Indonesia.go.id - Suku Osing Siap Menyambut Tamu Kembali

Suku Osing Siap Menyambut Tamu Kembali

  • Administrator
  • Minggu, 12 Juli 2020 | 20:25 WIB
BUDAYA
  Para penari menggunakan APD saat beraksi di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (22/6/2020).Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Sejumlah tempat wisata di Kabupaten Banyuwangi telah mendapat sertifikasi. Doni Monardo pun melihat langsung penerapan protokol kesehatan ini.

Langkah Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Doni Monardo terhenti saat memasuki pelataran Sanggar Genjah Arum. Ia terlihat kaget. Di halaman itu, sejumlah penari barong dan pitik-pitikan menari sembari diiringi musik.

Datang bersama rombongan, Jumat (26/6/2020) siang, Doni terlihat asyik menyaksikan tarian itu. Tak hanya tarian, siang itu Doni yang didampingi Bupati Banyuwangi Azwar Anas dan pemilik sanggar Setiawan Subekti juga disuguhi tabuhan lesung yang dimainkan nenek-nenek.

Tarian dan tabuhan lesung itu merupakan cara Sanggar Genjah Arum menyambut tamu pentingnya. Di sanggar itu, setiap kali ada tamu penting yang datang selalu disuguhi dengan kesenian khas suku Osing, suku asli Banyuwangi. Dengan cara itu, mereka ingin memperkenalkan kekayaan kesenian khas Banyuwangi kepada tamu-tamunya.

Tari pitik-pitikan merupakan simbol kesejahteraan. Sedangkan barong merupakan perwujudan dari singa atau harimau yang dipercaya bisa mengusir roh jahat.

“Ayam pintar mencari rezekinya sendiri dengan mencakar-cakarkan kakinya ke tanah. Sedangkan barong merupakan perwujudan dari singa atau harimau. Untuk mengusir roh jahat,” kata pemangku adat Suku Osing, Setyo Herfendy, dua pekan lalu.

Di sanggar itu, segala hal tentang kekayaan budaya dan tradisi Banyuwangi diabadikan. Lengkapnya dokumentasi akan sejarah tradisi dan budaya suku Osing membuat sanggar yang terletak di Desa Kemiren, Glagah, Banyuwangi, juga kerap disebut Museum Osing.

Kedatangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 hari itu adalah untuk memastikan bahwa kabupaten yang berada di ujung Pulau Jawa tersebut sudah siap membuka kembali sektor pariwisata di tengah pandemi Covid-19.

Kesiapan itu dibuktikan dengan pemberlakuan sertifikasi kesehatan di tempat-tempat wisata. "Tempat wisata di Banyuwangi telah menerapkan protokol kesehatan dengan baik," kata Doni.

Sertifikasi itu merupakan jaminan bagi pengelola dan pengunjung yang datang. Sertifikasi itu nantinya akan ditempel di sejumlah tempat wisata, hotel, restoran, hotel, dan homestay, warung rakyat yang ada di Banyuwangi.   “Jika melanggar, sertifikatnya dicabut,” kata Bupati Azwar Anas.

Sehari sebelum Doni, Presiden Joko Widodo juga telah melihat langsung bagaimana Banyuwangi mempersiapkan diri kembali membuka etalase wisata dunia yang aman Covid-19. Kedatangan Jokowi ini menjadi penanda era tatanan baru harus diiringi dengan semangat produktif sekaligus aman dari Covid-19.

 

Suku Osing dan Adatnya

Terletak kurang lebih 7 km dari Kota Banyuwangi, Sanggar Genjah Arum –nama yang diambil dari salah satu varietas padi yang sering ditanam suku Osing--berada dalam wilayah desa adat Kemiren. Desa ini merupakan desa yang masih mempertahankan adat istiadat leluhurnya.

Kentalnya nuansa Osing di sana, membuat Setiawan Subekti seorang pengusaha dan pencicip kopi berkelas dunia tergerak untuk melestarikan adat Osing itu dengan membangun sanggar. Di sanggar yang berdiri di atas lahan kurang lebih 7.000 meter persegi itu, semua pernak-pernik suku Osing dikumpulkan.

Mulai dari rumah hingga peralatan yang dulu biasa digunakan suku Osing. Sebuah paglak (gubuk setinggi 100 meter) yang biasa dibangun di tengah sawah pun ada di sana. Bentuk bangunan rumah Osing sendiri biasanya dibagi dalam tiga ruang, yakni mbyale (balai/serambi) yang biasa digunakan untuk menjamu tamu dan ngobrol santai dengan tetangga dekat.

Ada jerumah (ruang tengah dan kamar) adalah bagian rumah yang biasa digunakan sebagi tempat istirahat dan bercengkrama bersama keluarga, dan pawon (dapur) yang biasa digunakan ibu-ibu untuk memasak.

Sebanyak tujuh buah rumah tampak ditata tak beraturan di lahan itu. Sebagian sudah berusia hampir 100 tahun. Rumah khas adat Osing sendiri terbagi atas sejumlah jenis, yakni crocogan, tikel atau baresan, tikelbalung, dan serangan.

Rumah tikel, merupakan rumah yang dibangun tanpa sebuah paku pun. Ini menggambarkan tentang perjalanan hidup manusia dari hanya berdua suami istri, berketurunan, dan bersiap menghadapi masa depan.

Memasuki halaman depan Genjah Arum, sebuah Paglak berdiri tegak. Gubuk itu dilengkapi dengan dua set angklung, yang kerap ditabuh mengiringi dendang lagu-lagu tradisional untuk melepas penat.

Begitu masuk agak ke belakang terdapat satu set gedhogan, lesung-lesung kayu tua yang biasa digunakan untuk menumbuk padi. Masuk ke belakang lagi, kita bisa melihat tempat Iwan--panggilan Setiawan Subekti--menjamu tamu-tamunya.

Di ruangan itu pula, kita juga melihat mesin pembuat kopi. Di sini, biasanya Iwan memamerkan houseblend kepada para pengunjung, termasuk kepada Doni Monardo yang hari itu singgah di sanggarnya.

 

 

 

 

Penulis: Fajar WH
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini