Isu terjadinya deindustrialisasi sempat mengemuka di tengah-tengah masa kampanye pemilihan presiden dan pemilihan legislatif beberapa waktu lalu. Namun, isu itu ditepis oleh pemerintah.
Bahkan, pemerintah melalui Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memaparkan data bahwa ada kecenderungan yang sangat positif, ekspor komoditas telah mengalami pergeseran ke produk manufaktur. Artinya, industri di negara ini sedang tumbuh.
Indikasi itu terlihat dari meningkatnya impor bahan baku dan penolong sehingga menyumbang defisit impor pada per Januari-Februari tahun ini. Impor itu terutama datang dari bahan baku dan penolong. Namun, ujungnya adalah investasi di industri marak.
Mendag Enggartiasto juga menyakini data perdagangan yang dipegangnya bahwa pertumbuhan ekonomi negara ini menunjukkan angka yang stabil dan ekspansif. Oleh karena itu, wajar dirinya optimistis kementerian itu bisa menaikkan target ekspor nonmigas hingga 8% pada 2019 menjadi USD175,8 miliar berbanding dengan tahun lalu yang hanya mencapai USD162,8 miliar.
Target sebesar itu terdiri dari 81% merupakan produk manufaktur, dan sisinya 19% berupa komoditas primer. Dan, kementerian ini mengelaborasinya di lima prioritas sektor ekspor berupa produk makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik serta produk kimia.
Pernyataan Enggartiasto itu sejalan dengan pernyataan Menko Perekonomian Darmin Nasution strategi Pemerintah Indonesia yang fokus dalam era industri 4.0 untuk menjemput industri yang mempunyai keunggulan komparatif dan daya saing dalam pasar global.
“Lima sektor utama yang dipilih sebagai sektor fokus ‘Making Indonesia 4.0’ mencakup otomotif, tekstil, dan busana, makanan dan minuman, kimia, serta elektronik,” papar Menko Darmin.
Gambaran Industri Pengolahan
Di tengah-tengah optimistis yang membuncah dari pemangku kepentingan pemerintah meskipun ekonomi global masih belum bersahabat, ada kabar yang cukup positif, yakni indeks manajer pembelian manufaktur (Purchasing Manager’s Index/PMI) menunjukkan tren yang positif sepanjang Februari 2019.
Menurut laporan PMI sepanjang Februari 2019, level manufaktur Indonesia kini berada di level 50,1 dari bulan sebelumnya sebesar 49,9. Angka ini menunjukkan sektor manufaktur Indonesia tengah berada tingkat ekspansif.
Indeks manufaktur yang dirilis setiap bulan tersebut memberikan gambaran tentang kinerja industri pengolahan pada suatu negara, yang berasal dari pertanyaan seputar jumlah produksi, permintaan baru, ketenagakerjaan, inventori, dan waktu pengiriman.
Apabila data indeks di atas 50 menunjukkan peningkatan di semua variabel survei.
Survei PMI manufaktur menggunakan data respons para manajer di bidang pembelian yang berasal dari 300 perusahaan manufaktur berbagai sektor, di antaranya industri logam dasar, kimia dan plastik, tekstil dan pakaian, serta makanan dan minuman.
PMI manufaktur Indonesia pada Januari 2019 sempat mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan Desember 2018, namun itu merupakan hal yang wajar.
“Adanya kabar itu menjadi kabar gembira bagi sektor industry. Sinyal ini menunjukkan industri ada pertumbuhan yang bisa membuat kita terus optimistis. Kalau kita lihat PMI manufaktur mengalami kenaikan, kemudian investasi juga terus tumbuh," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Adanya laporan PMI itu telah memberikan semangat pemangku kepentingan di sektor itu untuk menyongsong industri yang mempunyai keunggulan komparatif dan daya saing dalam pasar global. Dalam rangka itu Kementerian Perindustrian pun mematok pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,4% tahun ini.
Subsektor yang diperkirakan tumbuh tinggi, antara lain, industri makanan dan minuman, industri permesinan, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki, serta industri barang logam, komputer dan barang elektronika.
"Kami [Kemenperin] berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya untuk terus mendorong industri berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial dan pengembangan sektor swasta yang dinamis," tutur Airlangga.
Dalam konteks PMI Indonesia selama periode Februari 2019 itu, indeks itu menujukkan negara ini masih lebih baik dibanding kawasan Asia Tenggara yang turun ke posisi 49,6 dari bulan sebelumnya 49,7 atau terendah sejak Juli 2017.
Di tingkat global, indeks manufaktur berada pada level 50,6 atau terendah sejak Juni 2016. Pelambatan ini diduga menggambarkan produksi manufaktur dunia yang stagnan di tengah perang dagang China versus Amerika Serikat.
Sementara itu, laporan Nikkei berkaitan kondisi bisnis global tahun ini mengungkapkan sejumlah kalangan pelaku bisnis cukup antusias terhadap perkiraan
bisnis tahun mendatang. Pebisnis berharap, aktivitas manufaktur akan membaik seiring dengan variasi produk yang lebih banyak, investasi kapital, dan ekspansi bisnis yang terencana.
Wajar saja pemerintah begitu optimis sejumlah target yang ditetapkan itu bisa tercapai tahun ini. Pasalnya, sejumlah kebijakan makro tetap dijaga dengan komitmen pemerintah melaksanakan paket kebijakan ekonomi yang telah diluncurkan.
Salah satunya adalah regulasi yang berkaitan dengan tax holiday yang mencakup lebih banyak sektor, yaitu melalui PMK 150/2018 tentang Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, apalagi juga didukung adanya kepastian untuk mendapatkan insentif tersebut juga lebih jelas dengan adanya online single submission (OSS).
Artinya, investor tidak perlu lagi menunggu bahwa kondisi ekonomi dan politik Indonesia dinilai stabil. Ini kesempatan Indonesia untuk terus memacu investasi, ekspor, dan pengoptimalan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di sektor industri sehingga akhirnya juga menekan defisit neraca perdagangan yang mendera beberapa waktu terakhir ini. (F-1)