Serangkaian gempa mengguncang bumi Sulawesi Barat sepanjang 24 jam, sejak Kamis (14/1/2021) siang hingga Jumat esok harinya. Dua di antaranya bergetar cukup kuat, masing-masing dengan Magnitudo 5,9 dan 6,2 pada skala Richter. Episentrum gempa diketahui pada jalur Sesar Majene-Mamuju, yang menyusur di sekitar garis pantai, yang dikenal cukup aktif.
Ibu Kota Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) Mamuju mengalami kerusakan parah. Bangunan Kantor Gubernur yang berlantai empat ambruk total dan rata dengan tanah. Kantor Wilayah PLN setempat, juga empat lantai, retak-retak pada sekujur dindingnya. RS Daerah Mamuju rusak parah. Banyak bangunan lainnya, serta rumah warga, yang ambruk, retak, dan miring akibat gempa.
Kerusakan di Kota Majene, 110 km di selatan Kota Mamuju, lebih ringan. Getaran gempa lebih banyak merusak rumah warga. Namun, jaringan listrik dan telekomunikasi di kedua kota itu sempat terputus, meski secara bertahap sebagian telah pulih.
Sampai Sabtu (16/1/2021) pukul 12.00 WITA, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana itu merenggut korban jiwa 46 orang, 37 orang dari Kabupaten Mamuju dan 9 dari Kabupaten Majene.
Presiden Joko Widodo pun menyampaikan keprihatinannya. ‘’Atas nama pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, saya menyampaikan duka yang mendalam atas jatuhnya korban yang meninggal dunia,’’ kata Presiden, dari Istana Bogor Jumat (15/1/2021) siang. Laporan atas musibah itu telah diterimanya langsung dari Kepala BNPB Letjen Doni Monardo, dan sesudahnya Presiden Jokowi telah pula berkoordinasi dengan Gubernur Sulbar melalui telepon.
Sejauh ini, bencana lindu di Sulawesi Barat tidak dinyatakan sebagai bencana nasional. Dengan demikian, urusan tanggap darurat bencana akan ditangani oleh Pemprov Sulbar. Namun, Presiden Joko Widodo menyatakan telah memerintahkan Kepala BNPB, Kepala Badan SAR Nasional, Panglima TNI, Menteri PUPR, dan Menteri Sosial untuk membantu aksi tanggap darurat di Sulbar.
Langkah prioritasnya ialah mencari, menemukan, dan mengevakuasi korban, dan merawat mereka yang luka atau cidera. ‘’Saya minta masyarakat agar tetap tenang dan mengikuti petunjuk-petunjuk petugas di lapangan,’’ Presiden menambahkan.
Risiko Gempa
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mewanti-wanti masyarakat Sulbar untuk waspada dengan gempa susulan yang mungkin masih dapat terjadi. Betapa tidak, pascagempa pertama (Magnitudo 5,9), pada pukul 12,35 (waktu setempat), ada sejumlah gempa lagi dan kemudian disusul satu gempa Magnitudo 6,2 sekitar 12 jam kemudian. Dalam 12 jam berikutnya masih ada pula gempa-gempa lainnya, sehingga terjadi 28 gempa dalam waktu 24 jam.
‘’Masih ada potensi gempa susulan yang masih kuat, bisa mencapai kekuatan yang seperti yang sudah terjadi 6,2 atau sedikit lebih tinggi lagi," kata Dwikorita Karnawati, Jumat (15/1/2021) siang. Nah, karena sudah diguncang 28 kali gempa, menurut Dwikorita pula, kondisi batuan sudah rapuh dan ada potensi pusat gempa ada di pantai. Ada kemungkinan terjadi longsor ke dalam laut dan berpotensi menimbulkan tsunami.
Benar saja, gempa susulan tercatat muncul lagi pada Sabtu (16/1/2021) pagi, pukul 05.32 waktu setempat, dengan Magnitudo 5,0. Episentrumnya di daratan 20 km arah timur Kota Majene. Tak ada tsunami. Namun, anjuran kewaspadaan berlaku sampai situasi stabil.
Fenomena gempa bukan hal yang asing bagi Mamuju, Majene, dan Sulbar pada umumnya. Ada lempengan kecil Mamuju Thrust mendesak lempeng sebelahnya (ke arah barat). Titik kritis akibat baku desak itu memanjang di Sesar Majene-Mamuju. Sebagian garis sesar itu berada di darat, sebagian lainnya di laut.
Pada 1929, kawasan ini diserbu gempa dan terulang lagi pada di 1967 di Polewali Mandar yang terletak di sebelah selatan Majene. Kabupaten Mamuju pun diguncang gempa 1969, bermagnitudo 6,9 disertai tsunami, dan 94 orang tewas. Sesar Majene Mamuju hanyalah satu dari sejumlah sesar aktif di Pulau Sulawesi. Pada September 2018, gempa besar 7,5 pada skala Richter terjadi di jalur Sesar Palu Koro di antara Kota Palu-Donggala, Sulawesi Tengah. Gempa yang disertai tsunami dan likuifaksi itu mengakibatkan hampir 2.300 orang tewas atau hilang.
Di luar Sesar Majene-Mamuju dan Palu Koro, masih ada Sesar Melano, Pari-Parit, Sesar Saddang, Sesar Amurang, Likupang, dan sejumlah lainnya. Semua berpotensi menghasilkan gempa. Bukan hanya di Sulawesi, sesar-sesar semacam itu juga banyak terdapat di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Papua, serta Maluku. Berada di daerah busur Ring of Fire, Indonesia harus beradaptasi dengan ancaman laten gempa dan letusan gunung berapi.
Mitigasi Bencana
Sampai saat ini, banyak kota-kota di Indonesia yang berada di dekat sesar-sesar aktif itu. Gempa menjadi cerita sehari-hari. Pada periode 25 Oktober 2020 sampai 16 Januari 2021, tercatat ada 60 peristiwa gempa bermagnitudo di atas 5,0 di seluruh Indonesia. Dari Jumlah itu, ada 5 gempa di atas 6.0 skala Richter. Satu di Sumatra Barat, tiga di Sulawesi, dan satu lainnya di Maluku.
Peta geologis yang menyajikan sesar-sesar itu baru hadir belakangan, sementara kota-kota dan banyak permukiman sudah muncul sejak ratusan tahun lalu. Sebagian kota-kota itu tak dirancang dengan konsep mitigasi bencana. Gempa besar dan tsunami Aceh akhir 2004 yang menelan korban sekitar 200 ribu jiwa itu memberi pelajaran penting. Pascagempa, Badan Restorasi Aceh menata kembali daerah Aceh dengan menyisipkan konsep mitigasi, di antaranya bangunan tahan gempa dan tata ruang untuk menekan dampak tsunami dan likuifaksi.
Seiring dengan waktu, konsep itu diadopsi di banyak tempat, seperti di Yogyakarta pascagempa 2006, Pangandaran (2006), Padang (2009), sampai yang belakangan, yakni gempa Lombok dan Palu pada 2018. Di Palu, desain tahan gempa menjadi syarat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa.
Pemukiman yang hancur pun direlokasi ke tempat-tempat yang menjauh dari garis sesar dan menghindari pula ancaman likuifaksi. Kewaspadaan akan gempa itu pun diadopsi ke rencana tata ruang dan pengembangan kota. Itu bukan kewaspadaan semusim, lantaran potensi gempa ini tidak pernah berakhir.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini