Sebuah permasalahan baru muncul di tengah gencarnya perang terhadap penularan virus corona. Persoalan itu adalah isu pencemaran lingkungan yang timbul akibat meningkatnya limbah medis dari sisa-sisa penanganan Covid-19.
Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa terdapat peningkatan volume sampah medis sebesar 30--50 persen. Ini terjadi di 34 provinsi di seluruh Indonesia selama masa pandemi. Dari Maret hingga pertengahan Oktober 2020 saja, totalnya mencapai 1.662,75 ton limbah Covid-19.
Banyaknya limbah medis tersebut memberi masalah lainnya, seperti adanya kesenjangan antara kapasitas pengolahan dan timbunan limbah yang muncul dan distribusi fasilitas pengolahan. Selain itu juga terkait koordinasi antara instansi dan peran pemerintah daerah serta isu mengenai pembiayaan penanganannya. Kenyataan tersebut telah membuat penanganan limbah medis pada masa pandemi harus dilakukan dengan serius. Sebab, limbah medis Covid-19 masuk dalam kategori infeksius dan menjadi mata rantai penularan penyakit yang bermula dari Wuhan, Tiongkok tersebut.
Limbah medis tersebut berupa plastik sebagai bahan baku untuk alat pelindung diri (APD) seperti masker medis, tutup kepala, sarung tangan, face shield, baju hazard material (hazmat), dan lainnya. Limbah ini tidak hanya dihasilkan dari penggunaan oleh pihak rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain yang menangani Covid-19, melainkan juga dihasilkan dari penggunaan oleh masyarakat luas. Pemakaian APD, terutama masker makin meningkat seiring makin bertambahnya jumlah kasus penularan virus mematikan ini di Indonesia. Di mana hingga 23 Januari 2021 ada 965.283 warga terpapar, meski 781.147 lainnya telah dinyatakan sembuh dari infeksi virus SARS COV-2.
Limbah-limbah tersebut merupakan bahan berbahaya dan beracun atau B3. Limbah medis berbahan plastik terutama masker medis berlapis polimer plastik memiliki tingkat penguraian alami yang relatif lebih lama dari masker berlapis kapas. Limbah jenis disebut juga sebagai sampah residu karena bahannya adalah nonwoven atau sintetis. Hal ini menyebabkan peningkatan sampah plastik di lingkungan yang berpotensi meningkatkan mikroplastik di perairan dan laut. Pengelolaan limbah jenis ini pun harus dilakukan secara spesifik dari hulu hingga ke hilir termasuk tercatat sejak pembuatan hingga akhirnya dimusnahkan.
Teknologi Rekristalisasi
Salah satu instansi yang merespons upaya mereduksi angka limbah-limbah medis yang timbul dari penanganan Covid-19 ini adalah Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Agus Haryono, pihaknya sudah mengantisipasi munculnya limbah medis selama pandemi. Hal ini dikatakannya seperti dilansir dari siaran pers LIPI, pada 15 Januari 2021.
Pusat Penelitian Kimia LIPI telah mengembangkan berbagai metode untuk mendaur ulang masker medis menggunakan metode kristalisasi. Metode ini terbilang mudah diterapkan untuk berbagai jenis plastik bahan baku APD seperti polipropilena (Polypropylene/PP), polietilena (Polyethylene/PE), polistirena (Polystyrene/PS), maupun polivinil klorida (Polyvinyl chloride/PVC). "Kualitas produk hasil daur ulang terjamin tetap tinggi karena tidak terdegradasi oleh pemanasan,” ujar doktor penerapan kimia dari Waseda University Jepang ini.
Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI Sunit Hendrana mengungkapkan, bahan sampah medis yang sangat ringan karena mengandung lebih dari satu bahan plastik atau polimer sulit didaur ulang. Ini lantaran minimnya metode daur ulang yang ada. Doktor bidang kimia fisik dari The University of Queensland, Australia itu menjelaskan, metode pengolahan sampah plastik yang ada selama ini meliputi pembakaran daur ulang dengan cara pelelehan kembali untuk membentuk granula atau pelet. Tapi metode itu pun masih terkendala proses pengumpulan dan prapemilahan yang tidak mudah. Di samping itu kemungkinan minimnya persyaratan sterilisasi, sebelum dilakukan langkah-langkah saat proses daur ulang.
Dengan metode kristalisasi memungkinkan terjadinya degradasi yang sangat rendah karena tidak adanya shear dan stress seperti pada proses daur ulang biasa. "Hal ini menghasilkan plastik kristal yang dapat digunakan lagi dengan kualitas sangat baik,” jelas pakar kinetika polimerisasi ini. Metode kristalisasi juga memiliki banyak keunggulan antara lain menghasilkan plastik daur ulang berupa serbuk dan minim kerusakan struktur. Kristalisasi juga menghasilkan kemurnian produk daur ulang yang tinggi sehingga dapat digunakan lagi untuk keperluan yang sama. Selain itu dapat dikembangkan sehingga sterilisasinya dapat dilakukan in-situ dalam rangkaian proses daur ulang.
Sedangkan tahapan-tahapan dalam proses daur ulang plastik medis dengan rekristalisasi ini meliputi pemotongan plastik bila diperlukan dan pelarutan plastik. Ada pula proses pengendapan pada antipelarut, dan metode penyaringan untuk mendapatkan suatu plastik murni tanpa degradasi. "Sehingga dapat digunakan lagi sebagai plastik untuk tujuan medis dengan kualitas yang serupa,” kata Vice President Asian Polymer Association (APA) ini.
Hasil penelitian daur ulang limbah medis Covid-19 ini telah mengantongi hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor P002020010633. Pihak LIPI berharap metode kristalisasi ini dapat diterapkan dan berguna dalam menyelesaikan masalah sampah medis akibat pandemi yang tengah terjadi.
Jangan lupa untuk terus menerapkan protokol kesehatan dengan tetap memakai masker di mana pun berada, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik. Kemudian menjaga jarak serta menjauhi kerumunan untuk mencegah penularan virus corona agar diri sendiri dan keluarga dapat terlindungi.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini