Indonesia.go.id - Belajar dari Kebijakan Pengelolaan di Negara Maju

Belajar dari Kebijakan Pengelolaan di Negara Maju

  • Administrator
  • Minggu, 29 September 2019 | 21:51 WIB
SOSIAL MEDIA
  Ilustrasi. Foto: Shutterstock

Kebijakan negara-negara maju membendung propaganda disinformasi jadi pelajaran menarik yang penting disimak. Indonesia tentu tak perlu khawatir dituduh tak demokratis ketika harus menegakan aturan main pada sistem demokrasi itu sendiri.

Fenomena merebaknya kabar bohong (hoax, fake news) maupun ujaran kebencian (hate speech) adalah fenomena global. Menariknya, fenomena disinformasi bukan hanya terjadi di masyarakat negara berkembang, bahkan juga melanda negara-negara maju.

Ini sebenarnya cukup susah dimengerti. Bagaimanapun, negara maju secara stereotipe sering dicitrakan memiliki budaya rasional karena distribusi pendidikan yang merata, juga memiliki iklim dan budaya demokrasi yang telah berkembang secara baik. Muncul dan tumbuhnya entitas masyarakat sipil yang kuat dan terbangunnya ruang diskursus publik nan rasional, diyakini merupakan salah satu pilar kuat bagi tegaknya nilai-nilai dan proses demokrasi.

Tapi nyatanya, negara-negara maju, masyarakatnya pun tak sepenuhnya imun dari fenomena propagada disinformasi tersebut. Contoh paling mengemuka tentu saja ialah kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45. Banyak analisis mengatakan, kemenangan kubu Republik terhadap Demokrat ini lebih dikarenakan sebaran propaganda disinformasi secara masif—baik itu hoax, fake news maupun hate speech, dan lain sebagainya—ketimbang sebagai bentuk artikulasi dari rasionalitas publik.

Menurut Gottfried dan Shearer (2016), sejumlah 62 persen warga AS mendapatkan informasi atau berita dari sosial media daripada media tradisional. Facebook jadi medium utama. Sialnya, menurut analisis BuzzFeed, pada sesi menjelang pemilu tercatat berita palsu yang berasal dari website alternatif ini justru memiliki engagement-nya melebihi media arus utama seperti New York Times, Washington Post, Huffington Post, NBC News.

Selain itu, menurut Hunt Allcott dan Matthew Gentzkow (2016) setidaknya ditemukan 115 berita palsu dibuat oleh pendukung kubu Donald Trump, dan dibagikan sebanyak 30 juta kali; sedangkan kubu Hilary Clinton terhitung membuat 41 berita palsu dan dibagikan sebanyak 7,6 juta kali.

Celakanya, tak sedikit masyarakat mempercayai kebenaran informasi atau berita itu. Walhasil, Hilary pun tumbang dan Trump keluar jadi pemenang.

“Populisme kanan” atau “neokonservatisme”, demikianlah sering dikatakan orang ketika memotret perihal munculnya tren politik global. Bergesernya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi global ke Asia-Pasifik dan berpindahnya kompleks industri dari negara-negara maju ke negara berkembang, ditengarai jadi biang keladi munculnya populisme kanan.

Terlebih mengingat belakangan fenomena Revolusi 4.0 beserta dampak disruption-nya semakin memperlihatkan kecenderungannya untuk semakin menegasikan serapan tenaga kerja. Melimpahnya populasi imigran yang berasal dari negara-negara berkembang ke negara maju juga dipersepsi tumbuh sebagai ancaman. Walhasil, lazimnya saat terjadi krisis kapitalisme global maka sentimen chauvinistik dan xenophobia jadi cenderung tumbuh menguat.

Sedangkan, analisis lainnya juga ada yang menengarai munculnya era ‘post truth’ (pascakebenaran) sebagai latar belakang sosiologi politik global saat ini. Gejala zaman yang ditandai oleh fenomena ‘post truth’ ialah, mengemukanya perdebatan publik yang dipengaruhi oleh kuatnya ketertarikan emosional dan keterikatan preferensi pribadi daripada berpijak pada fakta dan data yang objektif dalam membentuk opini publik.

Keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau popular dengan sebutan “Brexit” dan kemenangan elektoral Donald Trump, sedikit atau banyak dianggap oleh banyak orang memperlihatkan munculnya fenomena ‘post truth’ tersebut.

Kasus Perancis

Pada konteks trend politik global yang notabene sedang bergeser ke spektrum kanan inilah, menyimak potret elektoral di Prancis terdapat pelajaran menarik. Kemenangan Emmanuel Macron terhadap Marine Le Pen, di mana nama terakhir ini berhaluan kanan “mentok”, setidaknya membuktikan bahwa rasionalisme masih jadi neraca politik di negeri ini. Kemenangan Macron menandai kemenangan dan sekaligus imunitas masyarakat Perancis melawan merebaknya sebaran propaganda disinformasi. Apa pasal bisa disimpulkan begitu?

Tentu saja, Prancis tak luput digempur merebaknya berita palsu. Paling tidak sejak 10 tahun terakhir di negeri ini juga berkembang sangat pesat berbagai portal yang menawarkan model pembacaan alternatif. Website ini secara umum disebut “fachosphère”. Berasal dari istilah"facho" yang merupakan bahasa gaul untuk menyebut para pengikut Fasis. Berbagai laman tipe ini paling tidak turut mendistorsi informasi dan sekaligus menciptkan iklim skeptisme publik terhadap media arus utama.

Artinya, sebenarnya sudah cukup lama wacana politik sektarianisme, nativisme, antiimigran, anti-Islam, anti-Uni-Eropa, atau bahkan spirit ultranasionalisme, telah disemai sedemikian rupa untuk membangun iklim bagi kemenangan politik bagi spektrum populisme kanan di Prancis. Terlebihmengingat beberapa tahun belakangan di Prancis juga mengalami serangkaian serangan teror kekerasan yang mengatasnamakan sentimen agama tertentu.

Tapi, inilah menariknya, pada realitasnya Marine Le Pen toh tetap saja kalah, sekalipun salah satu topik utama kampanye tokoh ini jelas bermaksud mendorong regulasi yang membatasi masuknya para pengungsi dan imigran dari Timur Tengah (Islam).

Samuel Laurent, Direktur sebuah surat kabar harian sore terkemuka, Le Monde, kepada Guardian pernah berkata, "Berbeda dari Amerika, kasus di Prancis tidak banyak ditemukan berita palsu yang benar-benar dapat menghasilkan uang.” Jika klaim itu benar, maka fenomena kultur Prancis tentu juga menarik disimak.

Beberapa pertanyaan patut dikemukakan: Apa yang membuat warga Prancis dan Amerika memiliki respons berbeda menyikapi membanjirnya media alternatif, atau sebutlah lebih khusus media abal-abal? Apa yang membuat Prancis lebih imun terhadap berita bohong dan ujaran kebencian ketimbang Amerika? Apakah hal ini berkorelasi dengan implementasi nilai-nilai sekularisme secara konsisten, baik di tingkat negara maupun di ruang publik, sementara di Amerika, tidak (?). Atau barangkali juga dikarenakan Prancis merupakan salah satu negara yang mewajibkan anak didik di tingkat SMA belajar filsafat, sedang di Amerika juga tidak (?).

Terlepas daripada itu, ada hal penting yang membedakan kedua negara ini terkait persiapan pengamanan pilpres mereka. Ya, bagaimanapun kebijakan di Prancis dirumuskan pascapilpres di Amerika yang disinyalir sangat kotor.

Facebook dituduh bersalah atas masifnya sebaran berita bohong. Selain itu, juga ditemukan indikasi peran intelijen negara luar seperti Rusia terlibat perang informasi dalam pilpres di Amerika. Pertanyaannya ialah, apa yang dilakukan Pemerintah Prancis untuk mempersiapakan pengamanan pilpres baru lalu tersebut?

