Flores merupakan salah satu gugusan pulau yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur dengan pesona keanekaragaman flora dan fauna. Wilayah dengan luas sekira 14.000 kilometer persegi ini terkenal dengan wisata budaya dan alam salah satunya adalah hewan endemik Elang Flores. Elang Flores sendiri diartikan sebagai key species yang dapat mempengaruhi ekosistme yang saling bergantungan serta jumlah dan karakteristik spesies lain di suatu komunitas. (Raja Mohd, 2017).
Indonesia sendiri merupakan rumah bagi berbagai jenis burung salah satunya dari jenis pemangsa (raptor). Dan terdapat 71 jenis burung raptor di Indonesia. Dari 71 jenis burung raptor tersebut, 10 diantaranya adalah spesies endemik dan 2 diantaranya masuk dalam kategori terancam punah (endangered). Yang itu adalah Elang Flores.
Elang Flores merupakan jenis elang yang hanya ada di Indonesia. Hewan dengan nama latin Nisaetus floris ini memiliki ukuran fisik yang besar hingga 71-82 centimeter. Penyebaran populasinya sebetulnya tidak hanya ada di Flores, tetapi meliputi Pulau Lombok, Sumbawa, Pulau Satonda, Rinca dan Flores.
Habitatnya mudah dijumpai di kawasan hutan daratan rendah yang memiliki ketinggian hingga 1.000 mdpl. Ini tentu saja berhubungan dengan cara berburunya yang menerkam dengan jarak yang tidak terlalu tinggi. Diantaranya ada di kawasan Hutan Mbeliling dan Taman Nasional Kelimutu.
Burung Elang Flores secara fisik tidak terlalu jauh berbeda dengan Elang Brontok dengan bulu putih di kepala sampai leher dan warna cokelat dengan garis putih di ujung sayapnya. Salah satu eksotiseme burung ini biasanya karena memperlihatkan mahkota di atas kepalanya saat bertengger di ranting pohon.
Namun, hewan endemik Indonesia ini kini populasinya terancam akibat ulah perburuan yang tinggi. Data Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkannya sebagai jenis Kritis (Critically Endangered/CR) populasinya saat ini diperkirakan antara 100 hingga 240 individu dewasa. Sementara itu, dari data Pemerintah Daerah Kabupaten Ende yang disampaikan Bupati Marsel Petu pada April 2019, populasi Elang Flores di kawasan Taman Nasional Kelimutu, Flores, NTT semakin terancam dan tersisa hanya tinggal 10 ekor.
Bagi masyarakat setempat, yang sebagian besar masyarakat Flores merupakan suku Manggarai yang kebanyakan dapat mengenali banyak jenis elang. Mereka menamai Elang Flores sebagai Ntangis. Mereka juga menamai sejumlah kecil Elang seperti Jumburiang untuk Elang Bonelli’s (Hieratus fasciatus) dan Lawang ntangis untuk Brahminy Kite (Halistur Indus). Suku Manggarai di bagian barat Flores menganggap bahwa Elang Flores sebagai toem atau empo, leluhur manusa, dan tidak boleh disiksa, dibunuh, atau ditangkap (Trainor & Lesmana 2000).
Kian terancamnya populasi Elang Flores tidak bisa dipisahkan dari keresahan masyarakat yang dianggap sebagai hama atas hewan unggas peliharaanya. Bahkan, tidak hanya itu, berdasarkan data dari Taman Nasional Gunung Rinjani, perburuan liar, kebakaran hutan dan penebangan hutan dengan masif menyebabkan tergerusnya habitat burung Elang Flores hanya tinggal menyisakan 36,1 hektare. (K-ES)