Indonesia.go.id - Jagat Wayang dan Citra Perempuan

Jagat Wayang dan Citra Perempuan

  • Administrator
  • Minggu, 29 Desember 2019 | 23:34 WIB
WAYANG
  Sampul buku \"Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Pada Abad ke XVIII dan XIX\" Foto: karya Peter Carey dan Vincent Houben.

Merujuk artikel Peter Carey dan Vincent Houben, Sosok Perempuan dalam Wayang, para perempuan yang ditampilkan dalam lakon wayang—yang diilhami Mahabharata dan Ramayana—sama berani dan perkasanya dengan kaum laki-laki sebagai suaminya.

Dalam kehidupan Jawa, wayang menduduki peran sentral sebagai cerminan pemahaman diri dan lingkungannya. Wayang dengan berbagai kompleksitas cerita pada tiap babaknya telah memberikan panduan hidup bagi masyarakat Jawa. Wayang menyajikan pelajaran perihal idealitas norma maupun etik melalui cerita dan karakter penokohan tokoh-tokohnya.

Demikianlah, menurut Benedict Anderson dalam karyanya Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Dengan mendudukkan wayang dalam konteks luas di luar batas seni panggung dan kesusastraan, Anderson berhasil menyelami pandangan hidup orang Jawa secara mendalam dan melihat korelasi erat antara jagat wayang dan kehidupan sosiologis, etis dan psikologis orang Jawa.

Bagi Anderson wayang telah merefleksikan keanekaragaman hidup manusia seperti yang dirasakan oleh orang Jawa. Keragaman citra tokoh-tokoh wayang memungkinkan orang Jawa memiliki sejumlah alternatif dalam pengidentifikasian diri dan pembentukan karakternya, serta memiliki pandangan yang toleran untuk melihat berbagai sifat manusia di sekitarnya.

Anderson juga melihat besarnya toleransi khususnya toleransi agama merupakan watak paling utama dari orang Jawa juga bersumber dari penghayatan mereka atas dunia wayang. Bagi orang Jawa, aneka kisah pewayangan tak hanya memberi pelajaran tentang kebijaksanaan, melalui aneka tokoh-tokohnya juga memberikan model figuratif yang berperan penting dalam proses identifikasi dirinya sebagai manusia.

Tesis Anderson ini dibenarkan oleh Franz Magnis-Suseno. Dalam Etika Jawa, Magnis (1998) juga menyebutkan bahwa orang Jawa memakai wayang sebagai cara untuk memahami makna hidup. Cara paling mendasar adalah membuat identifikasi diri terhadap tokoh-tokoh tertentu, baik tokoh dewa, kesatria, raja, brahmana, raksasa, punakawan, maupun tokoh-tokoh lainnya.

Jika ditanyakan sejauh mana dunia wayang dan tokoh-tokohnya hingga kini masih menjadi model identifikasi diri bagi orang Jawa ketika merefleksikan kehidupannya, tentu butuh penelitian untuk menjawabnya. Pasalnya tulisan Anderson ialah gambaran ketika ia berkunjung di Indonesia antara 1961 – 1964. Hingga kini ada bentangan waktu setengah abad lebih. Potret realitas hari ini tentu saja berbeda, dan karena itulah tulisan ini tidak berpretensi mengupas pokok soal itu.

Tulisan ini hanya bermaksud mendeskripsikan citra perempuan dalam tokoh-tokoh wayang. Poin ini juga terkesan luput dari perhatian Andereson saat menulis Mitologi dan Toleransi Orang Jawa.

Kontras Warna

Sebelum memaparkan tokoh-tokoh perempuan dalam dunia wayang, menarik dicatat di sini. Ada kontras warna yang tajam antara citra perempuan Jawa sebagaimana dilukiskan dalam pelbagai roman karya pengarang kolonial Belanda di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dan citra sosok perempuan dalam wayang kulit Jawa di sisi lain. Kontras antara keduanya, bagaikan siang dan malam.

Merujuk Peter Carey dan Vincent Houben (2016) dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII – XIX, dipaparkan di masa kolonial Belanda dikenal sebuah ungkapan klasik Belanda tentang orang Jawa, khususnya kaum perempuan dari kalangan priayi. Orang Belanda menyebut mereka sebagai “bangsa yang paling lembut di dunia” (de Javaan als het zachste volk ter aard), suatu masyarakat yang terkenal sangat halus dan penurut.

Louis Couperus (1863 – 1923) dalam romannya yang terkenal, De Stille Kracht (Kekuatan Gaib), juga JB Ruzius dalam karya bestseller-nya, Heilig Indie (Hindia Suci), seturut Carey melukiskan sosok Raden Ayu sebagai boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan dirinya sendiri. “Inilah perempuan elok namun kepalanya kosong,” tulis Carey.

Ya, tampaknya satu tema yang sangat disukai oleh para penulis kolonial Belanda ketika itu, tak jauh berbeda dengan kolega pengarang Eropa lain, menurut analisis Carey karena terpengaruh kuatnya prasangka orientalisme. Tentu, dalam prasangka orientalisme juga momot sikap rasialisme.

Hasilnya pun mudah diduga. Saat mereka bicara isu kaum perempuan, maka khayalan tentang Dunia Timur sebagai surga hiburan sensualisme, kesuburan, dan gairah seks yang menyala-nyala tak pernah padam, lantas menjadi sapuan utama yang mewarnai karya-karya susastra mereka.

Tentu saja citra perempuan ini tidak terlepas dari dunia kepengarangan yang notabene ditulis oleh kaum laki-laki juga. Lain hasilnya ketika penulisnya ialah kaum hawa sendiri.

Simaklah Madelon Szekely-Lulofs (1899 – 1958), misalnya. Penulis perempuan Belanda dan sekaligus seorang jurnalis ini, selain menulis laporan jurnalistik juga tak sedikit menghasilkan karya sastra. Salah satunya ialah novel historis berjudul Tjoet Nja Dinh. Dipublikasikan pertamakali di Belanda di tahun 1948, citra yang terpatri tentang perempuan kelas atas ini jelas sama sekali berbeda dengan citra perempuan yang ditulis oleh para sastrawan pria Belanda.

Benar, Cut Nya Din bukanlah profil perempuan dari Jawa. Namun dari novel Tjoet Nja Dinh bisa disimak bagaimana prasangka sensualisme tentang Dunia Timur dari para sastrawan laki-laki jelas telah mewarnai penulisan citra perempuan dalam karya-karya mereka.

Citra keberanian, kepahlawanan, juga kegigihan daya juang untuk mewujudkan cita-cita Cut Nya Din ternyata justru merupakan gambaran “normal” dari tokoh-tokoh perempuan di dalam jagat pewayangan.

Drupadi, Larasati dan Srikandi

Merujuk artikel Peter Carey dan Vincent Houben (2016), Sosok Perempuan dalam Wayang, para perempuan yang ditampilkan dalam lakon wayang—yang diilhami Mahabharata dan Ramayana—sama berani dan perkasanya dengan kaum laki-laki sebagai sang suaminya.

Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira. Bicara kebulatan tekadnya jelas tak kalah dengan kaum laki-laki. Setelah sesi cerita kekalahan judi keluarga Pandawa, Drupadi dihina oleh Dursasana, seorang Pangerang Kurawa. Dia ditelanjangi di depan suami dan khalayak luas serta menjadi bahan tertawaan pihak Kurawa.

Saking marahnya karena penghinaan Dursasana, Drupadi bersumpah. Ia seumur hidup tidak bakalan menggelung rambutnya lagi sebelum keramas dengan darah Dursasana. Sumpah Drupadi terkabul dalam perang saudara, yaitu Perang Bratayuda, sesudah Dursasana dibunuh oleh adik iparnya, Bima atau Werkudara. Inilah suatu kisah yang memperlihatkan tekad tokoh perempuan dalam wayang tidak kalah dengan niat bulatnya kaum lelaki.

Kartika Rahmat Sari Dewi dkk dalam artikelnya Citra Emansipasi Perempuan dalam Kisah Mahabarata: Pelurusan Makna Peran dan Kebebasan bagi Perempuan Modern, keberanian menentang ketidakadilan menjadi salah satu kriteria emansipasi terlihat pada sumpah Drupadi. Ini terlihat dari keberanian Drupadi membalik keadaan dari pihak yang terdiskriminasi oleh laki-laki yaitu Dursasana menjadi pihak yang memberikan hukuman.

Juga menarik disimak tokoh lain, yaitu istri-istri Arjuna. Dewi Larasati atau sering juga disebut Rarasati dan Dewi Woro Srikandi. Keduanya ialah nama pemanah ulung dan tersohor. Kedua tokoh ini berhasil memiliki kontribusi besar dalam bidang kemiliteran.

Larasati berhasil menunjukkan kemampuannya melewati batas tradisi yang membelenggunya sebagai kaum perempuan dengan berhasil menjadi seorang pemanah unggul, yang setara dengan kaum laki-laki, Arjuna, sang suaminya. Kemampuan Larasati yang asalnya dari desa dan sosok yang udik ini diakui oleh Arjuna dengan menjadikannya sebagai lawan tanding bagi Srikandi yang bangsawan.

Sementara itu, sosok Srikandi ditampilkan sebagai sosok perempuan yang perkasa dan mudah naik darah. Kegemaran berperang dan sifat amarahnya menyakinkan suaminya, Arjuna, sehingga akhirnya dia dipercaya menjalankan tugas menjaga keamanan istana di Kerajaan Madukara. Kerajaan milik keluarga Pandawa.

Bahkan lebih jauh, dalam Perang Bratayuda Srikandi juga tercatat pernah maju menjadi panglima perang terkemuka mewakili Kerajaan Pandawa, dan berhasil mengalahkan serta mencabut nyawa Resi Bisma yang sangat sakti.

Kembali merujuk Sari Dewi dkk, Larasati ditempatkan menjadi representasi perempuan yang teguh mengusahakan cita-cita tanpa terbebani oleh latar belakang kehidupannya. Pada masyarakat modern, sosok ini menjadi salah satu simbol pentingnya kaum perempuan untuk memiliki rasa optimistis dan insiatif dalam memperjuangkan keinginan dan cita-citanya.

Sementara itu terkait citra sosok Srikandi, Sari Dewi dkk melihat pengakuan keluarga Pandawa dan Arjuna terhadap kapabiltas kemiliteran Srikandi menunjukkan, bahwa tokoh ini berhasil menyetarakan posisi dirinya dengan tokoh satria laki-laki. Konstruksi egaliter dan kesetaraan inilah yang berhasil diraih oleh Srikandi dalam kiprahnya baik selaku kepala pasukan keamanan di istana Kerajaan Madukara maupun sebagai panglima perang dalam momen Perang Bratayuda. (W-1)