Indonesia.go.id - Capaian Ekonomi Masih Dihantui Pandemi

Capaian Ekonomi Masih Dihantui Pandemi

  • Administrator
  • Selasa, 29 Desember 2020 | 05:34 WIB
EKONOMI 2021
  Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ketidakpastian yang tinggi karena pandemi Covid-19, membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh berbagai institusi mengalami beberapa kali revisi. Foto: ANTARA FOTO

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 lebih baik dibandingkan rata-rata negara ASEAN meski dalam rentang negatif. Angka pertumbuhan 2021 masih dipengaruhi situasi pandemi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merevisi angka proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia keseluruhan tahun 2020. Pertumbuhannya masih berada dalam rentang negatif, dan kontraksinya lebih dalam, yakni minus 2,2 hingga minus 1,7 persen. Sebelumnya, Menkeu memperkirakannya pada kisaran minus 1,7 hingga minus 0,6 persen. “Memang ini sedikit lebih baik dibandingkan rata-rata negara ASEAN atau emerging market. Tapi kita tetap waspada,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual realisasi APBN per November 2020 di Jakarta, Senin 21 Desember 2020.

Total, pemerintah sudah melakukan empat kali revisi pada 2020. Pada Mei-April, yakni minus 0,4 hingga 2,3 persen, kemudian Mei-Juni 0,4 persen hingga 1,0 persen, September-Oktober minus 1,7 hingga minus 0,6 persen, dan Desember ini minus 2,2 hingga minus 1,7 persen. Dalam outlook 2020, Menkeu menjelaskan, hanya konsumsi pemerintah yang diperkirakan tumbuh positif yakni 0,3 persen. Sedangkan indikator lainnya, seperti konsumsi rumah tangga, tumbuh negatif 2,7 hingga 2,4 persen.

Kemudian, investasi diproyeksi tumbuh negatif kisaran 4,5 hingga 4,4 persen, ekspor terkontraksi 6,2 persen hingga 5,7 persen dan impor juga diproyeksi tumbuh negatif kisaran 15 persen hingga 14,3 persen. Sementara itu, untuk kuartal IV-2020, Menkeu memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran minus 2,9 hingga minus 0,9 persen year of year (YoY).

Menteri Sri Mulyani menjelaskan, ketidakpastian yang tinggi karena pandemi Covid-19, membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh berbagai institusi mengalami beberapa kali revisi. Ternyata tak hanya pemerintah Indonesia saja yang melakukan revisi proyeksi. Sejumlah lembaga keuangan dunia juga melakukannya. Bank Pembangunan Asia (ADB) melakukan empat kali revisi dengan proyeksi terbaru mencapai minus 2,2 persen, IMF tiga kali revisi dengan proyeksi mencapai minus 1,5 persen. Kemudian, Bank Dunia juga empat kali revisi dengan proyeksi mencapai minus 2,2 persen dan OECD juga empat kali revisi dengan proyeksi mencapai minus 2,4 persen.

Bank Dunia melakukan koreksi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini menjadi minus 2,2 persen atau lebih rendah dibandingkan publikasi yang dilakukan pada September lalu, yaitu minus 1,6 persen.

Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Ralph Van Doorn menyatakan, koreksi ini mencerminkan pemulihan yang lebih lemah dari perkiraan, terutama di kuartal III dan sebagian kuartal keempat, akibat pembatasan masyarakat dan meningkatnya kasus Covid-19. “Proyeksi kami untuk 2020 sudah diestimasikan ada sedikit resesi tapi ada perubahan pada 2021 yaitu tumbuh 4,4 persen untuk PDB riil dan 5,5 persen untuk government budget balance,” katanya dalam Indonesia Economy Prospects-December 2020 Edition di Jakarta, 17 Desember.

Meski demikian, Bank Dunia mencatatkan, ekonomi Indonesia 2021 akan membaik dan perlahan menguat pada 2022 yang didasarkan oleh pembukaan ekonomi tahun depan, dan diikuti pembukaan lebih lanjut. Prakiraan ini juga menyertakan  asumsi dilonggarkannya aturan pembatasan sosial di sepanjang 2022.

Bank Dunia memperkirakan, untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan berada di angka 4,4 persen, yang secara umum didorong oleh pemulihan konsumsi swasta. Perkiraan tersebut juga mengasumsikan bahwa kepercayaan konsumen meningkat, dan konsumsi rumah tangga membai akibat pasar tenaga kerja tumbuh dan bantuan sosial yang memadai. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2022 diperkirakan menguat ke level 4,8 persen dengan didorong oleh menguatnya konsumsi, investasi, dan meningkatnya kepercayaan dengan syarat tersedianya vaksin yang efektif dan aman.

Sektor-sektor dengan kontak intensif akan pulih perlahan pada 2021 sampai 2022, namun akan tetap tertahan untuk jasa tertentu, seperti pariwisata. Pertumbuhan dalam sektor-sektor berorientasi ekspor seperti manufaktur dan pertambangan akan didukung oleh pertumbuhan global yang lebih kuat, perdagangan dan harga komoditas.

Di sisi lain, menurut Bank Dunia, proyeksi acuan dasar ini akan dipengaruhi oleh ketidakpastian yang sangat tinggi, terkait dinamika pandemi di Indonesia dan di negara-negara lain. Bank Dunia mencatat adanya potensi pertumbuhan Indonesia merosot menjadi 3,1 persen pada 2021 dan 3,8 persen pada 2022 di bawah skenario buruk pengetatan mobilitas, pertumbuhan global yang lebih lemah dan harga komoditas.

Oleh sebab itu, kinerja pertumbuhan jangka menengah Indonesia sangat bergantung pada penanggulangan potensi dampak negatif krisis terhadap investasi, produktivitas dan modal manusia. “Ini membutuhkan perbaikan efektivitas respons krisis dan reformasi struktural untuk mengangkat potensi pertumbuhan,” tulis Bank Dunia.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen menyatakan, kebijakan mengenai kesehatan publik dan perekonomian yang solid juga menjadi kunci terciptanya pemulihan Indonesia dari dampak pandemi Covid-19.

Dalam acara Indonesia Economy Prospects-December 2020 Edition di Jakarta, Kamis (17/12/2020), Kahkonen menuturkan, pemerintah harus menciptakan kebijakan mengenai kesehatan publik dan perekonomian yang solid karena Indonesia telah mengalami resesi yaitu terkontraksi 5,32 persen pada kuartal II dan minus 3,49 persen pada kuartal III. Meski demikian, ia menegaskan meskipun Indonesia mengalami resesi, bukan berarti tidak ada harapan di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk mempercepat pemulihan.

Kahkonen menyebutkan, tantangan pemerintah Indonesia adalah menyusun sebuah exit strategy untuk mendukung pemulihan ini serta menyusun kebutuhan pengaman ekonomi makro yang tanggap dan sigap.  “Oleh karena itu kita juga perlu memprioritaskan rencana fiskal dan perpajakan sehingga bisa mengurangi pembiayaan,” ujarnya.

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini