“Prometheus datang ke Jawa,” demikian ungkap G Roger Knight, penulis buku Sugar, Steam and Steel: The Industrial Project in Colonial Java, 1830-1885 (2014). Roger adalah sedikit dari penulis dan peneliti yang diakui reputasinya, khususnya dalam bidang studi kolonialisme di Indonesia. Roger lahir di kawasan pedesaan Shropshire, Inggris. Sejak akhir 60-an dia tinggal dan mengajar di Adelaide, Australia.
Prometheus datang dalam bentuk teknologi mesin uap, baja, dan modal raksasa. Dalam waktu kurang dari seratus tahun, ketiganya telah membawa Pulau Jawa menjadi pemasok gula terbesar di dunia setelah Kuba. Roger mencoba menjelaskan proses transformasi yang terjadi di Pulau Jawa pada pertengahan abad 19.
Berbeda dengan penghasil gula nomor satu waktu itu, Kuba, yang terletak di Kepulauan Karibia, Pulau Jawa mempunyai karakter pertanian yang tidak berlandaskan pada tenaga kerja budak. Perbudakan, entah kenapa tidak mendapat tempat di kepulauan tropis terbaik di Asia Tenggara ini.
Antara 1830 hingga 1880 atau hanya sekitar 50 tahun, Pulau Jawa berubah menjadi kawasan industri manufaktur penghasil komoditas pemanis yang sangat digemari di dunia. Melesat, mendahului negeri-negeri sekitarnya di Asia, dengan kekuatan teknologi dan ilmu pengetahuan paling maju pada saat itu.
Industrialisasi Berkarakter Timur
Berbeda dengan Kuba yang struktur masyarakat industrinya diletakkan di atas landasan perbudakan, pertanian tebu di Pulau Jawa di abad 19 mendasarkan dirinya pada hubungan industrial agraris yang rumit dan belajar dari beberapa kegagalan sebelumnya. Perkembangan kota-kota di Pulau Jawa harus diakui memiliki jejak perubahan strukturnya berdasarkan perkembangan industri gula abad 19.
Untuk menghindari simplifikasi atau penyederhanaan akan lebih baik untuk melihat kasus Kuba, sebagai kawasan penghasil gula nomor satu dunia waktu itu sebagai sebuah proses yang ratusan tahun lebih lama proses transformasi industrialnya. Pertumbuhan ekonomi yang membangun strukturnya di atas model perbudakan adalah salah satu fakta sejarah yang memberi satu kepastian, yakni ketersediaan tenaga kerja.
Perbudakan menyediakan ketersediaan tenaga kerja yang siap pakai, siap jumlah, dan siap tenaga. Semua itu pada masanya dianggap lumrah. Padahal kalau hal itu terjadi beberapa ratus tahun sesudahnya sudah pasti akan melanggar konsensus antarbangsa. Kuba sejak abad 16, seperti halnya wilayah benua baru Amerika lainnya, adalah kawasan tujuan bagi pasokan kekuatan kerja budak yang diangkut melewati samudera dari bandar-bandar penjualnya di pantai timur hingga pantai barat Afrika.
Di Pulau Jawa, budak tidak pernah menjadi kekuatan tenaga kerja pembangun ekonomi. Zaman penguasaan bandar-bandar komersial ketika datang pelaut-pelaut Portugis memang cukup ada pasar-pasar budak yang biasanya menyediakan orang-orang yang dipekerjakan bagi perkebunan-perkebunan besar di Sumatra, tetapi tidak pernah menjadi industri. Akibatnya ketika kekuatan modal dari Belanda (Eropa) ingin ikut mengikuti keberhasilan VOC di pesisir utara Jawa dengan membangun kawasan industri berbasis tenaga kerja yang besar, mereka mengalami kegagalan saat memulainya.
Kegagalan di Ciasem-Pamanukan
Ada dua hal besar yang menyebabkan investor ingin membuka industri di luar Ommenlanden. Ommenlanden adalah kawasan di luar benteng Batavia tempat para pelaku industri gula lama menjalankan pengolahan sirup tebu secara tradisional.
Problem pertama yang dihadapi adalah hilangnya dukungan ekologis. Selama kurang lebih seratus tahun pengelolaan tradisional, industri gula Ommenlanden sangat mengandalkan pasokan kayu bakar. Padahal hutan-hutan di sekitar Ommenlanden sudah banyak yang gundul habis karena kebutuhan kayu yang sangat boros. Problem kedua adalah kebangkrutan VOC yang tidak mampu lagi menyediakan dana panjar atau persekot akibat perang Eropa melawan Napoleon yang menghabiskan sumber daya.
Jessen Trail and Company, dalam catatan Roger adalah salah satu investor Eropa yang membuka lahan di luar Ommenlanden. Mereka mengimpor mesin-mesin yang berteknologi terbaru yang belum pernah digunakan di Jawa. Kelebihan peralatan baru itu memungkinkan proses penggilingan tebu hanya menjadi sembilan atau sepuluh hari berbanding dengan tiga puluh hari cara lama untuk menghasilkan 300 (tiga ratus) pikul gula.
Daerah Ciasem hingga Pamanukan adalah wilayah yang dipilih untuk pengembangan pada kurun waktu 1820-an. Wilayah ini adalah wilayah yang sebelumnya dikuasai Raffles saat dia menduduki Jawa. Para kroni Raffles menyebut wilayah ini sebagai P&T (1811-1816). Usaha mereka ternyata gagal. Mesin-mesin berteknologi tinggi ternyata tidak berguna saat pasokan tenaga kerja di wilayah baru itu sangat minim. Catatan kepadatan penduduk wilayah ini pada 1819 hanya sekitar 21.000 orang. Bandingkan dengan Pekalongan pada 1820 yang berpenduduk 136.348 orang.
Hal itu diperburuk lagi dengan ketidakrelaan para pemilik tanah di wilayah ini untuk menyerahkan lahan sawahnya kepada investor. Seperti diketahui di wilayah ini adalah lahan yang sangat subur bagi produksi padi. Akibatnya pengembang industri harus menanam di wilayah tegalan yang sangat sulit untuk dikembangkan. Salah seorang investor yang bernama William T Money mengatakan, kalau dana-dana yang dia kumpulkan di Bombay habis ditelan Pulau Jawa.
Kedatangan Van den Bosch
Pencetus Cultuurstelsel adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang diangkat pada Oktober 1828. Dia dikenal dengan nama Van den Bosch. Buku karangan Edi Cahyono yang berjudul Pekalongan 1830-1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan (2005) bercerita banyak tentang proses industrialisasi manufaktur di pesisir utara Jawa abad 19.
Van den Bosch tidak segera datang ke Jawa. Dia harus menunggu penyelesaian kebijakan daerah koloni yang waktu itu dikelola swasta kembali ke tangan negara. Bulan Maret 1829 baru ada kabar pengunduran diri pengelola swasta. Baru pada akhir Juli 1829 Bosch berangkat dari Belanda dan tiba di Batavia 2 Januari 1830.
Pada 13 Agustus 1830, Bosch menyetujui untuk menanam tebu di karesidenan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kali ini skema yang dia pilih adalah industri yang didukung oleh perusahaan milik negara atau staatbedrijf. Salah satu alasan kuat untuk berpindah ke koloni pantai utara Jawa adalah tersedianya populasi petani yang padat dan area-area luas pedesaan yang beririgasi.
Pengelolaan industri selanjutnya dilakukan secara profesional. Pengembang mengelola modal dengan manajemen usaha dan manajemen tenaga kerja yang lebih tertata. Modal diwujudkan dalam penggunaan gabungan teknologi canggih seperti kincir air dan mesin uap digabungkan dengan kelebihan teknik penggilingan tradisional yang mahir dijalankan oleh orang-orang Tionghoa. Pengelola manajemen langsung ditangani oleh orang-orang Eropa, sedangkan yang paling istimewa tenaga kerja kasar dikerahkan dengan menggunakan ikatan-ikatan perhambaan yang dimediasikan oleh lapisan penguasa bumiputera. (Y-1)