Pulau Bali tak hanya dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia. Pulau seluas 5.780 kilometer persegi (km2) ini juga menyimpan keanekaragaman hayati yang kaya dan layak untuk dieksplorasi sebagai sebuah kegiatan wisata petualangan. Salah satunya adalah Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang terletak di dua kabupaten, yakni di Buleleng dan Jembrana.
Menempati areal seluas 77.000 hektare dan hanya berjarak 2 kilometer dari penyeberangan menuju Pulau Jawa di Gilimanuk, TNBB adalah daerah tujuan wisata petualangan yang digemari turis domestik dan mancanegara. Pengelola TNBB mencatat setiap tahunnya tak kurang dari 50.000 hingga 60.000 turis singgah ke taman nasional yang lokasinya berada di ujung barat Bali. Dari jumlah turis yang berkunjung itu, 90 persennya adalah turis asing.
TNBB terdiri dari ekosistem laut dan darat. Ekosistem lautnya dikenal dengan air lautnya yang jernih kebiruan dengan koleksi terdiri dari terumbu karang (coral reef), padang lamun, pantai berpasir, serta perairan laut dangkal dan dalam. Terdapat pula empat pulau kecil seperti Pulau Menjangan, Pulau Gadung, Pulau Burung, dan Pulau Kalong.
Sedangkan ekosistem darat lebih lengkap karena terdiri dari sabana, hutan hujan dataran rendah, hutan musim, hutan pantai, mangrove dan danau. Bukan itu saja. Di TNBB ini terdapat beberapa gunung sebagai bagian dari dataran tinggi. Gunung tersebut seperti Gunung Prapat, Gunung Panginuman, Gunung Malaye, dan Gunung Patas dengan ketinggian tak lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut.
TNBB juga menjadi rumah bagi sejumlah spesies satwa seperti aneka burung mulai jalak putih, jalak suren, ibis putih kepala hitam, bangau tongtong hingga burung endemik yang nyaris punah, jalak bali. Satwa lain juga menjadikan TNBB sebagai rumah mereka seperti ikan duyung, penyu sisik, penyu hijau, kijang, landak, dan kancil.
Penghargaan untuk Jatna
Bertepatan dengan International Day for Biological Diversity atau Hari Keanekaragaman Hayati Dunia pada 22 Mei 2020, pengelola TNBB bersama dengan sejumlah peneliti lingkungan hidup mengumumkan ditemukannya spesies baru dari reptil jenis Gecko cyrtodactylus atau lebih dikenal sebagai tokek.
Penemuan spesies baru tokek ini telah dimuat pada jurnal lingkungan, Taprobanica edisi Mei 2020. Para peneliti tersebut adalah AA Thasun Amarasinghe dari Research Center for Climate Change, Universitas Indonesia (RCCC UI), Awal Riyanto (Museum Zoologicum Bogoriense/MZB), Mumpuni (Museum Zoologicum Bogoriense/MZB), dan Lee L Grismer (Universitas La Sierra, California, Amerika Serikat).
Spesies endemik baru ini oleh peneliti diberi nama Cyrtodactylus jatnai. Penamaannya diberikan sebagai penghargaan kepada ahli konservasi, Jatna Supriatna. Profesor ekologi dan primatologi dari Universitas Indonesia kelahiran Bali ini dinilai telah memberi kontribusi yang luar biasa bagi konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Di kalangan pegiat lingkungan hidup, Profesor Jatna dijuluki sebagai Pendekar Konservasi Indonesia karena kegigihannya dalam mengenalkan etika melakukan konservasi kepada para mahasiswanya dan masyarakat umum.
Menurut Amarasinghe, sejak seratus tahun yang lalu, spesies tersebut dikenal sebagai Cyrtodactylus fumosus. Namun berdasarkan pemeriksaan mendetail, ditemukan bahwa Cyrtodactylus dari Bali, setidaknya adalah satu spesies yang berbeda. Secara morfologi dan contoh dari beberapa daerah biogeografi lainnya menunjukkan kemiripan dengan Cyrtodactylus seribuatensis dari Pulau Seribuat di Malaysia bagian barat yang ditemukan pada 2006. Tetapi ada ciri morfologi yang membedakan, yaitu pada bagian sisiknya.
Kepala Balai TNBB Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Ngurah Krisna menyampaikan bahwa penemuan ini merupakan hasil penelitian dalam rangka kerja sama antara Balai TNBB dengan Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC UI). Penelitian tersebut mengenai Pelaksanaan Demonstrasi Proyek The Rainsforest Standard Protected Area Credit di Kawasan TNBB selama setahun, 2015-2016.
Agus menyebutkan, masih terdapat kemungkinan bertambahnya spesies baru dari hasil kegiatan penelitian ini. Beberapa jenis herpetofauna masih unidentified dan sedang dalam penelitian mendetail oleh Tim Peneliti RCCC UI dan MZB," ujarnya.
Temuan spesies baru tentunya menambah keanekaragaman hayati kawasan TNBB di mana sebelumnya tercatat terdapat 18 jenis mamalia, 205 jenis burung, 13 jenis reptil, 10 jenis amfibi, 67 jenis kupu-kupu, dan lebih dari 120 jenis ikan. Hal ini juga didukung oleh keberadaan ekosistem yang cukup lengkap mulai dari ekosistem hutan hujan dataran rendah dengan 72 jenis pohon, ekosistem hutan musim dengan 66 jenis pohon, ekosistem sabana dengan 55 jenis pohon, ekosistem mangrove dengan 18 jenis pohon, ekosistem hutan pantai, dan ekosistem terumbu karang.
Pengelolaan kawasan konservasi bisa dilakukan melalui strategi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Adapula sinergitas dan dukungan dari masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi dan para pihak lainnya. Semua itu menjadi kekuatan bagi pengelola kawasan untuk menjaga kelestarian tumbuhan dan satwa liar di kawasan TNBB.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini