Indonesia.go.id - Ketika Impor Bernilai Rp42.000 Pun Terkena Jerat

Ketika Impor Bernilai Rp42.000 Pun Terkena Jerat

  • Administrator
  • Minggu, 29 Desember 2019 | 19:38 WIB
PAJAK E-COMMERCE
  Warga memilih barang-barang belanjaan yang dijual secara daring di Jakarta, Jumat (27/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Penurunan ambang batas bebas bea masuk tersebut dilakukan untuk melindungi dan memberikan keadilan kepada pelaku usaha terutama UKM dalam negeri.

Tak dipungkiri, bisnis digital kini tumbuh ibarat cendawan di musim penghujan. Semua bisnis pasti menggunakan pendekatan digital. Harus diakui, bisnis berbasis digital sangat menjanjikan, dan menjawab tantangan di masa depan.

Bagi pelakunya, pebisnis dengan pendekatan digital, Indonesia merupakan pasar yang luar biasa. Bayangkan, negara ini tercatat sebagai negara dengan tingkat populasi terbesar ketiga di dunia ini dengan lebih dari setengah penduduknya sudah melek terhadap internet.

Ini sesuai dengan data Asoasiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2018 yang dirilis pada Maret 2019. Lembaga itu menyebutkan pengguna internet sudah mencapai 171,17 juta orang dari total 264,16 juta jiwa penduduk Indonesia.

Masih merujuk data yang sama, bila dilihat dari wilayahnya, kebanyakan pengguna internet teridentifikasi di wilayah urban (kota), yakni sudah mencapai 74,17%. Sedangkan sisanya 25,9% belum melek internet.

Dari total pengguna, segmen anak milenial atau berentang usia 15-19 tahun yang tingkat meleknya tertinggi, yakni mencapai 91% atau yang paling tinggi dari sisi usia. Sementara medium untuk akses internet kebanyakan menggunakan ponsel dan itu hampir setiap hari.

Dari sisi perilakunya, medium internet juga menjadi ajang untuk transaksi digital terutama produk sandang. Tak dipungkiri, berkah teknologi digital telah menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat negara ini. Data yang dirilis McKensey and Company menyebutkan ekonomi Indonesia akan terdongkrak sebesar 10% melalui aktivitas digital pada 2025.

Pemerintah tentu mendapatkan berkah dan terus mendorong agar masyarakat semakin melek terhadap teknologi digital, termasuk untuk mengkreasikan bisnisnya. Seorang ibu rumah tangga pun kini sudah bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk menambah penghasilan rumah tangganya dengan bisnis berbasis digital.

Namun mereka juga harus mengetahui tanggung jawabnya sebagai warga negara, yakni adanya regulasi bahwa setiap transaksi bisnis berbasis digital atau dikenal dengan e-commerce juga terkena kewajiban pajak.

Potensial Pajak

Wajar saja, besarnya kue bisnis termasuk pemainnya yang menjamur dilihat oleh pemerintah sebagai objek pajak yang potensial di tengah-tengah melemahnya penerimaan pajak untuk pembiayaan negara.

Ada beberapa regulasi berkaitan dengan perpajakan e-commerce. Salah satunya adalah Peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

PMK itu mengatur Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan atas perdagangan barang dan jasa melalui sistem elektronik (e-commerce), baik berupa online retail, classified ads, daily deals, atau media sosial.

Selain itu, PMK itu kembali diperkuat lagi dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019. Regulasi ini mengatur soal perdagangan melalui sistem elektronik atau disebut dengan PP PMSE.

Seperti diakui oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, penerbitan PP No. 80 Tahun 2019 tentang PMSE bertujuan membuka basis perpajakan. Kendati demikian, DJP masih ragu mengimplementasikan beberapa poin dalam pasal tersebut. 

"Jadi ke depan, basis baru akan muncul ketika kita menerapkan PP e-commerce ini. Kedua, mengenai e-commerce ini bagaimana kita memajaki [perusahaan luar negeri] dengan memajaki penghasilannya di Indonesia," tutur Suryo di kantor pusat DJP, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Seperti diketahui, dalam Pasal 7 PP Nomor 80/2019 tertulis setiap PMSE asal luar negeri wajib menujuk perwakilan yang berkedudukan di wilayah hukum NKRI yang dapat bertindak sebagai dan atas nama pelaku usaha yang dimaksud.

Artinya, bagi pelaku ekonomi digital asal luar negeri wajib hukumnya untuk memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipergunakan subjek pajak luar negeri. Adapun mekanisme perpajakan diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Dan, yang terbaru adalah Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menurunkan ambang batas pembebasan bea masuk untuk transaksi via e-commerce dari USD75 menjadi USD3. Artinya, produk-produk luar negeri yang dibeli melalui e-commerce mulai dari harga USD3 d atau Rp42.000 (kurs Rp14.000) sudah dikenai pajak dan bea masuk.

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi menjelaskan, penurunan ambang batas bebas bea masuk tersebut dilakukan untuk melindungi dan memberikan keadilan kepada pelaku usaha terutama UKM dalam negeri.

"Ini menjawab tuntutan masyarakat usaha dan masyarakat umum," ujar Heru ketika memberikan keterangan kepada awak media di Jakarta, Senin (23/12/2019).

"Bahwa pemerintah mesti melakukan perlindungan dan memberikan level of playing field ke pengusaha dalam negeri yang head to head dengan barang-barang kiriman di bawah USD75," tambahnya.

Alasan ambang batas itu diturunkan, seperti disampaikan Pelaksana tugas (Plt) Badan Kebijakan Fiskal Arif Bahrudin, lantaran sebagian besar barang impor yang masuk via e-commerce ke Indonesia senilai USD3,8.

"Karena sebagian besar CN (consignment note/dokumen kepabeanan)-nya di bawah USD75 dan sebagian besar yang banyak muncul senilai USD3,8 per CN sehingga diturunkan jadi USD3 per CN," ujar Arif ketika memberi penjelasan kepada awak media di Jakarta, Senin (23/12/2019).

Sebelumnya, barang kiriman dengan harga di bawah USD75 diberi fasilitas bebas bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Adapun besaran tarif yang diberikan sebelumnya untuk produk-produk impor dengan nilai di atas USD75 atau berkisar 27,5% hingga 37,5%.

Tarif tersebut terdiri atas bea masuk sebesar 7,5%, Pajak Penghasilan (PPN) sebesar 10%, dan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 10% untuk yang ber NPWP dan 20% yang tak memiliki NPWP.

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi pun mengatakan aturan baru tersebut saaat ini sedang diajukan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Setidaknya, membutuhkan waktu seminggu bagi Kemenkumham untuk memproses aturan baru tersebut hingga akhirnya diundangkan.

"Dan aturan baru ini berlaku 30 hari sejak aturan diundangkan atau akhir Januari 2020," ujar Heru.

Bagi pelaku dunia usaha, penurunan threshold bea masuk tersebut tentu disambut positif. Adalah Ketua Umum Himpunan Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo yang menyatakan aturan baru tersebut merupakan kado natal untuk para pengusaha.

Kebijakan ini juga dinilai akan menumbuhkan UKM yang memproduksi barang lokal sehingga akan meningkatkan investasi dan perekonomian. Industri IKM yang selama ini terseok karena dibanjiri produk impor dengan harga murah itu diharapkan mampu bersaing lagi. (F-1)