Indonesia.go.id - Tembakau, Sejarah dan Cita Rasa Indonesia

Tembakau, Sejarah dan Cita Rasa Indonesia

  • Administrator
  • Jumat, 21 September 2018 | 07:01 WIB
  Sumber foto: Istimewa

Kesuburan Indonesia ialah sebuah keajaiban dan berkah tersendiri. Bagaimana tidak, sekalipun banyak jenis tanaman sebenarnya bukanlah tanaman endemik, tapi setelah ditanam di lingkungan alam tropis Indonesia, ternyata kualitas hasilnya tak kalah dibandingkan dengan saat tanaman itu dibudidayakan di negara asalnya.

Bahkan, tak jarang hasilnya jauh lebih berkualitas. Contohnya tentu melimpah. Antara lain sebutlah tembakau, kopi, singkong, jagung, dan masih banyak lagi lainnya.

Bernama latin nicotiana tabacum, tanaman ini diduga berasal dari Amerika Selatan atau Amerika Utara. Setelah konsumsi tembakau menjadi life style di Eropa, tembakau dibawa masuk Indonesia oleh sejarah kolonialisme Barat, setidaknya di awal abad ke-17. Ada beberapa hipotesa sejarah, yaitu bangsa Spayol, Portugis atau barangkali Belanda. Meski demikian secara etimologi, istilah tembakau sendiri berasal dari bahasa Spayol, “tabaco”.

Sekalipun hampir bisa dipastikan secara historis berasal dari luar Indonesia, namun karena tembakau telah menjadi tanaman budidaya dan mata pencarian masyarakat sejak ratusan tahun lalu, walhasil tak sedikit ditemui folklore menarasikan tanaman ini berasal dari Indonesia.

Bagi masyarakat lereng Sumbing-Sidoro-Prau, misalnya, di sana dikenal ritual among tebal. Ini adalah satu dari empat ritual masyarakat setempat terkait tembakau, di mana among tebal ialah upacara menjelang penanaman bibit hari pertama. Didedikasikan kepada Ki Ageng Makukuhan, ritual ini untuk menghormati dan mengenang orang suci yang dipercaya sebagai orang pertama yang memperkenalkan bibit tembakau. Konon, tanaman itu diperoleh Ki Ageng Makukuhan dari Sunan Kudus. Istilah “mbako” dalam bahasa Jawa berasal dari ucapan Ki Makukuhan:“Iki tambaku!” demikian sabdanya saat mengobati orang sakit dan seketika itu juga sembuh. Tanaman inilah yang dipercayai warga di lereng Sumbing-Sindoro-Prau sebagai bibit tembakau pertama yang ditanam di daerah mereka.

Sementara di Madura, juga terdapat folklore mengisahkan sejarah tembakau terkait seorang tokoh bernama Pangeran Katandur.  Istilah ‘katandur’ artinya menanam. Nama ini diberikan kepada Habib Ahmad Baidlowi, sosok yang kemudian dikenal menjadi cikal bakal tanaman tembakau dikembangkan di pulau garam itu sejak abad ke-12. Tak kecuali beberapa komunitas masyarakat adat seperti Sunda Wiwitan Ciptagelar, Bayan (Wetu Telu), dan bukan tak mungkin masih banyak masyarakat adat lainnya yang meyakini, tanaman tembakau laiknya tanaman cengkeh berasal dari Nusantara.

Tentu saja sejarawan seperti Kuntowijoyo boleh saja mempertentangkan mitos dan sejarah. Tapi, hal itu tak berlaku bagi masyarakat Sumbing-Sindoro-Prau. Tanpa perlu merasa terganggu dengan asal-usul tembakau versi para sejarawan, asal-usul tembakau beerkaitan dengan folklore Ki Ageng Makukuhan diyakini mereka sebagai kebenaran yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Demikian juga bagi masyarakat Madura, Sunda Wiwitan Ciptagelar maupun Bayan.

Tentu susah sekiranya kita harus melacak sejak kapan tanaman tembakau mulai dibudidayakan di Indonesia secara umum maupun di berbagai komunitas adat secara khusus. Namun sekiranya melacak sejaraht kosumsi masyarakat atas tembakau dalam berbagai cara konsumsi, catatan tentangnya barangkali masih dapat ditemukan.

Sebutlah tradisi nyirih, nyereh, nginang, atau nyusur, misalnya. Tergambar pada salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan wadah dubang serta bentuk orang mengunyah yang ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai mengunyah sirih. Pada awalnya posisi tembakau bersifat komplemen atau substitusi bagi praktik nyirih. Benar, bahwa tidak terlalu jelas sejak kapan tembakau mulai digunakan. Tapi, menurut Anthony Reid, pada perjalanannya kemudian mengunyah tembakau menjadi praktik umum masyarakat yang sinonim dengan mengunyah sirih. Fenomena ini juga terlihat dalam bahasa Jawa lingua-franca, di mana istilah nyirih, nyereh, nginang dan nyusur seringkali digunakan secara sinonim. Nyirih, nyereh, nginang dan nyusur, boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik.

Artinya sejalan dengan fakta di atas sebenarnya bukan tak mungkin tak hanya sebatas tradisi nyirih, melainkan lebih jauh juga terkait keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur, juga dapat ditafsirkan secara spekulatif bahwa hal itu sesungguhnya telah dikenal oleh bangsa Indonesia jauh hari sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.

Sedangkan bicara konsumsi tembakau dengan cara dibakar, sejarah mencatat kebiasaan ini telah menjadi perilaku dan kebiasaan masyarakat Indonesia jauh hari juga. Babad Tanah Jawa mencatat merokok mulai digemari orang Jawa saat Panembahan Senapati wafat. Sejarawan De Graaf mengatakan, Raja Sultan Agung di Mataram Islam ialah perokok kelas wahid. Sementara potret tentang khalayak luas telah menyukai rokok terlihat dalam folklore dan lakon ketoprak “Rara Mendut-Pranacitra”. Rara Mendut dan Pranacitra yang merupakan narasi lokal perihal kisah cinta ala Romeo dan Juliet ini mengambil konteks waktu di masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, anak dari Sultan Agung. Dalam folklore dan lakon ketoprak itu diceritakan, bahwa rokok telah jadi barang dagangan sehari-hari.

Selain itu, pada Serat Centhini (1814) yang disebut-sebut sebagai ensiklopedi Jawa juga ditemukan kata “ngaudut”, “eses” atau “ses” sebagai istilah umum bahasa Jawa menyebut fenomena konsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok sendiri baru digunakan belakangan, yaitu kisaran akhir abad ke-19. Berasal dari bahasa Belanda yaitu “ro’ken”, pada mulanya hanya digunakan untuk menyebut orang mengisap pipa dan cerutu.

Dari Perkebunan Hingga Prototipe Industri Nasional

Bicara sejarah tanaman tembakau sebagai sektor industri perkebunan yang dikelola secara besar-besaran tentu ialah buah kebijakan Pemerintah Belanda. Tingginya nilai tembakau dalam perdagangan dunia saat itu, Gubernur Jenderal Van den Bosch mengeluarkan kebijakan kulturstelsel menempatkan tanaman tembakau sebagai salah satu komoditas yang harus ditanam. Disebut “onderneming” yaitu perkebunan budidaya yang diusahakan secara besar-besaran dengan piranti teknologi modern. Pelaksanaan tanam paksa di Hindia Belanda itu dilaksanakan bersamaan dengan memuncaknya harga komoditas tembakau di Eropa.

Sebutlah popularitas “Deli Tabak” atau “Tembakau Deli” di Eropa nantinya, misalnya, dimulai dari ekspansi onderneming tembakau di Sumatera Timur. Dipelopori seorang Belanda J. Nienhujs. Datang ke Deli atas ajakan Said Abdullah pada 1863, Nienhujs berhasil mendapatkan konsesi tanah dari Sultan Deli untuk membuka perkebunan. Letaknya di tepi Sungai Deli dengan luas 4.000 bau (1 bau: 0,7 hektar). Perjanjian konsesi diberikan selama 20 tahun. Selama 5 tahun pertama dia dibebaskan dari pajak dan sesudah itu baru membayar 200 gulden setahun. Kendati awalnya kurang berhasil, tetapi sejak itu ekspansi ekonomi perkebunan mulai berjalan dengan skala besar.

Pada tahun 1869 Nienhuijs mendirikan Deli Maatschappij, sebuah perseroan terbatas pertama yang beroperasi di Hindia Belanda dengan kantor pusatnya di Rotterdam. Dari tahun ke tahun jumlah perkebunan tembakau terus bertambah. Tercatat, dari 1 onderneming tembakau di 1864, kemudian naik dan naik hingga mencapai puncaknya pada 1891 dengan onderneming tembakau berjumlah 169. Lokasinya tidak semata di Deli tetapi meluas hingga Langkat dan Serdang. Kemunculan perkembunan tembakau juga bukan hanya terjadi di Sumatera Timur tetapi juga bermunculan di Pulau Jawa. Pertumbuhan industri perkebunan tembakau ini sejalan dengan kenaikan angka ekspor tembakau ke Rotterdam. Kualitas tembakau Indonesia dikenal sebagai salah satu tembakau terbaik di dunia.

Namun sejalan munculnya overproduction di pasar dunia, juga boikot atas praktik poenale sanctie terhadap buruh-buruh perkebunan, penerapan bea McKinley, dan tentunya juga penurunan harga tembakau, maka di 1904 jumlah onderneming tembakau di Sumatera Timur susut jadi 114. Bahkan menjelang krisis ekonomi 1930-an—yang sering disebut oleh Bapak Proklamator Soekarno – Hatta sebagai “zaman meleset”— pada 1928 jumlah onderneming tembakau tercatat 72; saat krisis ekonomi 1931 tercatat turun menjadi 67; 1932 tercatat turun lagi jadi 61; dan pada 1934 – 1940 tinggal tersisa 45 onderneming tembakau. Fenomena yang sama tentu juga terjadi di Jawa.

Demikian terkenalnya komoditas tembakau Indonesia di dunia, sejak 1959 Indonesia juga telah menjalin kerja sama perdagangan dengan pasar lelang tembakau Bremen di Jerman. Tembakau Indonesia khususnya dari Sumatera menjadi primadona penggemar cerutu di Eropa. Kerjasama perdagangan melalui mekanisme lelang dimulai dengan pembentukan Tabak Börse, 1961. Dimulai sejak 1959 saat proses pelelangan tembakau hasil panen perkebunan di Indonesia harus dipindahkan dari Rotterdam, Belanda.

Indonesia bukan hanya menghasilkan tembakau berkualitas di tingkat dunia, hal lain menarik dicatat ialah munculnya prototipe industri nasional: kretek. Bagaimanapun, kretek ialah produk khas dan asli Indonesia yang secara spesifik berbeda dari rokok pada umumnya. Kretek, bukan hanya merupakan perpaduan dari beragam tembakau yang diracik menjadi satu, namun sekaligus juga diramu dengan cengkeh dan bahan rempah lainnya. Karekteristik cita rasa kretek yang khas benar-benar merajai pasar nasional dan nisbi jadi penghalang kuat masuknya produk rokok negara-negara lain.

Tak berlebihan kontribusi penerimaan negara di sektor ini, tercatat signifikan: tahun 2011 sebesar 73,25 trilyun; tahun 2012 sebesar 90,55 trilyun; tahun 2013 sebesar 103,56 trilyun; tahun 2014 sebesar 112,54 trilyun; tahun 2015 sebesar 123,2 trilyun; tahun 2016 sebesar 123,93 trilyun; tahun 2017 sebesar 145,48 trilyun; dan terakhir tahun 2018 diestimasi sebesar 148,23 trilyun.