Indonesia.go.id - Gotong Royong, Antara Sukarno, Suharto, dan Dangdut Koplo (1)

Gotong Royong, Antara Sukarno, Suharto, dan Dangdut Koplo (1)

  • Administrator
  • Rabu, 23 Januari 2019 | 07:54 WIB
KEBUDAYAAN
  Gotong Royong. Sumber foto: Flickr

Jika Sukarno mengatakan bahwa gotong royong adalah filosofi Indonesia, tentu Sukarno sedang ingin membangun imajinasi kebesaran bangsanya, yang saat itu masih belum wujud seperti sekarang.

Sukarno dalam pidatonya yang terkenal bertanggal 1 Juni 1945 menjelaskan serba sedikit tentang gotong royong.  Berikut kutipannya,

 “Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’ Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah suatu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekarno satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan Bantu-binantu bersama. Amal semua buat semua. Holobis-kontul baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong!” (Depen-RI, 1945: 26; LPPKB, 2005: 54-55)

Gotong royong yang dianjurkan oleh Sukarno dalam perjalanan selanjutnya dijadikan simbol-simbol kebangkitan Suharto. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) adalah nama indah yang menjadi pijakan Suharto mencengkeram kekuasaan ke seluruh wilayah Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Suharto menghabisi semua lawan politiknya dengan legitimasi dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang mengangkatnya. Tanpa bersantai-santai Suharto membungkus semua rival politiknya dalam lembaga DPR-GR yang kemudian terbukti sukses memereteli kekuatan para pesaing politik di bawah todongan senjata. Sebuah analogi “gotong royong” yang jauh dari suasana saling membantu di atas kepentingan bersama.

Gotong Royong Sudah Basi (?)

Anak jaman sekarang, barangkali, merasa jargon gotong royong sudah terlalu basi. Jabaran Sukarno sendiri sangat minim soal gotong royong, walaupun buku-bukunya setebal bantal. Sukarno bilang bahwa gotong royong sebagai karakter bangsa. Karakter yang seperti apa, masih berkabut. Sukarno juga bilang gotong royong kalau boleh diperas sebagai intisari dari Pancasila, perasan pertama disebut Trisila dan perasan dari perasan tersebut disebut Ekasila, yakni gotong royong. Harus diakui Sukarno memang memukau, walapun penuh retorika.

Sukarno sebagai orang Jawa juga mengatakan bahwa gotong royong adalah falsafah “gugur gunung”. Gugur gunung yang seperti apa, Sukarno tidak beruntung bisa menjelaskan. Barangkali saat Sukarno masih hidup banyak staf propaganda di belakang layar yang mampu menjelaskan dengan gamblang apa itu falsafah “gugur gunung”. Sayangnya hingga saat ini penjelasan yang cukup atas konsep-konsep Sukarno masih minimal.

Beruntung sekarang zaman mudah mencari referensi. Mesin pencari di internet menemukan penjelasan apa maksud “gugur gunung”. Sebuah situs referensi wisata di Jogja menjelaskan bahwa “gugur gunung” mempunyai makna kerja sosial bersama-sama untuk menyelesaikan pekerjaan yang berat, ibarat menggugurkan sebuah gunung. Sebuah pekerjaan yang mustahil dikerjakan oleh sedikit orang. Sebuah kerja berat yang hanya bisa diselesaikan lewat kerja sama dengan banyak orang.

Sukarno sebagai proklamator, alias pemimpin besar revolusi Indonesia, tentu yakin benar bahwa pekerjaan berat itu adalah revolusi itu sendiri. Karena itu dia tidak lelah menyeru, mengagitasi, siapapun yang mendengar pidatonya tentang pentingnya kerja bersama-sama demi revolusi. Mungkin ini maksud Sukarno yang paling gamblang tentang gotong royong.

Sukarno yang besar di zaman teks-teks ideologi besar masih beradu tanduk, tentu tidak punya cukup waktu untuk memperhatikan pada hal yang detil. Gotong royong adalah fenomena yang umum di peradaban manusia di seluruh dunia ini. Jika Sukarno mengatakan bahwa gotong royong adalah filosofi Indonesia, tentu Sukarno sedang ingin membangun imajinasi kebesaran bangsanya, yang saat itu masih belum wujud seperti sekarang.

Tetapi gotong royong sebagai fenomena sosial bisa ditemukan dalam istilah Inggris, yakni ‘bee’ yang artinya kerja bersama, berbeda dengan yang berarti lebah. Di masyarakat Indian Cherokee di Oklahoma, Amerika Serika, muncul istilah ‘gadugi’. Di Irlandia disebut ‘mitheal’, di Finlandia disebut ‘talkot’, di Norwegia disebut ‘dugnad’, di pegunungan Andes disebut Minka, di Afrika Utara disebut ‘naffir’, di Turki disebut ‘imece’, dan di Kenya disebut ‘harambee’.

Sampai dengan fakta-fakta ini, gotong royong terbukti kemudian merupakan fenomena sosial bangsa-bangsa di dunia yang mengalami zaman komunal agraris. Gotong royong adalah ‘wisdom’ atau kebijakan atau cara orang-orang yang umumnya di pedesaan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan berat atau pekerjaan bagi kepentingan orang banyak. Sampai di sini, jika gotong royong hanya dibatasi maknanya pada pemahaman ini, Sukarno akan menangis lagi di kuburannya.

Kaitan dengan Evolusi Manusia

Cukup dengan penjelasan tentang gotong royong “klasik”. Belakangan ini, dunia ilmu pengetahuan mengukuhkan pendapat bahwa selain persaingan (competition), salah satu faktor penting yang mempengaruhi evolusi manusia adalah kerja sama (cooperation).  Temuan ini bukan temuan baru, melainkan temuan ilmu evolusi cara hidup organisme dari tingkat sel hingga mahluk kompleks seperti manusia.

Singkatnya dalam mempertahankan keberlangsungan hidup, organisme, lebih-lebih manusia, akan menunjukkan kecenderungan tidak mementingkan diri sendiri pada kondisi-kondisi yang mengancam keberlangsungan hidup itu sendiri. Pada tingkatan yang lebih tinggi di level masyarakat manusia, selain kompetisi di dalam masyarakat itu sendiri, mode-model kerja sama juga kuat terbentuk sebagai cara mempertahankan kelangsungan hidup berhadapan dengan kondisi-kondisi di luar masyarakat. Bisa itu kompetisi dengan masyarakat lain atau bencana alam.

Tidak mengherankan jika pemulihan kembali keadaan pascabencana, seperti kasus Yogyakarta, membawa dampak peningkatan taraf hidup di sekitar wilayah yang terkena bencana. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi, terbebasnya hambatan-hambatan birokratis dan sosiologis menjelaskan faktor-faktor apa yang memungkinkan cepatnya pemulihan itu terjadi. Ketika terjadi pemulihan pascabencana, masyarakat yang mengalami bencana seperti menyiapkan kembali dirinya dengan kondisi yang lebih bugar dalam mempertahankan kehidupan masyarakat di masa selanjutnya.

Apakah kemudian kerja sama atau gotong royong itu hanya mungkin jika ada faktor besar yang mengancam seperti bencana alam? Entah pertanyaan ini yang naif atau barangkali cara melihat masyarakat manusia dalam kebiasaan hidupnya (behaviourial science) harus dibuka dalam hal-hal yang lebih luas lagi. (Y-1)