triple Helix. Ketiganya bekerja sama dan berkelindan sesuai kompetensi dan kapasitasnya. Sinergitas tiga elemen ABG ini penting untuk memperkecil “lembah kematian” antara produk riset dan produk inovasi.
Kebijakan Kemenristek/BRIN ialah membangun sinergi di antara tiga jalur ABG itu. Targetnya, produk- produk inovasi bisa meningkat. Maka, Kemenristek/BRIN masih akan melanjutkan dukungannya pada Pusat Unggulan Iptek (PUI) dan Kawasan Sains dan Teknologi (KST) baik yang sudah ada maupun yang baru. ‘’Melalui pendanaan dan insentif untuk riset dan inovasi,” ujar Bambang.
Sebagai Menteri Ristek, Bambang akan memanfaatkan BRIN sebagai wahana teknisnya, laiknya Menteri Perencanaan Pembangunan dengan Bappenasnya. Lembaga BRIN sendiri terbentuk tak lama setelah Kabinet Indonesia Maju terbentuk 23 Oktober silam. Presiden Joko Widodo membentuk BRIN dengan Perpres Nomor 74 tahun 2019, yang mengacu ke Pasal 11 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Menteri Negara Riset dan Teknologi (Ristek) secara ex officio menjabat sebagai Kepala BRIN yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pembentukan BRIN ini adalah langkah konkret untuk mendorong dunia riset menghasilkan inovasi yang secara langsung bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Lembaga riset yang telah ada seperti BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan badan litbang (penelitian dan pengembangan) di berbagai kementerian/lembaga, bahkan badan riset di universtas negeri, akan berada di bawah jalur koordinasi Menristek/Kepala BRIN.
BRIN memiliki otoritas yang kuat. Pasal 2 Perpres No. 74/2019 menyebutkan bahwa BRIN menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, invensi (penemuan) dan inovasi secara terintegrasi. Untuk melakukan tugasnya, BRIN berhak memberikan pengarahan, penyinergian, penyusunan rencana induk, penyusunan program dan anggaran riset-inovatif yang bersumber dari keuangan negara.
BRIN juga diberi otoritas mengeluarkan kebijakan yang mengatur standar kualitas lembaga penelitian, sumber daya manusia dan sarana-prasarananya. Penetapan kualifikasi profesi peneliti, perekayasa dan sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi juga masuk dalam kewenangan BRIN. Urusan izin penelitian yang berisiko tinggi juga ada di tangan lembaga tersebut.
Lebih jauh, BRIN juga akan mengeluarkan aturan tata kelola bagaimana hasil penelitian inovatif dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Terkait hal tersebut, BRIN bertugas melindungi hak kekayaan intelektual atas hasil invensi dan inovasi dari ekosistem ristek Indonesia.
Otoritas besar yang diberikan pada BRIN itu adalah sebuah perubahan yang signifikan dalam tatanan dunia riset dan litbang. Aktivitas riset dan litbang nasional selama ini juga telah melahirkan sejumlah besar inovasi dan invensi (penemuan baru). Berbagai varietas padi, jagung, kedele, adalah hasil buah karya litbang-litbang pertanian. Begitu halnya dengan teknik budi daya ikan patin, udang, lele, rumput laut dan seterusnya. Ada pula banyak inovasi dalam bidang konstruksi jalan, bangunan tahan gempa, energi terbarukan, produk elektronika, mobil listrik, farmasi, petrokimia, dan seterusnya.
Namun, jumlah itu belum cukup banyak untuk memberikan dampak pada kemajuan ekonomi nasional. Indonesia hanya memiliki 9.865 peneliti resmi yang bekerja di lembaga riset dan litbang negara di 2017. Tak ada catatan yag terverifikasi tentang jumlah peneliti di lembaga dan perguruan tinggi swasta. Yang pasti, output penelitian dari Indonesia kalah jauh dibanding negara tetangga, yaitu Singapura atau Malaysia, dan sedikit tertinggal dari Thailand.
Output penelitian itu bisa berupa publikasi ilmiah (jurnal penelitian). Jumlah judul publikasi ilmiah dari Indonesia kalah dari ketiga negara tetangga itu. Begitu pula dengan citation (kutipan), yang menandai berapa banyak publikasi ilmiah Indonesia dijadikan rujukan oleh peneliti asing. Citation ini juga memberi indikasi tentang bobot penelitian serta otoritas penelitinya. Dari segi citation ini, dunia riset Indonesia juga tertinggal dari ketiga negara tetangga. Namun, dibanding negara-negara Asean lainnya, Indonesia lebih baik. Posisi Indonesia ada di peringkat keempat di antara 11 negara Asean.
Yang menjadi persoalan bukan cuma soal peringkat. Dunia riset dan litbang di Indonesia seperti tidak terkoneksi dengan dunia bisnis. Kalangan Akademisi (A), pemerintah alias (G)overnment, dan (B)isnis, seolah jalan sendiri-sendiri. Banyak produk penelitian, meminjam istilah Bambang, yang masuk ke lembah kematian. Tak termanfaatkan di dunia nyata.
Output paten dari dunia riset-litbang Indonesia yang terdaftar di kantor lembaga paten Amerika (yang dijadikan indikator kemajuan sains) masih rendah. Karya paten Indonesia yang terdaftar di sana hanya 333 buah. Thailand 3 kali lebih besar, Malaysia 8 kali, dan Singapura 30 kali. Padahal, dengan anggaran terbatas perlu ada penelitian yang lebih efektif.
Yang terjadi selama ini banyak penelitian yang tumpang tindih. Tak ada diferensiasi yang tegas antara satu lembaga riset dengan yang lain. Dewan Riset Nasional (DRN) memang telah hadir sejak hampir 40 tahun silam, tapi lembaga ini tak cukup punya otoritas untuk membangun sinergitas dan sinkronisasi, apalagi melakukan pengawasan. DRN hanya bisa memberikan arahan secara umum.
Segala persoalan itulah yang kini akan dihadapi oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Tak mau mengulangi nasib DRN, BRIN kini punya otoritas besar, termasuk dalam perencanaan anggaran. Dengan begitu, BRIN punya daya untuk mengontrolnya dari hulu ke hilir. DRN bisa saja tetap dipertahankan untuk menyusun kerangka besar tentang arah pengembangan riset dan litbang.
Sedangkan satu lembaga ahli lainnya, yakni AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang sudah ada sejak tahun 1950-an juga bisa memberikan kontribusi memberikan pedoman etik bagi jalannya kegiatan riset dan litbang di Indonesia. Yang mungkin masih jadi PR bagi Profesor Bambang adalah bagaimana pelibatan sektor bisnis secara aktif dalam kegiatan ilmiah demi menghasilkan invensi dan inovasi tersebut. (P-1)