Indonesia.go.id - Jejak Masa Lalu Sirih dan Pinang

Jejak Masa Lalu Sirih dan Pinang

  • Administrator
  • Jumat, 3 Mei 2019 | 09:49 WIB
SEJARAH
  Daun Sirih. Sumber foto: Istimewa

Tradisi nyirih kini hanya tersisa dalam sebuah masyarakat tradisional, yang notabene sedikit terpapar oleh proyek modernitas atau proses pembaratan secara intensif. Tradisi nyirih memberikan hikmah tentang perjalanan proses keterputusan dan sekaligus kesinambungan sebuah tradisi dari masa lalu.

Sekalipun kini tradisi mengunyah sirih hanyalah fenomena kecil di tengah-tengah masyarakat, bagi yang pernah mengunjungi pelosok-pelosok negeri--dari Sumatra, Sulawesi, ataupun Indonesia bagian timur seperti Nusa Tenggara Timur hingga Papua--bisa dipastikan masih akan ditemui kebiasaan ini.

Budaya mengunyah sirih yang sering disebut dalam banyak bahasa daerah, antara lain, "nyirih", "nginang", "bersugi", "bersisik", "menyepah", atau "nyusur", setidaknya hingga kini masih terlihat lazim dilakukan oleh generasi tua, baik laki-laki maupun perempuan, di sejumlah daerah.

Belum diketahui asal-usulnya secara pasti. Konon, tradisi mengkonsumsi sirih dan pinang telah dimulai sejak zaman neolitikum. Sekitar 3.000 tahun yang lalu, hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat Asia Tenggara.

Ada pendapat yang beranggapan jika tradisi itu berasal dari India. Namun pandangan lain menyebutkan, tradisi ini kemungkinan berasal dari kepulauan Nusantara. Ini didasarkan pada asumsi, pinang dan sirih sendiri diduga kuat ialah tanaman asli di kepulauan Indonesia.

Selain itu, juga menyimak pentingnya posisi nyirih bagi orang Indonesia terlihat mencapai tingkatan yang lebih dalam ketimbang di daerah lain di seputar Asia. Hal ini tercermin dari hadirnya tradisi nyirih dalam hampir semua ritual. Bahkan menurut catatan Anthony Reid (2018), dari ritual kelahiran, inisiasi kedewasaan, perkawinan, hingga kematian; dari ritual dan praktik penyembuhan, hingga ritual persembahan kepada roh leluhur.

Boleh dikata, di masa lalu mengunyah sirih atau nyirih di Indonesia bukanlah soal preferensi individual, melainkan keniscayaan dari ritus sosial bagi setiap orang dewasa. Tidak menawarkan sirih, atau menolak nyirih saat ditawari, bahkan akan dicap sebagai penghinaan.

Menariknya, di sepanjang daerah di Indonesia bicara bahan untuk menyirih pun nisbi serupa. Secara umum ada tiga unsur utama dari bahan nyirih, yakni pinang, daun sirih, serta kapur sirih yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut "injet", yang terkadang bahan ini didapatkan dari melumat cangkang kerang.

Yang bisa dikata membedakan tradisi ini di pelbagai wilayah di Nusantara ialah berupa kepercayaan-kepercayaan yang menyertai tradisi itu. Namun, terlepas dari perbedaan itu, pinang dan sirih sejak ribuan tahun tampaknya telah dimuliakan dalam kebudayaan-kebudayaan lokal Indonesia.

Kosa Kata dan Ritual

Potret masa lalu dari fenomena mendarah dagingnya tradisi pinang nyirih ini, bukan saja terindikasi kuat dalam keragaman istilah untuk kedua bahan ini, tapi juga lekat dalam praktik ritual pernikahan adat di Nusantara.

Pinang dan sirih yang istilah dalam bahasa Melayu-nya, atau pineung” dan “ranub” dalam bahasa Aceh, “jambe” dan “suroh” dalam bahasa Jawa, “banda” dan “chanangˆ” dalam bahasa Bali, “rappo” dan “leko” dalam bahasa Makasar, “alossi” dan “ota” dalam bahasa Bugis, serta “hena” dan “bido-marau” dalam bahasa Ternate; dan lain sebagainya.

Terkait dengan ritual adat pernikahan, dari bahasa Melayu istilah ini masuk dalam Bahasa Indonesia modern. Pinang, meminang, yang berarti melamar atau meminta seseorang untuk dinikahi; pinangan ialah berarti meminta pertunangan.

Tampaknya sudah lama dimaknai, berpadunya sirih dan pinang menjadi simbol persetubuhan atau pernikahan. Buah pinang dianggap merepresentasikan unsur "panas" dan daun sirih merepresentasikan unsur "dingin".

Di Aceh, simbolisasi ini menggunakan daun sirih. Dalam bahasa Aceh, ba ranub artinya "memberikan sirih" yang maknanya ialah "memberikan cinta". Pria Aceh di masa lalu menceraikan istrinya dengan memberikan tiga lembar daun pinang.

Dalam bahasa Makasar, leko passiko yang artinya "sebungkus daun sirih juga bermakna mengajukan lamaran. Di sana Ibu pengantin perempuan melakukan ritual nyirih di rumah bersama pasangan pengantin di malam pertama; setelah kelahiran anak, ibu baru dan mertuanya melakukan ritual nyirih bersama.

Dalam upacara panggih, adat perkawinan orang Jawa, misalnya, dikenal serangkaian ritual yang menghadirkan daun sirih sebagai perlengkapannya, yakni saat prosesi "balangan suruh". Di sini daun sirih akan membungkus buah pinang, kapur sirih, gambir, dan tembakau hitam lalu diikat dengan benang lawe.

Orang Jawa menyebut lintingan sirih itu sebagai gantal. Upacara balangan suruh atau gantal yaitu momen ritual panggih ini, sepasang mempelai akan saling melempar suruh sebagai perumpaman kedua mempelai saling melempar kasih dan harapan.

Bahkan, dewasa ini, di kalangan masyarakat yang sudah meninggalkan penggunaan sirih, seringkali masih dijumpai seperangkat daun sirih buatan berbahan perunggu atau perak dipajang di antara perlengkapan pernikahan, dan diserahkan sebagai semacam pernak-pernik perlengkapan untuk tujuan ritual ini.

Catatan Sejarah

Panjangnya usia tradisi nyirih masyarakat Nusantara setidaknya tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih.

Menurut catatan Anthony Reid (2018), pada masa periode Dinasti Tang (7 - 10 M) banyak referensi dari China yang menulis penggunaan dan ekspor pinang dari daerah yang diduga ialah Indonesia. ChanJu-kua mencatat, di Po-ni (Brunei?) abad ke-12, sirih sering dipakai dalam ritual pernikahan dan seremoni istana. Sedangkan Ma Huan melaporkan tentang Jawa sejak awal abad ke-15.

Di China sendiri, istilah pinang pada masa Dinasti Tang ialah "pin-lang", yang diduga kuat diambil dari bahasa Melayu, "pinang". Ini setidaknya menunjukkan area yang pernah didominasi oleh Kerajaan Sriwijaya (Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Borneo barat) adalah sumber komoditas ini.

Hingga abad ke 16 - 17, seturut Anthony Reid, telah banyak ditemukan catatan perihal tradisi nyirih yang dilakukan di hampir semua tempat di Asia tropis. Bahkan karena sirih adalah salah satu item pengeluaran yang dianggap penting, kantung uang yang diterima oleh budak milik Belanda pada abad ke-18 disebut sebagai siriegeld ("uang sirih"). 

Nyirih, boleh dikata menjadi medium tata krama untuk tamu di istana atau desa. Mirip fungsi teh, kopi, atau rokok dewasa ini. Tak hanya itu, nyirih juga jadi simbol ritual utama, obat pencernaan, pasta gigi atau penyegar mulut, atau sebagai obat penenang atau bahkan penangkal rasa lapar.

Tome Pires di abad ke-16 dalam The Suma Oriental mengungkapkan hal ini:

"Nyirih membantu pencernaan, menenangkan otak, memperkuat gigi, sehingga pria yang mengunyahnya biasanya punya gigi yang utuh, tidak ada yang ompong, bahkan sampai usia delapan puluh tahun. Mereka yang nyirih memiliki napas harum, dan jika sehari saja tidak nyirih maka napas mereka menjadi amat bau."

Beberapa bahan sebagai komposisi tambahan dalam nyirih, merujuk tulisan Anthony Reid, antara lain kamper, cengkeh, pala, ambar (ambergris), kapulaga, dan minyak rusa. Bahan tambahan ini menurutnya sudah tertulis dalam literatur Sansekerta sejak abad pertama masehi.

Namun dalam perjalanannya gambir dan tembakau juga menjadi bahan tambahan dalam tradisi nyirih. Bahkan boleh dikata sejak akhir abad ke-18, dua bahan tambahan ini plus sirih, pinang dan injet, jadi standar yang lazim dalam tradisi nyirih.

Menarik dicatat, kuatnya tradisi nyirih ini membuat bangsa Eropa yang tinggal di Hindia Belanda dulu tak luput juga mengadopsi kebiasaan ini. Persepi bahwa nyirih baik untuk kesehatan gigi tampaknya juga diyakini oleh bangsa Eropa saat itu.

Anthony Reid mencatat, orang-orang Belanda di Batavia mulai meninggalkan kebiasaan nyirih mulai pertengahan abad ke-18, sekalipun kaum perempuannya masih melakukan itu hingga abad ke-19. Kebiasaan ini menghilang setelah muncul tren baru dalam kebiasaan nyirih, yaitu menjejalkan tembakau ke mulut setelah keluar air liur pertama. Kebiasaan nyirih tampak mulai menjijikan bagi orang Eropa.

Manjelang berakhirnya abad ke-19, perbedaan kultural bangsa Eropa dengan bangsa Indonesia menjadi semakin tajam. Kini bagi orang Eropa, kebiasaan nyirih dan meludahkan bekas tembakau penyumpal mulut dipandang sebagai tanda inferioritas bangsa Indonesia.

Memasuki abad ke-20, sejalan dengan penyebaran pendidikan barat tampaknya berkaitan erat dengan mulai ditinggalkannya kebiasaan nyirih. Seluruh citra modernitas yang dikontruksi oleh pendidikan Belanda bertentangan dengan aktivitas nyirih.

Di Bugis dan Makasar, misalnya, pada 1900 hampir semua orang nyirih, tapi pada 1950 hampir tak ada satupun orang melakukan itu. Ketika orang Bugis dan Makasar membeli sirih, itu dilakukan untuk persyaratan ritual perkawinan dan bukan dikonsumsi.

Di Jawa, Bali, dan Sumatra, laiknya dampak kolonialisme, bicara dampak "modernisasi" tampaknya berlangsung secara lebih gradual. Sejak 1903, hanya sedikit bupati Jawa yang nyirih, meskipun piranti peralatan nyirih masih dibawa-bawa dalam acara formal dan ritual adat.

Selain aspek pendidikan, di sini penting juga disebutkan fesyen sebagai faktor penyebab hilangnya tradisi nyirih.

Di sepanjang abad ke 19 - 20, konsumsi rokok dicitrakan sebagai bagian dari moderenitas. Sedangkan nyirih semakin terlihat sebagai perilaku yang jorok dan tidak higinies. Ya, suka atau tidak suka, konsumsi rokok ialah salah satu faktor penting yang berdampak menggeser kebiasaan nyirih dalam perilaku sosial masyarakat di Indonesia.

Suka atau tidak suka juga kini tradisi nyirih hanya tersisa dalam sebuah masyarakat tradisional, atau sebutlah masyarakat adat, yang notabene sedikit terpapar oleh proyek modernitas atau proses pembaratan secara intensif. Dari tradisi nyirih ini, hikmah yang dapat disimak ialah pelajaran perjalanan proses keterputusan dan sekaligus kesinambungan sebuah tradisi dari masa lalu. (W-1)