Indonesia.go.id - Benteng Terluas Sejagat Ada di Buton

Benteng Terluas Sejagat Ada di Buton

  • Administrator
  • Jumat, 23 Oktober 2020 | 01:36 WIB
SITUS SEJARAH
  Benteng Keraton Buton merupakan peninggalan sejarah yang mrnjadi unggulan pariwisata Kota Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara. Foto: Antara News

Benteng Keraton Buton berada di atas Bukit Wolio setinggi 100 meter dari permukaan laut dan menjadi lokasi strategis untuk memantau situasi Kota Baubau dan Selat Buton.

Pulau Buton di Sulawesi Tenggara tak hanya dikenal sebagai penghasil aspal alam. Di pulau seluas 4.408 kilometer (km) persegi ini terdapat benteng terluas di dunia. Namanya Benteng Keraton Buton atau dikenal juga sebagai Benteng Wolio karena dibangun di atas Bukit Wolio. Bukit laut ini berada di Kota Baubau, ibu kota Kabupaten Buton.

Luas Benteng mencapai 23,375 hektare (ha) dengan panjang keliling tembok benteng mencapai 2.740 meter. Sebagai pembanding, luas Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, adalah 15,129 ha. Karena luasnya itu, Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) bersama Guinness Book of World Record pada September 2006 menobatkan Benteng Wolio sebagai bangunan pertahanan terluas di dunia. 

Terletak di puncak bukit setinggi 100 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan lereng yang cukup terjal menjadikan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi benteng tampak pemandangan menakjubkan Kota Baubau dan hilir mudik kapal di Selat Buton. Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton. Benteng didirikan sebagai pusat pertahanan dan peradaban masyarakat Buton saat menghadapi penjajah Portugis, selain melindungi diri dari serangan bajak laut.

Benteng itu hanya berjarak sekitar 3 km atau sekitar 5 menit berkendara dari pusat kota. Benteng ini berdiri mengelilingi tiga dusun meliputi Baluwu, Peropa, dan Dete di Kelurahan Melai, Kecamatan Wolio.

Dalam situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, merujuk pada penetapan benteng ini sebagai warisan budaya benda nasional pada 4 Maret 2003, Benteng Wolio berasal dari kata welia yang artinya ‘membabat’. Itu karena sewaktu masa pembangunannya dilakukan pembabatan dan penebangan pohon-pohon besar di sekitar bukit.

Desain bangunannya menarik dan memiliki bentuk arsitektur unik karena terbuat dari batu gunung dan karang yang direkatkan dengan putih telur memakai campuran pasir dan kapur. Tinggi dan tebal temboknya tidak sama, mengikuti kontur tanah atau lereng bukit. Pada bagian-bagian bukit yang terjal tinggi tembok mencapai delapan meter dengan ketebalan sampai dua meter. Pada bagian dalam sisi timur dan selatan terdapat turap-turap sebagai penahan atau penguat. 

 

Benteng Unik

Benteng Keraton Buton memiliki empat buah boka-boka atau pos pengintai (bastion) di empat penjuru, 12 buah lawa atau pintu gerbang, 16 benteng kecil (baluara), parit dan sistem persenjataan berupa badili atau meriam sepanjang buatan Portugis dan Belanda. Di dalam Benteng Keraton Buton terdapat Masigi Ogena atau Masjid Agung, istana sultan (kamali), makam-makam sultan, dan pejabat tinggi serta rumah adat malige.

Ada pula perkampungan penduduk dengan rumah-rumah tradisional yang masih ditempati hingga saat ini oleh sekitar 700 kepala keluarga (KK). Rumah-rumah penduduk ini terhubung langsung dengan lingkungan istana melalui lawa.

Terdapat pula Sulana Tombi, yaitu tiang bendera setinggi 21 meter yang dibangun pada tahun 1712 di masa Sultan Buton Sakiuddin Darul Alam. Tiang bendera terbuat dari kayu jati ini berada di halaman Masjid Agung dan digunakan untuk mengibarkan longa-longa, bendera milik kesultanan berbentuk segitiga.

Di halaman masjid juga terdapat jangkar raksasa yang diambil dari kapal dagang VOC yang karam di perairan Buton pada 1592. Menurut Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) Susanto Zuhdi, Benteng Keraton Buton adalah cagar budaya yang sangat langka jika dilihat dari jenis dan keunikan rancangannya karena jumlahnya sangat sedikit di seluruh Indonesia. Kesultanan Buton adalah pemilik dari benteng ini.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 2010 tentang Penetapan Hari Jadi Kota Baubau dan Perubahan Penulisan Baubau disebutkan bahwa Kerajaan Buton bertransformasi menjadi Kesultanan Buton pada 17 Oktober 1541. Hal ini ditandai dengan dilantiknya Lakilaponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.

Wilayah Kesultanan Buton cukup luas. Kini di bekas wilayah kesultanan telah berdiri beberapa kabupaten dan kota bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Muna Barat, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Selatan, dan Kota Baubau.

Pemandu wisata di Benteng Keraton Buton, Laode M Adam Vatiq menceritakan, Benteng Keraton Buton mulai dibangun pada masa Sultan Buton III La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin, yang memerintah Buton pada 1591-1596. Semula, benteng tersebut hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang disusun mengelilingi kompleks istana. Tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan.

Kemudian pada masa pemerintahan La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin sebagai Sultan Buton IV, benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen. Pembangunan benteng rampung seluruhnya ketika La Buke sebagai Sultan Buton VI, yang memerintah Buton pada 1632-1645.

Benteng Keraton Buton merupakan obyek wisata unggulan Kota Baubau dan telah dikunjungi ribuan turis domestik dan mancanegara setiap tahunnya. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Baubau Ali Arham, Benteng Keraton Buton setiap harinya dikunjungi sekitar 300-400 turis nusantara pada 2019. Sedangkan total kunjungan turis asing ke Benteng Keraton Buton selama 2019 sekitar 6.000 orang dan umumnya datang dari daratan Eropa.

Sejak pandemi Covid-19 merebak sekitar delapan bulan lalu, jumlah kunjungan turis berkurang dari sebelumnya. Meski demikian, Benteng Keraton Buton tetap dapat dikunjungi asalkan mematuhi protokol kesehatan dan ikuti pesan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak. Mari, berkunjung ke benteng terluas di dunia.

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini