Sekadar rencana aksi tentu saja banyak. Semua bisa bikin. Namun, kali ini rencana aksinya terkait dengan pencegahan dan penanggulangan ekstremisme dan terorisme, yang tentunya cukup langka. Terlebih bila rencana aksi itu tertuang dalam peraturan presiden (perpres), yakni Perpres nomor 7 tahun 2021 yang telah resmi diundangkan per 7 Januari 2021.
Secara lengkap, perpres itu bertajuk “Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (RAN PE) yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024”. Alamat kebijakan presiden ini jelas, yakni pelaku tindakan ekstremisme yang biasa disertai aksi kekerasan dan menjurus pada terorisme.
Perpres ini terdiri 12 pasal saja. Tapi lampirannya lebih dari 100 halaman, berisi rumusan masalah dan serangkaian program aksi yang disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari perpres ini (Pasal 3).
Dalam perpres itu ada unsur pelaksananya ada yang disebut Sekretariat Bersama (Sekber) RAN PE seperti disebut pada Pasal 5. Di situ ada dua kementerian koordinator (kemenko), yakni Kemenko Polhukam dan Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Adapun kementerian/lembaga yang disebut sebagai bagian langsung dari Sekber RAN PE adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kemendagri, Kemenlu, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Tidak berarti kementerian/lembaga yang tidak termasuk dalam deretan unsur Sekber RAN PE itu terbebas dari kewajiban. Pada Pasal 4 dikatakan, menteri dan pimpinan lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan RAN PE, sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 Ayat (2) perpres itu juga memberi kewajiban pada para kepala daerah. Disebutkan, gubernur dan bupati/wali kota, bertanggung jawab atas pelaksanaan RAN PE di daerahnya dengan berkoordinasi ke Kemendagri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu program yang disiapkan untuk RAN PE itu adalah penambahan materi pelajaran pencegahan dan penanggulangan ekstremisme yang mengarah pada terorisme. Materi ini akan diberikan sebagai konten resmi di sekolah-sekolah dan kampus.
Materinya ajarannya akan disusun oleh para ahli dari Kemendikbud yang bekerja sama dengan BNPT dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Salah satu hal yang ditekankan pada mata ajaran ini, seperti disebutkan dalam program itu, adalah metodologi pembelajaran dengan cara berpikir kritis.
Dalam rumusan masalah lainnya, seperti yang dituangkan sebagai lampiran perpres itu, disebut pula adanya kesadaran Presiden tentang belum optimalnya partisipasi tokoh-tokoh masyarakat dalam menyampaikan pesan pencegahan ekstremisme yang mengarah pada terorisme. Di situ tokoh masyarakat yang dimaksud dirinci sebagai tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, pelaku media massa, dan influencer media sosial, serta mantan narapidana teroris.
Pemerintah lewat Sekber RAN PE akan melakukan koordinasi untuk melakukan kampanye kreatif dan melakukan serangkaian pelatihan yang menyasar tokoh-tokoh dan influencer tersebut. Agenda pelatihan berjenjang telah disusun dalam format pelatihan untuk para pelatih (training of trainers).
Pelibatan para tokoh masyarakat itu secara tegas tercantum pada Pasal 8 Perpres 2/2021 itu. Di situ dikatakan, dalam melaksanakan RAN PE, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dan melibatkan peran serta masyarakat. Mengacu pada pasal itu, maka dalam program ini akan mengajak serta mulai dari mantan teroris hingga pegiat medsos.
Pasal pelibatan masyarakat ini mengundang reaksi penolakan dari kalangan aktivis HAM dan sejumlah pengamat hukum. Mereka khawatir, perpres itu dijadikan dasar masyarakat melakukan tindakan sepihak terhadap apa yang dipersepsikannya sebagai ekstremisme. Salah satu rencana aksi yang disorot ialah deteksi dini yang melibatkan masyarakat, yang dianggap bisa membuahkan aksi persekusi.
Namun, kalangan pemerintah menganggap kekhawatiran itu berlebihan. Perpres 7/2021 ini lebih banyak pada kegiatan edukasi dan mendukung cara-cara kreatif untuk bergulirnya kontranarasi atas ekstremisme. Kebijakan ini pun dimaksudkan untuk mendorong kajian kritis atas ekstremisme dan inisiatif warga masyarakat untuk melakukan deteksi dini. Tak ada jalan melakukan tindakan sepihak atas nama hukum. Perpres ini hanya melibatkan masyarakat sipil. TNI-Polri tidak diikutsertakan.
Perpres tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk mengambil tindakan hukum. Terhadap para pelaku tindakan ekstremisme yang diduga telah melanggar hukum, pihak yang akan melakukan penindakan adalah para aparatur penegak hukum, dengan bersandar kepada hukum perundang-undangan yang sah, di antaranya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini