Indonesia.go.id - Berubah Gara-gara Corona

Berubah Gara-gara Corona

  • Administrator
  • Kamis, 19 Maret 2020 | 04:26 WIB
RELASI SOSIAL
  Wakil Presiden Maruf Amin (tengah) saat meninjau pembangunan Rumah Tahan Gempa (RTG) untuk korban gempa Lombok di Lingkungan Gontoran, Kelurahan Bertais, Kecamatan Sandubaya, Mataram, NTB, Rabu (19/2/2020). Dalam kunjungan itu, wapres tak bersalaman demi mencegah penularan Covid-19. Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

Corona mengubah hampir segalanya, termasuk gaya orang berjabat tangan. Penelitian menyebutkan, tangan merupakan wadah bakteri paling banyak.

Ada yang berubah pada Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin. Hari itu, KH Ma'ruf tak seperti biasanya. Pada acara Musyawarah Nasional Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) yang berlangsung di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (11/3/2020), tak ada yang berebut bersalaman dan mencium tangan Pak Kiai.

Padahal, biasanya, jika ia datang, peserta atau masyarakat berebut bersalaman dan mencium tangan. Namun kali ini tidak. Apa pasal mereka tidak lagi mau bersalaman dengannya?

Diperlakukan demikian, Kiai Ma'ruf tidak mempermasalahkannya. Dia datang ke lokasi acara itu dengan tetap menebar senyum dan menangkupkan kedua tangannya di dada atau yang dikenal dengan sebutan namaste. Tak biasanya Ma'ruf seperti itu.

"Saya mohon maaf karena salamannya tidak cium tangan, untuk menangkal (penyebaran) virus corona," kata Ma'ruf, saat menyampaikan pidatonya di acara Adeksi itu.

Ma'ruf memang tidak sedang mengada-ada. Di tengah wabah Corona yang mendunia saat ini, salah satu yang patut dihindari adalah kontak fisik, seperti cipika-cipiki dan berjabat tangan. Corona memang telah mengubah kebiasaan itu.

Di dunia, termasuk Indonesia, salaman memang sudah menjadi tradisi. Salaman merupakan ungkapan atau ekspresi keakraban, dan juga perkenalan antarmanusia. Dalam sejarah manusia, salaman sudah dikenal sejak ribuan tahun silam.

Menurut sejarawan asal Jerman Walter Burkert, jabat tangan awalnya diniatkan sebagai cara menyampaikan niat damai. Dengan mengulurkan tangan kosong itu, orang lain akan mengetahui kita tak memegang senjata. Artinya, orang itu tak memiliki niat jahat.

Evan Andrews dalam tulisan berjudul “The History of The Handshake” di History.com menyebut, jejak awal salaman tampak pada relief abad IX sebelum masehi. Pada relief itu, Raja Assyria Shalmaneser III (859-827 SM) berjabat tangan dengan penguasa Babylonia untuk meneguhkan aliansi.

Jejak lain salaman juga ditemukan pada abad IV dan V SM. Dalam seni penguburan Yunani itu terlihat gambar orang yang sudah meninggal bersalaman dengan anggota keluarganya. Relief itu menandakan perpisahan.

 

Simbol Kesetiaan

Bagi orang Romawi kuno, salaman dianggap sebagai simbol kesetiaan, persahabatan, dan kepercayaan. Gambar jabat tangan yang menyimbolkan kepercayaan dan kesetiaan itu bisa ditemukan dalam jejak koin Romawi kuno.

Simbol kepercayaan lain, bisa kita temui dalam karya penyair epik Homer yang berjudul "Illiad dan Oddyssey". Dalam karya itu, salaman kerap dikaitkan dengan janji dan kepercayaan.

Dalam perkembangannya, salaman populer dalam kehidupan sehari-hari. Para sejarawan meyakini, popularitas jabatan tangan ini digaungkan kaum Quarker (perkumpulan agama sahabat, kelompok Kristen Protestan asal Inggris pada abad ke-17). Menurut mereka, jabatan tangan dengan segala macam modelnya, lebih egaliter dibanding dengan membungkuk atau mengangkat topi. Sejak saat itu, salaman menjadi tradisi umat manusia di belahan bumi ini.

Namun tidak semua orang menganggap salaman sebagai hal yang menyenangkan. Bagi mereka jabat tangan berarti sumber penyakit. Badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) mengingatkan hal ini.

Menurut WHO, tangan merupakan gerbang utama penyebaran penyakit. Karena, kita selalu menyertakan tangan untuk berkegiatan apapun.

Penelitian dari University of Colorado mengungkapkan, rata-rata tangan kita mengandung 3.200 bakteri dari 150 spesies yang berbeda. Menurut penelitian ini, dalam hidup kita bersalaman rata-rata kurang lebih 15 ribu kali. Jumlah ini bisa lebih, jika kita hidup di dunia Timur.

Dengan banyaknya bakteri yang ada di tangan itu, penyakit memang bisa menyebar dengan sangat cepat. Apalagi jika kita malas mencuci tangan. 

Sebagai gerbang, kesehatan tangan menjadi hal utama. Karenanya apa yang dilakukan Kiai Ma'ruf dan kemudian juga diikuti oleh yang lain, tak keliru. Mencegah penyebaran virus mutan corona lebih baik daripada kita merana.

 

Penulis: Fajar WH
Editor: Firman Hidranto/Ratna Nuraini/Elvira