Ketika mengunjungi suatu daerah tak lengkap rasanya jika tak membawa pulang hasil kerajinan khasnya. Begitu pula ketika melancong ke Sumatra Barat (Sumbar) yang selama ini dikenal dengan produk kerajinan tradisional bernilai seni tinggi, misalnya bordir. Di Ranah Minang, kerajinan bordir telah dikenal sangat lama oleh masyarakatnya.
Dikutip dari buku karya A Wachid, Hajjah Rosma dan Nukilan Bordir Sumatra Barat terbitan tahun 1997 disebutkan bahwa bordir dibawa oleh beberapa bekas tentara milik Gubernur Jenderal Stamford Rafless yang memerintah Bengkulu sejak Maret 1818. Mereka berasal dari Kalkutta, India, dan memilih pergi ke Pariaman (Sumbar) dibandingkan pulang ke negerinya begitu Rafless mengakhiri kekuasaannya di Sumatra pada 1822.
Kerajinan bordir Sumbar mulai berkembang pada 1960 dan mencapai puncak kejayaannya pada era 1970-an hingga awal 1990. Salah satu produk kerajinan bordir Sumbar yang terkenal adalah kerancang.
Bordir kerancang terbilang unik karena berupa kreasi bordir halus dengan metode membentuk lubang-lubang pada wadah kain yang akan dibordir. Pada dasarnya semua bahan dasar kain bisa dijadikan wadah untuk dikerancang asalkan tidak menggunakan kain berbahan sutra asli. Ini disebabkan proses kerancang salah satunya dilakukan dengan cara meregangkan kain. Jika kain yang dijadikan sebagai wadah kerancang terlalu lembut dan halus seperti sutra dikhawatirkan akan rusak dan tidak maksimal.
Karya Seni Tinggi
Menurut pengamat seni rupa dari Institut Seni Indonesia Padang Panjang Erizal, bordir kerancang dijahit langsung pada wadah kain seperti mukena, kerudung, kebaya, baju kurung dan baju koko. Ada pula kain untuk alas meja, taplak piring atau gelas, dan sarung bantal. Bagian yang umumnya dikerancang adalah tepi atau bawah kain. Motif kerancang biasanya terinspirasi dari alam seperti tumbuhan, hewan, kaligrafi, dan lainnya. Setidaknya ada 12 teknik kerancang yang diterapkan, di antaranya, kerancang kursi, pahat, silang, sapu, papan, dan kerancang potong. Dipadu dengan bordir bermotif indah seperti pucuak rabuang (pucuk rebung), itiak pulang patang (itik pulang petang), atau kaluak paku (lengkung pakis).
Warna yang dipakai adalah kombinasi kontras seperti merah dan kuning, biru dan merah, ungu dan merah muda. Ada juga kombinasi warna harmonis seperti kuning kehijauan, oranye kemerahan, ungu kebiruan serta kombinasi warna senada, misalnya, cokelat tua dan muda, hijau tua dan muda dan lain-lain.
Pemerhati desain bordir Hery Suharsono dalam bukunya Desain Bordir Motif Kerancang, Tepi dan Lengkung menceritakan bahwa pembordir harus memperhitungkan tarikan benang ke kain sebagai bahan dasarnya. Jika tarikan benang terlalu tegang, maka kain di sekitar kerancang akan mengkerut.
Sebaliknya, bila tarikan benang kurang tegang, maka jalinan kerancang menjadi tidak padat dan rapat dan rentan putus karena ketegangan benang bordir tidak sama. Ia menyebut produk yang dihasilkan para perajin kerancang tak lagi sekadar bordir biasa tetapi adalah sebuah karya seni (piece of art) bernilai tinggi.
Pertahankan Proses Manual
Proses membuat bordir kerancang begitu rumit dan menyita waktu karena dilakukan secara manual. Hanya dibantu oleh satu mesin jahit goyang atau disebut oleh masyarakat setempat sebagai mesin hitam sesuai dengan warna mesin jahitnya.
Tiap penjahit memerlukan waktu paling lama seminggu untuk menyelesaikan bordir kerancang pada wadah kain sederhana. Makin banyak bordir kerancang dalam sehelai kain yang harus dikerjakan, maka akan semakin lama waktu penyelesaiannya. Apalagi bila motif bordirnya banyak dan rumit, proses penyelesaiannya bisa mencapai satu bulan.
Sentra utama produksi kerancang di Sumbar salah satunya berada di Kota Bukittinggi. Bahkan sejak 2007, pemerintah telah menetapkan kota sejuk ini sebagai klaster bordir kerancang nasional.
Seiring kemajuan teknologi, saat ini sudah banyak mesin jahit canggih dengan program komputer. Proses produksinya bisa lebih cepat dengan hasil yang banyak. Satu motif bisa dikerjakan oleh belasan bahkan puluhan mesin. Biaya untuk tenaga kerja juga bisa ditekan. Ini membuat tak sedikit perajin beralih menggunakan alat itu dan meninggalkan cara lama karena tidak efektif serta efisien.
Namun tidak demikian bagi Rina, perajin bordir kerancang asal Kelurahan Campago Guguak Bulek, satu dari dua kelurahan di Bukittinggi yang ditetapkan sebagai kampung kerancang oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bukittinggi sejak 2008. Rina yang telah lebih dari 15 tahun menjalankan usaha memproduksi bordir dan sulaman kerancang mengaku tetap mempertahankan produksi berbasis mesin jahit manual.
Terlebih, konsumen umumnya masih memberikan penghargaan lebih baik kepada produk kerancang dan bersedia membayar lebih mahal dibandingkan produk yang dihasilkan dari mesin komputer. Bordir kerancang pada produk mukena, misalnya, umumnya ditawarkan mulai dari harga Rp300.000 hingga Rp4 juta. Apalagi motif pada tiap produk tak pernah serupa. Pembeli umumnya adalah wisatawan domestik dan turis asal Malaysia. "Ada nilai rasa dan karya yang tak bisa diukur hanya dengan menjahitnya di mesin komputer meskipun saat ini terjadi penurunan penjualan karena sedang pandemi Covid-19," kata Rina.
Kualitas adalah syarat wajib agar kerajinan itu tetap menjadi yang terdepan. Selain itu variasi motif yang disesuaikan dengan zaman dan selera pasar serta eksklusivitas produk menjadi garansi tersendiri. Karena itu, jika sedang berkunjung ke Bukittinggi, jangan lupa untuk membeli produk kerajinan bordir kerancang hasil karya perajin setempat.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur: Ratna Nuraini