Seperti diketahui, Facebook saat ini merupakan media jejaring sosial terbesar di dunia. Prancis ditaksir memiliki 24 juta pengguna atau sepertiga dari total jumlah penduduk. Mengingat itu, Pemerintah Perancis kemudian mengajak raksasa internet Facebook dan Google untuk terlibat aktif memerangi berita bohong. Tujuannya ialah mereduksi potensi sebaran berita bohong supaya kasus seperti di Amerika tak terulang di Prancis.

Google dan Facebook dikoordinasikan dengan delapan kantor berita Prancis, termasuk Agence France-Presse (AFP), BFM TV, serta koran L'Express dan Le Monde, untuk meminimalisasi risiko berita bohong yang muncul dalam platform-nya.

Sedangkan Google secara terpisah juga mengembang sistem “Cross-Check”, yang menyeru para pengguna melaporkan link website-website yang diragukan kebenaran isinya kepada situs-situs berita terpercaya, sehingga bisa diverifikasi kebenaran informasinya. Walhasil, proses penyelenggaraan pilpres di Prancis aman dari gempuran berita bohong.

Kasus Jerman

September 2017 lalu giliran Jerman menjadi sorotan mata dunia. Angela Merkel kembali mencalonkan diri sebagai kanselir untuk periode keempat. Keistimewaan lain dari momen ini ialah, partai ektrem kanan Jerman Alternatif untuk Jerman (AfD) yang mengusung agenda anti-imigran dan anti-Islam sebagai anti thesis petahana, semakin mendapat popularitas dan dukungan pemilih.

Isu bohong yang menyebar antara lain ialah, cerita tentang Kanselir Angela Merkel adalah agen polisi rahasia Jerman Timur dan sekaligus anak perempuan Adolf Hitler, hingga berita palsu tentang pemerkosaan gadis bawah umur asal Rusia oleh para pengungsi Timur Tengah, dan lain sebagainya.

Kasus terakhir terang menghebohkan publik Jerman. Kabar bohong yang dikenal sebagai “Kasus Lisa F” ini telah memantik ratusan orang berdemontrasi turun ke jalan, sekalipun nantinya terverifikasi sebagai berita bohong. Menimbang fenomena semakin kuatnya kubu populisme kanan di Eropa, pemilu kali ini juga dianggap sekaligus menentukan masa depan Uni Eropa. Pemerintah Jerman tentu segera mengadopsi resep kebijakan Prancis.

Tak hanya itu, Jerman bahkan bergerak lebih maju. Pemerintah Jerman menggodok rancangan regulasi yang dapat memaksa para penyedia media-sosial seperti Facebook atau mesin pencari seperti Google supaya terlibat aktif memerangi berita bohong.

Tak tanggung-tanggung, Ketua Parlemen Jerman dari Partai Sosial Demokrat Thomas Oppermann, sebagai salah satu pengusung regulasi, mengusulkan supaya pemerintah memberikan sanksi tegas kepada para pengelola online sebesar 500 ribu euro atau sekitar 7,4 miliar rupiah. Sanksi tegas ini diberikan sekiranya para pengelola online tidak menghapus informasi atau berita yang dianggap mengganggu atau telah terverifikasi isinya sebagai berita bohong dalam hitungan 24 jam.

Apa hasilnya? Pemilu Jerman nisbi imun dari propaganda disinformasi dan Angela Merkel kini kembali menduduki posisi kanselir keempat kalinya. Eksperimen negara-negara maju membendung propaganda dis-informasi jadi pelajaran menarik yang penting disimak. Indonesia tentu tak perlu khawatir dituduh tak demokratis ketika harus menegakan aturan main pada sistem demokrasi itu sendiri, yaitu dengan menindak tegas para penyebar fitnah dan berita bohong yang justru berpotensi menghancurkan demokrasi. (W-1)