Indonesia.go.id - CoronaVac Kick-Off: It’s a Good Start

CoronaVac Kick-Off: It’s a Good Start

  • Administrator
  • Jumat, 15 Januari 2021 | 02:03 WIB
VAKSIN COVID-19
  Vaksinator menyuntikan vaksin COVID-19 Sinovac ke dr. Ezra Oktaliansyah (kiri) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat, Kamis (14/1/2021). Foto: ANTARA FOTO/ M Agung Rajasa

CoronaVac, vaksin besutan Sinovac, memangkas laju penularan Covid-19 sampai 65,3 persen dalam uji klinis di Bandung. Di Brazil, vaksin itu memotong 78 persen laju guliran pasien Covid-19 ke rumah sakit.   

Secara  berturut-turut Pemerintah Indonesia, Brazil, dan Turki menerbitkan sertifikasi emergency use authorization (EUA) untuk vaksin Covid-19  buatan industri farmasi Sinovac Life Science Co dari Tiongkok. Bila Pemerintah Indonesia, lewat Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), menerbitkannya pada Senin (11/1/2021),  Pemerintah Brazil dan  Turki merilisnya masing-masing pada Selasa dan Rabu.

Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito, dalam konferensi persnya, menyebutkan bahwa vaksin CoronaVac itu aman, manjur, dan halal. Sertifikasi vaksin produksi Sinovac itu diikuti dengan kick-off vaksinasi nasional secara bertahap. Presiden Joko Widodo menjadi pengguna pertama, dengan satu dosis suntikan yang diberikan di Istana Negara, Rabu (13/1/2021).    

Tingkat kemanjuran vaksin buatan Sinovac, atau biasa disebut efikasi, mencapai 65,3 persen. Angka itu adalah hasil uji klinis yang dilakukan di Bandung antara Agustus-Desember 2020, dengan 1.600-an relawan. Uji klinis itu diselenggarakan PT Biofarma (persero) dan dilaksanakan oleh sebuah tim ahli  dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad).

Mengacu ketentuan WHO, menurut Penny, vaksin dengan efikasi di atas 50 persen adalah tergolong baik dan manjur. Namun, Pemerintah Turki menyatakan, efikasi vaksin Covid-19 dari Sinocac dalam clinical trial di negaranya mencapai 91,25 persen. Adapun Butantan Institute, semacam BPOM di Brazil, menyebutkan bahwa efikasi vaksin Tiongkok itu hanya 50,4 persen, seperti yang terbukti dalam uji klinis di negeri Samba tersebut.

Isu efikasi ini mendadak sontak mengundang pembicaraan ramai di kalangan masyarakat. Betapa tidak, selama beberapa waktu belakangan tema vaksin terus membetot perhatian publik terkait angka kejangkitan infeksi Covid-19 oleh virus SARS COV-2 yang terus meroket di Indonesia.

Pada saat yang sama beredar berita tentang kinerja vaksin-vaksin buatan Amerika Serikat (AS) yang telah menorehkan angka efikasi yang kuat, seperti vaksin Covid-19 produk Pfizer-Biontech yang mencapai 95 persen, Moderna 94,1%, atau Sinopharm dari Tiongkok yang bisa menorehkan angka 86% pada clinical trial-nya di Uni Emirat Arab. Sementara itu, AstraZeneca dari Inggris mencatatkan efikasi 70 persen dalam uji klinis di Amerika.

Juru Bicara Satgas Covid-19 Profesor Wiku Adisasmito buru-buru menyerukan agar publik tidak ragu mengenakan vaksin dari Sinovac yang telah meraih sertifikasi dari BPOM tersebut. ‘’Pemerintah memastikan, vaksin itu aman, berkhasiat, dan halal,” kata Wiku pada konferensi pers virtual Selasa (12/1/2021).        

Wiku Adisasmito mengimbau agar masyarakat tidak risau dengan efikasi 65,3 persen yang dianggap tak setinggi Pfizer dan Moderna. Kinerja CoronaVac, menurut Wiku, telah memenuhi standar efikasi di atas 50 persen seperti yang ditetapkan WHO, Food and Drug Admistration (FDA) AS, dan European Medicines Agency (EMA).

‘’Efikasi itu diperoleh dari perbandingan efektivitas vaksin antara kelompok yang divaksin dan yang tidak,’’ tutur Wiku Adisasmito pula. Karena merupakan hasil perhitungan statistik, angka capaian efikasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya, jumlah relawan (sampling size), tingkat penularan yang sedang terjadi ketika uji klinis berlangsung, sebaran sampel, serta keragamannya, dan masih banyak kondisi lainnya.  

Angka efikasi 65,3 persen itu menunjukkan bahwa dalam uji klinis di Bandung itu terbukti tingkat kejangkitan Covid-19 pada kelompok yang telah divaksin 65,3 persen lebih rendah dibanding kelompok  yang tidak divaksin dan hanya mendapat suntikan plasebo (kosong). Ada efek pengurangan tingkat kejangkitan. Dalam kondisi pandemi, angka 65,3 persen itu tentu bermakna.

Menghitung Efikasi

Dalam ulasan lewat laman FB-nya, Profesor Zullies Ikawati dari Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta, menekankan bahwa efikasi itu dihitung dalam populasi sampel yang terkontrol. Ia mengandaikan uji klinis CoronaVac di Bandung dengan 1.600 relawan itu terbagi dalam dua kelompok dengan porsi yang seimbang 800:800. Kelompak I diberi vaksin, dan kelompok II hanya menerima suntikan plasebo (kosong).

Selama masa pemantauan 4 bulan, semua dipantau. Hasilnya, diandaikan 26 orang (3,25%) kelompok I  terinfeksi Covid-19, sedangkan pada kelompok II ada 75 orang (9,4%) terinfeksi. Maka, efikasinya dihitung sebagai (0,094–0,0325)/0.094x100 persen=65,3 persen.

Dalam kondisi lingkungan yang lebih endemis dengan tingkat penularan tinggi, kelompok II akan cenderung mencatat persentase kenaikan kasus positif lebih tinggi, dan di kelompok I relatif tetap. Maka, hasilnya bisa diilustrasikan bahwa angka kasusnya adalah 120 orang vs 26. Dengan perhitungan yang sama, maka akan diperoleh efikasi sebesar 78,3 persen. Profesor Zullies menduga, situasi Covid-19 yang berkembang sangat endemik di Amerika boleh jadi membuat uji klinis itu menghasilkan efikasi yang tinggi.

Untuk menghasilkan pengukuran efikasi yang lebih akurat, ruang sampel harus betul-betul terkontrol. Maksudnya, kedua kelompok punya rentang umur dan sebaran usia yang sama, mobilitas yang sama, kondisi kesehatan yang sama, sehingga memiliki tingkat risiko yang sama terhadap paparan Covid-19. Ada pula kecenderungan bahwa pada populasi sampel yang lebih besar, angka efikasi yang dihasilkan akan lebih tinggi.

Profesor Zullies Ikawati termasuk yang tidak risau dengan angka efikasi yang 65,3 persen. ‘’Its a good start,’’ begitu ia menulis di laman FB-nya. Guru besar Ilmu Farmasi dari UGM Yogyakarta itu pun menyatakan siap ikut menjalani vaksinasi.

Kasus Brazil

Uji klinis di Indonesia, AS, dan Turki dilakukan atas warga biasa. Berbeda halnya dari Brazil yang  dilakukan pada relawan (sampel) tenaga medis. Jumlahnya sekitar 8 ribu. Kondisi di Brazil yang sangat endemik tentu menghadapkan para relawan itu pada  risiko yang jauh lebih besar. Boleh jadi, situasi ini  menyebabkan hasil vaksinasi yang “hanya” menurunkan angka penularan 50,4 persen.

Namun, manajemen Sinovac Life Sciences buru-buru melengkapi datanya. Seperti dilansir oleh globaltimes.cn, banyak relawan yang telah divaksin tapi masih positif Covid-19 ketika di-swab dengan mesin PCR. Mereka terpapar tapi tak bergejala atau bergejala ringan, dan sembuh tanpa mereka harus menjalani perawatan di rumah sakit. Artinya, antibodi yang terbentuk secara umum dapat melawan Covid-19 sehingga korban tak mengalami gejala sedang-berat dan harus masuk rumah sakit.

Maka, hasil yang lebih signifikan tampak bila ukuranya ialah jumlah mereka yang terinfeksi, mengalami gejala sedang-berat. Untuk kategori ini, dan berlaku di kalangan tenaga medis, vaksin buatan Sinovac bisa mengurangi risikonya 78 persen. Lebih jauh, dari semua relawan yang divaksin, tak satu pun terserang Covid -19 sampai kategori berat.

‘’Cukup baguslah,’’ kata Dimas Covas, Direktur Butantan Institute yang memimpin uji klinis itu. Pemerintah Brazil memutuskan CoronaVac sebagai salah satu pilihannya. Vaksin CoronaVac juga tak merepotkan dalam penyimpanan dan distribusi, karena tak menuntut suhu penyimpanan ekstra dingin. Lagi pula, kata Dimas, ia nyaris tak menemukan efek samping yang berbahaya dari vaksin buatan Beijing itu.

 

 

Penulis : Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini