Euforia libur panjang di akhir tahun untuk merayakan Natal dan Tahun Baru 2021 yang berlangsung selama delapan hari menyisakan sebuah cerita. Bukan sekadar soal keseruan ritual melepas 2020 dan menyambut 2021, atau kesyahduan merayakan Natal bersama orang-orang terkasih. Ada soal lain yang lebih penting. Yakni meruapnya kekhawatiran akan terjadinya lonjakan kasus penyebaran virus corona. Kekhawatiran itu jelas bukan tanpa alasan.
Berkaca dari pengalaman empat kali momentum libur panjang selama pandemi corona di 2020, memang kerap terjadi lonjakan signifikan jumlah masyarakat yang terpapar virus asal Wuhan, Tiongkok itu.
Libur Hari Raya Idulfitri 22-25 Mei merupakan momentum awal terjadinya lonjakan kasus penderita Covid-19. Harusnya, pengalaman itu bisa menjadi pijakan semua pihak dalam merumuskan kebijakan demi bersama-sama menekan angka kasus.
Mengutip pernyataan Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah dalam webinar mengenai "Covid-19 dalam Angka", 16 Desember 2020, pada momen itu terjadi peningkatan kasus Covid-19 berkisar 70-90 persen.
Efeknya baru dirasakan sejak 6 Juni hingga akhir Juni 2020 atau rentang 10-14 hari kemudian. Ketika itu, pada awalnya jumlah kasus warga terkonfirmasi Covid-19 hanya di angka 600 per hari, tiba-tiba naik menjadi 1.100 per hari.
Libur panjang berikutnya yaitu 15-17 Agustus usai bangsa ini memperingati Hari Kemerdekaan, 17 Agustus. Libur ini dilanjutkan 20-23 Agustus sebagai libur nasional Tahun Baru Islam 1 Muharram. Seperti halnya momentum pertama, libur panjang kedua ini menyebabkan peningkatan kasus penderita Covid-19 sebesar 58-118 persen. Laju positivity rate pun mencapai 3,9 persen pada masa jeda 10-14 hari setelah libur panjang.
Lonjakan kasus kembali terjadi ketika libur panjang keempat saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, 28 Oktober-1 November. Seperti sebelumnya, kenaikan kasus terjadi tiga pekan setelahnya, di mana jumlah penderita baru terpapar Covid-19 melonjak ke angka psikologis di atas 8.000 orang. Angka positivity rate pun melaju deras 13,44 persen.
Segenap upaya telah dilakukan pemerintah saat itu, mulai dari pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), melarang warga untuk bepergian ke luar kota hingga melakukan razia para pelanggar protokol kesehatan, seperti terhadap mereka yang tidak memakai masker atau menciptakan kerumunan.
Pemerintah tak ingin terjadi lagi lonjakan seperti yang sudah. Apalagi jumlah penderita kian hari terus bertambah. Hingga 7 Januari 2021 saja, tercatat sudah ada 797.723 orang terkonfirmasi Covid-19. Termasuk tambahan 9.321 orang dan menjadi kasus tertinggi jumlah orang terkonfirmasi Covid-19 terbanyak sejak pertama kali diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret tahun lalu di Istana Negara.
Pembatasan Kegiatan Masyarakat
"Kita harus betul-betul kerja keras, kerja mati-matian untuk terus menjalankan protokol kesehatan. Survei kita lakukan di lapangan, motivasi disiplin masyarakat terhadap protokol kesehatan berkurang. Pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak mulai berkurang," kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat kabinet terbatas di Jakarta, Rabu (6/1/2021).
Oleh karena itu, pemerintah pun menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) selama 15 hari, yaitu 11-25 Januari 2021 pada sejumlah wilayah di Pulau Jawa dan Bali. Kebijakan PPKM ini sekaligus mengganti istilah sebelumnya, PSBB.
Mengutip pernyataan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto, dalam menentukan wilayah yang akan menerapkan pembatasan kegiatan tersebut, ada empat kriteria yang menjadi acuan. Yakni, berkaitan dengan tingkat kematian, kesembuhan, tingkat kasus aktif, hingga tingkat keterisian rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR).
"Daerahnya sudah ditentukan berbasis pada kota dan kabupaten bukan seluruh provinsi di Jawa dan Bali," kata Airlangga, dalam keterangan pers, seperti dilansir dari kanal Youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kamis (7/1/2021). Berkaca dari pengalaman sebelumnya, penetapan PPKM pada 11-25 Januari mengacu kepada fase 10-14 hari pascalibur panjang.
Salah satu provinsi yang terkena aturan PPKM sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 01 tahun 2021 adalah Jawa Tengah (Jateng). Sebanyak tiga wilayah di Jateng, yaitu Semarang Raya, Banyumas Raya, dan Kota Surakarta telah ditetapkan untuk diberlakukan penerapan PPKM. Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo ketika mengikuti diskusi daring bersama Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito yang disiarkan di kanal Youtube BNPB, Kamis (7/1/2021), mengatakan bahwa kini yang bisa dilakukan adalah memetakan ulang. Selain itu, penerapan dengan melakukan mikro zonasi dan penegasan bahwa itu merupakan pembatasan bukan pelarangan.
Hal lain yang disampaikan Ganjar adalah dari pemetaan ulang itu pemerintah tinggal mengedukasi kepada masyarakat dibarengi pelaksanaan operasi yustisi oleh pihak berwenang. Di sisi lain, ia meminta agar data terkait Covid-19 harus disajikan secara jelas kepada masyarakat. "Ini berjalannya harus paralel. Saya coba libatkan para tokoh agama, tokoh masyarakat, kampus, kelompok milenial untuk kembali cerewet pada persoalan protokol kesehatan," katanya.
Ganjar juga meminta warganya untuk ikhlas menjalani PPKM ini, sebab dalam kondisi seperti saat ini harus ada skala prioritas. Ia berkeyakinan penerapan PPKM akan berimbas kepada perekonomian di daerahnya termasuk sektor pariwisata yang disebutnya bakal merugi. Meski begitu, orang nomor satu di Jateng itu meminta warganya untuk tidak berhenti mengusahakan perekonomiannya melalui cara-cara kreatif. Termasuk, memanfaatkan platform digital.
Kepala Polda Jateng Irjen Ahmad Luthfi pun telah mengambil ancang-ancang untuk memulai digelarnya Operasi Yustisi selama pemberlakuan PKKM. Operasi itu melibatkan personel gabungan dari kepolisian, prajurit Kodam IV Diponegoro, dan petugas Satpol PP. Tak tanggung-tanggung, pihaknya akan menggelar razia sebanyak tiga kali sehari agar masyarakat terbiasa menerapkan protokol kesehatan dalam rangka memutus mata rantai Covid-19. Satu kompi satgas di tiap-tiap polres pun telah disiagakan untuk mengurai setiap kerumunan yang ada.
Beda Pola
Lain lagi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam Instruksi Gubernur nomor 1/INSTR/2021 mengenai PPKM, terdapat 8 poin pokok. Salah satunya membatasi aktivitas kerja di perkantoran hingga 50 persen. Ini berbeda dengan aturan PPKM versi pemerintah pusat di mana aktivitas kerja hanya disisakan 25 persen dan selebihnya, yakni 75 persen, bekerja dari rumah (work from home). Ihwal itu, Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi DIY Kadarmanta Baskara Aji punya jawabannya.
Pihak Pemprov DIY, kata Aji, mempertimbangkan jumlah pegawai di instansi baik organisasi perangkat daerah (OPD), instansi vertikal, dan swasta di DIY yang selama ini menggunakan sistem penghitungan pegawai minimal. Sehingga kalau aturan PPKM versi pemerintah pusat yang diterapkan, maka pelayanan menjadi tidak optimal.
Selain itu, meski pemerintah pusat telah menetapkan lima kabupaten/kota di DIY, seperti Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulonprogo sebagai kawasan PPKM, pemprov setempat memilih melakukannya untuk seluruh wilayah. Aji juga mempersilakan masyarakat membatasi pergerakan di tingkat kampung dengan menggunakan portal, asal tidak menutup satu wilayah.
Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana bahkan mengusulkan adanya screening massal di tempat-tempat berisiko tinggi, dengan menggandeng Universitas Gajah Mada.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/ Elvira Inda Sari
'Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini