Nuansa kampung Hindu begitu terasa Ketika masuk di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Rumah-rumah di sepanjang jalan dari gerbang masuk desa dilengkapi dengan pura kecil keluarga.
Sebuah pura besar berdiri tegak di antara rumah-rumah itu. Nuansa Hindu berakhir di depan bangunan sekolah atau persis di seberang kantor Balai Desa Banuroja. Di salah satu tembok bangunan itu tertulis, Pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah.
Di salah satu sudut pondok terlihat bangunan masjid berdiri kokoh. Sekitar 100 meter dari pondok pesantren, berdiri Gereja Protestan Indonesia Gorontalo dan Gereja Pantekosta.
Bangunan tempat ibadah itu merupakan cerminan bahwa di desa itu hidup beragam pemeluk agama. Baik itu Hindu, Islam, dan Nasrani. Mereka sama-sama mengadu nasib sebagai transmigran dan hidup rukun di wilayah itu selama bertahun-tahun.
Tak hanya berbeda agama, penduduk desa ini juga beragam etnik. Ada yang berasal dari Gorontalo, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Bali. Berdasarkan data kependudukan 2014, desa itu dihuni sembilan suku, yakni Bali sebanyak 411 jiwa, Jawa (282 jiwa), Sasak atau Lombok (281 jiwa), Gorontalo (34 jiwa), Minahasa (29 jiwa), Sunda (10 jiwa), Bugis (4 jiwa), Betawi (3 jiwa), dan Batak (2 jiwa).
Dari data Desa Banuroja pada 2015 tercatat, mayoritas penduduk desa itu mayoritas memeluk Islam (613 jiwa). Mereka berasal dari masyarakat Jawa, Gorontalo, Sasak (Lombok), Sunda, Bugis, dan Betawi.
Pemeluk agama Hindu ada 405 jiwa. Mayoritas mereka berasal dari Bali. Sedangkan pemeluk Kristen Protestan berjumlah 35 jiwa dan Katolik berjumlah 3 jiwa. Penganut Protestan dan Katolik ini berasal dari Batak dan Minahasa. Dari gabungan etnik itulah mereka menamakan Banuroja (Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa).
Desa ini, seperti halnya desa lain yang ada di Gorontalo, mayoritas agama yang dianutnya adalah Islam. Karena penganut Islam mayoritas, provinsi ini kerap dijuluki Bumi Serambi Madinah (mengacu pada mayoritas penduduknya yang menganut Islam).
Meski multietnis dan agama, warga Desa Banuroja itu tak pernah dilanda konflik. Warganya hidup rukun dan damai. Segala persoalan yang muncul bisa diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan.
Kepala Desa Banuroja Abdul Wahid mengakui hal itu. Menurut dia, kunci menjaga kerukunan di Bonuroja adalah silaturahmi (persaudaraan). Jalinan hubungan baik, terutama antara pemuka agama dan tokoh masyarakat di Banuroja, harus terus-menerus dijaga.
Silaturahmi menjadi kunci dan jurus ampuh menjaga komunikasi dan mencegah bibit perpecahan atau kecurigaan yang berpotensi menimbulkan konflik.
”Kita perlu rajin mendekati tokoh masyarakat dan pemuka agama, berkomunikasi, berbagi, dan menjalin rasa persaudaraan sehingga timbul kebersamaan,” kata Wahid.
Agar tidak muncul kecemburuan antarwarga, Wahid punya jurus lain. Semua etnik akan punya perwakilan dalam struktur desa.
Mengelola Keberagaman
Heterogenitas juga tecermin dalam struktur organisasi desa. Sebagai kepala desa, Wahid berasal dari suku Sasak, sementara Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berasal dari Bali.
Adapun Sekretaris Desa dijabat putra asli Gorontalo bernama Febri Yahya. Sedangkan empat kepala dusun di Banuroja berasal dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Gorontalo.
Bahkan, menurut Wahid, kepala desa sebelumnya dijabat penganut Kristen yang notabene dari kelompok minoritas di desa itu. Tidak ada keharusan penganut atau etnik mayoritas di desa itu harus tampil sebagai kepala desa. Siapapun kepala desanya, warga dari etnik dan penganut agama lain akan menerimanya.
”Walaupun Kristen terbilang minoritas di Banuroja, jika memang ada umat mereka yang layak memimpin sebagai kepala desa, maka akan dipilih. Ini juga salah satu cara agar tidak timbul kecemburuan sosial di Banuroja,” ujar Wahid.
Abdul Hamid Tome dalam artikelnya berjudul "Membumikan Pancasila: Upaya Pelembagaan Nilai Pancasila dalam Kehidupan Masyarakat Desa (2020)", mengatakan bahwa masyarakat Desa Banuroja mampu mengelola perbedaan-perbedaan yang ada sehingga kehidupan berjalan harmonis.
Pada sistem penyelenggaraan pemerintahan, kata Abdul Hamid, masyarakat bisa mengakomodasi setiap kepentingan yang ada berdasarkan musyawarah.
Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah, almarhum KH Abdul Ghofir Nawawi, yang wafat sekitar setahun silam pernah bercerita bahwa sebelum menetap di desa yang semula bernama Manunggal Karya, dirinya tinggal di Gorontalo pada 1976. Pada 1982 pria asal Cirebon, Jawa Barat itu memutuskan hijrah dan menetap bersama transmigran di desa tersebut.
Di daerah baru itu, Ghofir hidup dengan beragam etnik dan agama. Kala itu, menurutnya, kondisi transmigran sangat memprihatinkan. Banyak yang buta huruf dan komunikasi antarmasyarakat tidak berjalan baik karena mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing dan kemampuan bahasa Indonesianya sangat terbatas.
Lantaran merasa prihatin itulah, alumni Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur itu kemudian berinisiatif mendirikan pesantren kecil-kecilan. Kendati begitu, Ghofir pun teringat pesan gurunya agar mendidik anak-anak di desa itu tanpa perlu mengajak mereka masuk agama Islam.
Dengan tekad mendidik anak-anak para transmigran agar berilmu, dia berharap kelak anak-anak itu bisa membantu memecahkan berbagai persoalan hidup yang dialami orang tua mereka. Kondisi saat itu, menurut Ghofir, jangankan berpikir pendidikan, memikirkan hendak makan apa hari ini saja masih kesulitan.
Ada lagi pesan gurunya yang diingat Ghofir. Yakni, agar tidak berkelahi antarumat beragama dan terus berjuang memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Dan pesan itu terus terngiang di benak Ghofir.
Itulah sebabnya, sambil mendidik anak-anak transmigran, pihak pesantren juga mengajak para transmigran yang beragama lain untuk membicarakan cara mengatasi masalah hidup. Pasalnya, pada masa itu tanah tidak dapat ditanami, sehingga sempat muncul rasa putus asa dan ingin pulang ke daerah masing-masing.
Di pesantren itu, anak-anak tak melulu diajar membaca dan menulis. Tapi, mereka juga diberi berbagai keterampilan dan Pendidikan usaha seperti koperasi, kantin, warung serba ada, dan bisnis fotokopi. Tiga penganut Hindu dan seorang penganut Kristen turut menjadi pengajar keterampilan itu.
Murid-murid di sekolah dan pesantren tersebut juga belajar agrobisnis seperti beternak sapi, kambing, ayam, perikanan air tawar, menanam sayur, padi, buah-buahan, singkong, dan budi daya tanaman hortikultura lainnya.
Tak heran kemudian, pesantren itu banyak menarik minat banyak orang. Murid di sana tak hanya berasal dari desa tersebut, melainkan juga dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan. Santrinya lebih dari 400 orang, jika ditambahkan dengan siswa sekolah, jumlahnya 800-an orang.
Muridnya tidak hanya siswa beragama Islam tapi juga ada yang beragama Hindu dan Kristen. Ini unik, karena sebenarnya ada pilihan sekolah lain di sana, namun mereka memilih untuk menyekolahkan anaknya di pesantren tersebut. “Ini adalah buah kepercayaan dan saling pengertian yang kami rintis puluhan tahun lalu," demikian Ghofir pernah berujar.
Usaha Ghofir untuk merekatkan warga dari multietnik dan agama ini dirasakan penganut agama lain. Djeek Detamor Gandey, Ketua Jemaat Gereja Imanuel Desa Banuroja, misalnya. Menurut dia, warga dari etnik dan penganut lain di desa itu kerap menghadiri majelis taklim Ghofir.
Di majelis itu mereka membahas masalah-masalah yang bisa membuat perpecahan di antara mereka. "Begitu sebaliknya," kata Jeek.
I Wayan Adha, tokoh masyarakat Hindu di desa itu, mengamini Jeek. "Pesantren ini sangat membantu pembangunan di sini. Belum lagi lulusan-lulusannya yang langsung mengabdi di desa kami," ujarnya.
Atas jerih payah merawat kebhinekaan selama 39 tahun (1981-2020) itulah, pada 16 Januari lalu, pemerintah Kabupaten Pohuwato bersama Rektor Universitas Gorontalo mencanangkan Desa Banuroja sebagai Desa Pancasila.
Pencanangan Desa Pancasila ini merupakan bagian dari ikhtiar bersama untuk menjaga keutuhan hidup berbangsa di tengah gempuran isu radikalisme, intoleransi, dan konstruksi identitas “mayoritas versus minoritas”. Pencanangan ini sekaligus sebagai kado hari jadi ke-39 desa itu.
Tradisi Unik
Djeek Detamor Gandey bercerita tentang tradisi unik yang hingga kini masih terus terjaga di sana. Tradisi yang dimaksud adalah silaturahmi antarpemeluk agama pada hari besar agama masing-masing penganut di desa itu. Jika umat Islam merayakan Idulfitri, warga pemeluk Hindu dan Kristen berbondong-bondong meramaikan suasana.
Warga pemeluk Hindu mengirimkan buah-buahan segar dan umat Kristiani menyerahkan aneka macam penganan kepada kaum Muslim. ”Kue yang kami bagikan pada hari raya Idulfitri adalah kue yang kami pesan dari orang Muslim agar tidak menimbulkan kecurigaan,” katanya.
Sebaliknya juga demikian. Jika umat Kristiani atau Hindu merayakan hari besar, umat Muslim akan mengunjungi mereka. Jalinan silaturahmi itu tak pernah absen dilakukan saat Natal dan Nyepi.
”Biasanya kami bawakan mereka hasil bumi, seperti jagung atau jeruk,” kata pengelola Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah KH Abdul Ghofur Nawawi, yang juga adik dari KH Abdul Ghofir Nawawi.
Tak hanya saat perayaan hari besar agama, pesantren yang memiliki agenda rutin pengajian akbar sekali dalam sebulan pun turut dihadiri warga umat Hindu atau Kristen. Ketua Badan Permusyawaratan Desa Banuroja I Made Suardana.
”Saya tidak mempersoalkan materi dalam pengajian. Sebab, yang dibahas adalah bagaimana menjaga kerukunan antarumat dan sikap saling toleransi,” kata Made yang penganut Hindu ini.
Penulis: Fajar WH
Edior: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini