Indonesia.go.id - Bisnis Telekomunikasi Butuh Konsolidasi

Bisnis Telekomunikasi Butuh Konsolidasi

  • Administrator
  • Minggu, 30 Desember 2018 | 10:58 WIB
PERSAINGAN INDUSTRI
  Menera telekomunikasi BTS. Sumber foto: Dok BTS

Di tengah-tengah ketatnya persaingan industri layanan telekomunikasi bergerak, konsolidasi menjadi jawaban dalam mengatasi persoalan tersebut.

Selamat tinggal layanan broadband wireless acces (BWA). Itu terjadi setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan pengakhiran penggunaan pita radio frekuensi bagi tiga operator, yakni PT First Media Tbk, PT Internux, dan PT Jasnita Telekomindo, pada Jumat (28/12/2018).

Konsekuensi pencabutan penggunaan frekuensi radio itu otomatis menyebabkan layanan mereka pun terhenti. Vonis itu tentu menjadi kado pahit bagi ketiga operator tersebut. Namun, keputusan final pemerintah dengan pencabutan penggunaan pita frekuensi sesungguhnaya sudahlah sangat tepat.

Apa pasal ketiga operator layanan BWA itu harus dicabut hak penggunaan frekuensi radionya? Ketiga operator BWA itu dinyatakan tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) spektrum frekuensi radio kepada negara. Total tunggakannya pun tidak sedikit, yakni sekira Rp710 miliar.

Di Indonesia, penggunaan teknologi berbasis WBA di mulai pada 2013. Ketika itu teknologi berbasis WBA, bersama-sama dengan teknologi bergerak lainnya, diharapkan bisa mendongkrak layanan komunikasi data di negara ini. Akhirnya, pemerintah membuka 30 lisensi layanan berbasis BWA di 15 zona di Indonesia.

Ada sebanyak delapan perusahaan yang memenangkan 15 zona itu, antara lain, PT Berca Hardaya Perkasa yang memperoleh 14 lisensi BWA, PT Telekomunikasi Indonesia (lima lisensi), PT Indosat Mega Media (satu lisensi), PT First Media Tbk (dua lisensi), PT Internux (satu lisensi), PT Jasa Telekomindo (satu lisensi), PT Konsorsium Wimax Indonesia (tiga lisensi), dan Konsorsium PT Comtronic System (tiga lisensi).

Dalam perjalanannya, operator berbasis BWA yang beroperasi hanya menyisakan dua operator Internux (Bolt) dengan wilayah operasi di zone 4 yang meliputi Jabodetabek dan Banten. Sementara itu, jangkauan layanan First Media (KBLV) meliputi Sumatra bagian utara, Jabodetabek, dan Banten. Dan meski tidak beroperasi, Jasnita Telekomindo dengan wilayah layanan di Zona 12, yakni Sulawesi bagian Utara, tidak pernah mengembalikan lisensi penggunaan frekuensi.

Kedua operator, yaitu First Media dan Internux,  memiliki tunggakan pokok plus denda hingga Rp708,4 miliar. Nilai sebesar itu masing-masing First Media sebesar Rp364,84 miliar dan Internux Rp343,57 miliar.

Begitu juga dengan PT Jasnita Telekomindo. Mereka, salah satu pemenang layanan BWA, masih memiliki tunggakan BHP frekuensi senilai Rp2,19 miliar. Perusahaan itu tidak pernah beroperasi komersial sehingga tunggakannya tidak sebesar dua operator di atas. Bahkan, mereka telah mengembalikan alokasi frekuensi radio yang tak pernah digunakannya pada 19 November 2018.

First Media menunggak BHP frekuensi untuk periode 2016 dan 2017 untuk Zona 1 dan 4, yaitu wilayah Sumatera bagian utara, Jabodetabek, dan Banten. Sementara itu, Internux juga belum membayar BHP frekuensi 2,3 GHz selama dua tahun terakhir pada wilayah operasi di Zona 4, yaitu Jabodetabek dan Banten.

Berkaitan dengan pengakhiran penggunaan pita frekuensi radio 2,3 GHz untuk Internux, First Media, dan Jasnita, pemerintah mengeluarkan tiga surat keputusan Menteri Kominfo, yakni nomor 1011, 1012, dan 1013 tahun 2018.

Ketiga surat keputusan Menkominfo itu berupa Pencabutan Izin Pita Frekuensi Radio untuk penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis Packed Switched yang menggunakan pita frekuensi radio 2,3 GHz untuk keperluan layanan pita lebar nirkabel (WBA) untuk Internux, First Media, dan Jasnita.

Pelanggan Tak Banyak

Menurut data Kementerian Kominfo, Internux dan First Media memiliki sebanyak 10.169 pelanggan aktif dengan nilai kuota di atas Rp100.000-an per 20 November 2018. Per 25 November 2018, pelanggan aktif kedua operator itu hanya menyisakan 5.056 pelanggan dengan nilai kuota Rp100.000-an.

“Berdasarkan data itulah, kami hari ini (Jumat, 28/12/2018) melakukan pengakhiran penggunaan pita frekuensi radio 2,3 GHz untuk Internux, First Media, dan Jasnita. Pengakhiran dilakukan karena ketiga operator tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar BHP kepada negara,” kata Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kominfo Ismail.

Kominfo juga meminta kedua operator itu untuk melakukan shutdown terhadap core radio network operation center (NOC) agar tidak dapat lagi melayani pelanggan menggunakan pita frekuensi radio 2,3 GHz. Berkaitan dengan dampak terhadap pelangganya, Ismail meminta kedua operator itu untuk menindaklanjuti tata cara pengembalian pulsa dan kuota pelanggan.

“Selain itu, kami meminta agar hak-hak pelanggan lainnya, yang sekiranya masih ada juga ditindaklanjuti. Kami bersama BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) akan terus memonitor proses  tersebut,” tandasnya.

Kementerian Kominfo, menurut Ismail, senantiasa tegas dan konsisten terhadap ketentuan yang berlaku. “Namun, kami juga tetap mempertimbangkan dan mengutamakan kepentingan pelanggan agar tidak dirugikan dengan adanya pengakhiran tersebut,” tambahnya.

Khusus soal teknis penyelesaian tunggakan kewajiban ketiga operator itu, Kementerian Kominfo telah melimpahkan dan akan diproses lebih lanjut oleh Kementerian Keuangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Apa pelajaran yang berharga dari penghentian penggunaan frekuensi radio terhadap ketiga operator telekomunikasi tersebut? Menurut hemat penulis, industri jasa layanan telekomunikasi merupakan bisnis yang padat modal. Investor harus memiliki nafas yang kuat dari sisi permodalan dan memiliki daya tahan di tengah-tengah persaingan ketat para pelakunya.

Begitu juga dari sisi teknologi. Industri telekomunikasi merupakan industri yang siklus teknologinya sangat cepat. Bila ingin tetap bersaing, pelaku bisnis industri itu harus siap untuk terus memperbaharui teknologinya. Artinya, bila ingin pelanggannya puas dan tidak lari, maka kecepatan layanan komunikasi data wajib prima. Bila tidak, pelanggan akan lari dan mencari operator lain.

Menurut Menkominfo Rudiantara, pemerintah menilai konsolidasi merupakan jawaban terhadap tren industri jasa layanan telekomunikasi bergerak yang semakin ketat persaingannnya. Misalnya, dengan menggunakan instrumen perang harga.

“Kunci untuk mengatasi masalah itu adalah dengan konsolidasi sehingga skala ekonomi operator meningkat dan efisiensi pun terjadi,” bebernya.

Wajar saja bila pemerintah memberikan saran seperti itu, yakni menempuh jalan konsolidasi. Sebab dari sisi korporasi, mereka bisa langsung mengambil keputusan sehingga tercapai skala ekonomi terutama dari sisi efisiensi. Apalagi, tren teknologi yang cepat berubah sehingga investor pun wajib menyesuaikannya bila ingin tetap kompetitif bisnisnya.

Di sisi lain, spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya terbatas. Adanya penghentian penggunaan spektrum frekuensi radio tentu memberikan imbas lainnya. Pemerintah pun bisa memanfaatkan spektrum radio yang kosong itu bagi kepentingan lain yang ujungnya bermanfaat bagi masyarakat secara luas selain tentunya mendongkrak daya saing ekonomi nasional. (F-1)