Jika rumah sakit militer Batavia tidak kekurangan dana untuk pengembangan riset, barangkali Eijkman tidak akan memenangkan hadiah Nobel. Jurnal Kesehatan Singapore Med J nomor 52(9) tahun 2011 menulis tentang Christiaan Eijkman yang mereka juluki sebagai "The Vicar of Vitamins" atau terjemahan bebasnya "Bapak Penemuan Vitamin" dunia. Penulisnya adalah Merrit C dan Tan SY. Yang pertama adalah dokter peneliti yang berasal dari University of Hawai, dan yang kedua adalah Direktur Pendidikan Kedokteran, Hawai Medical Centre.
Abad 19 ditandai dengan berkembangnya penelitian mikrobiologi. Nama-nama seperti Louis Pasteur, Robert Koch, dan beberapa lainnya berhasil menemukan cara mengisolasi bakteria pembawa penyakit atau bakteria patologis. Dari penemuan ini berkembang teori kuman sebagai penyebab penyakit yang menumbuhkan metode sterilisasi dengan menggunakan panas. Penemuan ini juga mengembangkan metode sanitasi dan vaksinasi.
Sebuah tim peneliti kesehatan dan mikrobiologi Belanda, pada akhir abad itu sengaja diberangkatkan ke Hindia Timur atau Hindia Belanda. Di dalamnya termasuk seorang dokter kemiliteran Christiaan Eijkman dalam sebuah tugas yang dibiayai negara untuk menemukan kuman penyebab penyakit "Beri-beri". Nama ini berasal dari bahasa Srilangka tua yang artinya lemah atau tak berdaya.
Tahun 1897 banyak orang di Pulau Jawa terserang penyakit yang membuat otot tubuh melemah. Jika ditekan jari otot tidak kunjung kembali kenyal seperti semula. Gejala pelemahan otot ini kemudian disertai hilangnya nafsu makan yang mengakibatkan seseorang lunglai hingga hilang kesadaran sampai meninggal karena serangan jantung.
Misteri Kuman Beri-beri
Beberapa tahun sebelumnya Eijkman sebenarnya sudah pernah ke Jawa. Tahun 1883-1885 sebagai dokter muda dia pernah bertugas di Semarang dan Cilacap.Tetapi malang, Eijkman yang lahir pada bulan Agustus tanggal 11 tahun 1858 ini terkena Malaria. Terpaksa dia balik ke Belanda untuk pemulihan. Tetapi, di sisi lain saat dia kembali ke Belanda dia bisa bertemu AC Pekelharing dan C Winkler di laboratorium Robert Koch di Berlin. Di sana dia belajar kembali berbagai metode untuk mengisolasi mikroorganisme penyebab penyakit.
Misinya yang kedua ke Jawa terjadi pada tahun 1887 saat dia mewakili reputasi Pekelharing-WInkler untuk menyelidiki penyakit beri-beri. Eijkman kemudian ditunjuk sebagai direktur laboratorium rumah sakit militer Batavia. Pada saat yang sama dia juga menjadi direktur Sekolah Kedokteran Jawa atau STOVIA yang saat ini merupakan kampus Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta.
Tim peneliti yang dipimpin Eijkman semula mengira kumanlah biang keladinya. Dengan asumsi itu mereka mengembangkan metodologi untuk menemukan kuman dengan menggunakan ayam sebagai subjek percobaannya. Ayam disuntik dengan darah orang yang terkena beri-beri, begitu terserang penyakit, ayam diotopsi dan potongan-potongan sel tubuhnya diteropong di bawah mikroskop. Tetapi sampai dua tahun berjalan tidak kunjung ketemu juga.
Semua Ayam Kena Beri-beri
Eijkman menjadi risau. Sudah menghabiskan cukup banyak dana ternyata misteri tidak kunjung terjawab. Akibatnya harus ada pengetatan dana dan berbagai percobaan yang mahal harus dibatasi. Akibatnya adalah pemberian pakan pada ayam pun harus "disesuaikan". Ternyata kemalangan ini menjadi berkah.
Seperti kebiasaan dia sehari-hari Eijkman menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sekitar rumah sakit di pagi hari. Dia biasa melihat tukang kebun memberi makan ayam-ayam yang akan digunakan sebagai percobaan. Semula dia membagi ayam-ayam itu dalam dua kelompok. Yang satu adalah ayam yang disuntik darah orang sakit, sisanya ayam cadangan. Tetapi ternyata dalam perjalanan waktu dua kelompok itu ternyata sama-sama mengalami gejala penyakit beri-beri. Semula dia menduga karena ayam tertular tetapi begitu diisolasi ternyata tetap saja ayam terkena gejala beri-beri.
Eijkman pun terus mengamati dan karena pengetatan anggaran ayam harus diberi makan beras bercampur bekatul untuk penghematan. Ternyata ayam yang diberi bekatul sehat wal afiat tak kurang suatu apa. Sedangkan ayam yang sengaja diberi nasi biasa tetap terkena beri-beri. Woila, kasus terpecahkan. Ternyata penyebabnya hanya soal diet makanan ayam.
Menemukan Vitamin B1
Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa beras yang diputihkan atau beras yang digiling sampai putih yang menjadi kesukaan orang Jawa ternyata nutrisinya rendah. Sementara beras yang digiling biasa yang berwarna kecoklatan ternyata lebih bernutrisi atau bergizi tinggi. Dari lapisan kecoklatan yang ada di beras biasa inilah terdapat zat gizi yang kemudian diberi nama vitamin B1. Dari hasil penemuan inilah pada tahun 1929, Eijkman bersama dengan Hopkins mendapat hadiah Nobel Kesehatan. (Y-1)