“Orang yang mati ketika itu,
Terlalu banyak bukan suatu,
Ada terselit di pohon kayu,
Ada yang pipih dihimpit perahu.
Datanglah gelombang yang besar sekali,
Bertaburlah umat di sana sini,
Ada yang hilang anak dan bini,
Mana yang sampai ajal pun mati.
Hamba mendengar demikian peri,
Rahmat juga di dalamnya negeri,
Tiada seperti Pulau Sebesi,
Orangnya tidak kelihatan lagi.
Pulau Sebuku dikata orang,
Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang,
Tiadalah hidup barang seorang”
Demikianlah kutipan puisi dari ‘Syair Lampung Karam’ karya Muhammad Saleh. Catatan ini ditulis dalam bahasa Melayu dengan memakai aksara Arab-Melayu (Jawi) di daerah pengungsiannya Singapura, tiga bulan setelah momen meletusnya Gunung Krakatau di senja 26 Agustus 1883 itu.
Adalah Suryadi, filolog dan peneliti di Jurusan Asia Tenggara dan Oseania Universiteit Leiden, yang menerbitkan kembali teks ini dengan judul ‘Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883’ pada 2009, selang 125 tahun kemudian setelah terbit pertama. Dalam teori sastra, teks ini sering disebut sebagai “puisi jurnalisme” karena kuatnya nuansa jurnalistik atas peristiwa tersebut.
Saksi mata lain, RA van Sandick, mantan insinyur kepala yang bekerja di Hindi-Belanda, tengah berada di atas kapal Loudon yang berlayar dari Batavia menuju Teluk Betung (Lampung). Dalam buku ‘In het Rijk van Vulcaan: de Uitbarsting van Krakatau en Hare Gevolgen’, selain memberikan estimasi korban meninggal 70.000 jiwa, Sandick juga melukiskan dampak letusan tersebut.
“Ada sebuah pemandangan yang mengerikan, di mana pesisir pantai Jawa dan Sumatra benar-benar hancur. Semua yang ada berwarna kelabu dan suram, desa-desa dan pepohonan menghilang; bahkan runtuhannya pun tidak bisa kita lihat. Gelombang telah merusak dan menghabiskan semua penghuninya, rumah, tanaman, dan binatang ternak mereka. Saat itu sulit untuk mengenali Anyer di mana tidak ada satu pun rumah yang berdiri di kota itu. Ini adalah sebuah pemandangan dari sebuah akhir zaman.”
Karena piranti telegrafi telah ditemukan, letusan gunung itu segera diketahui secara luas oleh masyarakat dunia. Sering disebut orang sebagai bencana alam yang memiliki kedasyatan sama dengan letusan Gunung Vesuvius di Italia pada Agustus 79, istilah Krakatau atau Krakatoa segera saja lekat denan makna bencana besar, tragedi, kematian yang massal, dan suasana serba mendung serta nuansa muram.
Padahal daya letusan dan kuantitas material lontar yang dikeluarkan dari momen letusan kedua gunung itu jelas berbeda sekali. Merujuk perbandingan yang dikeluarkan oleh USGS-Volcano Hazards Program, skala Volcanic Explosivity Index (VEI) pada letusan Gunung Vesuvius yang mengubur masyarakat Pompeii dan Heculaneum dengan material vulkanik hingga lenyap selama ribuan tahun itu, berada pada tingkat 5. Gunung Krakatau berdasar skala VEI berada pada tingkat 6.
Seperti diketahui model penghitungan VEI, selain pada skala 0 dan skala 2, secara teoritis diasumsi terdapat perbedaan sepuluh kali lipat antarskala, baik itu terkait daya erupsi maupun volume material lontar yang dihempaskan. Maka dapat disimpulkan, erupsi Gunung Krakatau ialah jauh lebih dahsyat ketimbang Gunung Vesuvius. De Neve (1984) mengestimasi, daya letusan ini berkekuatan 21.574 kali daya ledak bom atom yang meleburkan Hiroshima Jepang di Perang Dunia ke-2.
Letusan Gunung Krakatau terjadi dua-tiga hari, pada 26-28 Agustus 1883. Letusan itu melontarkan lebih dari 10 km kubik material piroklastika, baik dalam bentuk aliran awan panas maupun abu letusan, dan materialnya menutupi wilayah seluas 827.000 km². Sedangkan di hari kedua, letusan itu diikuti oleh gelombang besar tsunami setinggi 40 meter yang membawa material panas vulkanik ‘ombak piroklastis’ dan menghantam pesisir Lampung dan Banten.
Konon, gelombang ombak itu mencapai hingga Afrika atau meliputi sekitar seperempat bumi. Sedangkan, suara letusannya terdengar mencapai Srilangka dan Karachi di bagian barat; Perth dan Sydney di bagian timur.
Letusan itu sepuluh kali lebih dahsyat jika dibandingkan dengan letusan Gunung St Helens di Amerika Serikat pada 1980. Letusan Gunung Krakatau adalah letusan terbesar kedua dalam sejarah masyarakat modern, yang hanya dapat dikerdilkan oleh letusan Gunung Tambora yang mencatat skala erupsi 7 VEI pada 1815, namun peristiwanya hampir-hampir tak diketahui masyarakat dunia.
Apa yang menarik dicatat, erupsi Krakatau berdampak pada perubahan iklim. Menurut catatan jurnalis Simon Winchester dalam ‘Krakatau: Ketika dunia meledak 27 Agustus 1883’, debu yang dilontarkan ke langit bukan saja berdampak menurunkan suhu planet ini, melainkan juga mengubah penampilan langit di seluruh dunia.
Diceritakan Winchester, letusan itu bahkan membuat panik para petugas pemadam kebakaran di Amerika karena mereka mengira arak-arakan awan yang memerah saat menjelang mentari terbenam di negeri Paman Sam itu ialah perwujudan dari api neraka yang tengah mengamuk.
Jika Sandick mengestimasi jumlah korban meninggal mencapai 70.000, maka merujuk artikel Erlita Tantri (2014), peneliti LIPI, mengutip penelitian Rupert Furneaux (1965) dalam bukunya ‘Krakatoa’, diestimasi jumlah korban meninggal sebanyak 36.380 jiwa. Angka ini memiliki kemiripan dengan jumlah yang diberikan oleh Winchester, ditaksir lebih dari 36.000 jiwa.
Evolusi Krakatau
Namun, Gunung Krakatau bukan sekadar kisah tragedi dan kehancuran. Dalam khazanah ilmu pengetahuan, Krakatau juga simbol kehidupan dan daya pulih alam. Empat puluh empat tahun kemudian, pascaerupsi 1883, gunung baru muncul di lokasi yang sama pada 29 Juni 1927. Itulah gunung yang kini sohor menyandang nama ‘Anak Krakatau’.
Seorang geolog Belanda, JMW Nash, pada Januari 1928 datang ke bekas kaldera Krakatau, dan mencatat munculnya lapisan pasir yang membentuk pulau baru separuh lingkaran dengan panjang sekitar 10 meter. Di pusat lengkungan itu, tampak gundukan batuan yang berasap setinggi 8,93 meter dpl. Inilah embrio Anak Krakatau, si pulau gunung api.
Merujuk artikel Igan S. Sutawidjaja dalam majalah Geomagz (2011), seorang Penyelidik Bumi Badan Geologi di Kementerian ESDM, sejarah setidaknya telah mencatat tiga kali Gunung Krakatau mengalami penghancuran dan pembangunan tubuhnya kembali. Pada tahun 416, tahun 1200, dan tahun 1883. Sebelum letusan yang menghancurkan tubuh ibunya pada 1883 dan kemudian disusul lahirnya si-anaknya sekarang, ditaksir tinggi Gunung Rakata mencapai 822 m dpl, Gunung Danan 450 m dpl, dan Gunung Perbuwatan berkisar 120 m dpl.
Menarik dicatat, sejak kemunculannya di permukaan laut hingga saat ini, pertumbuhan Gunung Anak Krakatau terbilang cepat. Posisinya di zona subduksi membuat tubuhnya menjadi tumbuh bongsor. Tercatat pada 2010 gunung ini memiliki tinggi mencapai 320 m dpl. Artinya sepanjang 80 tahun sejak kemunculannya rata-rata pertumbuhan gunung ini mencapai 4 meter per tahun.
Winchester memiliki hitungan yang berbeda. Menurutnya sejak kelahirannya setiap tahun ia tumbuh menjadi lebih tinggi 20 kaki, dan lebih lebar sekitar 40 kaki. Yang berarti jikalau dihitung menggunakan skala meter, gunung ini menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter dan lebih besar sekitar 12 meter.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1546941066_KDM.JPG" style="height:205px; width:407px" />
Keterangan: Diambil dari situs Kementerian ESDM
Namun demikian pada fase tertentu tampaknya pertumbuhan tinggi dan besar gunung tidak selalu konstan. Sutawidjaja (2006) mencatat, sepanjang 1992-2001 Anak Krakatau itu tumbuh tinggi lebih dari 100 meter, dan penambahan luas areanya sebanyak 378.527 m2. Ini berarti tubuh gunung tumbuh lebih dari 10 meter setiap tahunnya. Sutawidjaja juga menggarisbawahi hasil analisis kecepatan pertumbuhan yang dihitung Suktino Bronto (1990), yang menaksir kecepatan pertumbuhan Gunung Anak Krakatau mencapai 0,051 km³ per tahun.
Volume diameter tubuh Gunung Anak Krakatau, pada 1981 mencapai 2,35 km³. Selang dua tahun, pada 1983 membesar menjadi 2,87 km³. Tujuh tahun kemudian, yaitu pada 1990 tumbuh mencapai 3,25 km³. Dan pada pengukuran terakhir, yaitu pada tahun 2000, tubuhnya sudah membengkak mencapai 5,52 km³.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1546941541_Perkembangan_morfologi_GAK_pada_1929_2000_(Sutawidjaja,_2006).jpg" style="height:632px; width:365px" />
Keterangan: Perkembangan morfologi GAK pada 1929-2000 (Sutawidjaja, 2006)
Sutikno Bronto mengestimasi, pada 2040 volume Anak Krakatau akan melebihi volume Gunung Rakata, Danan, dan Perbuwatan menjelang letusan 1883. Merujuk data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM, catatan terakhir sebelum terjadi letusan pada 22 Desember 2018 lalu, tinggi tubuh gunung itu mencapai 338 meter dpl.
Walhasil, pascaletusan berakhir kini volume besar tubuh Anak Krakatau mengecil. Diperkirakan volume yang hilang berkisar 150-180 juta meter kubik. Saat ini volume yang tersisa berkisar 40-70 juta meter kubik dengan tinggi tubuh menjadi 110 meter dpl. (W-1)
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1546941985_Otoritas_Informasi_Geospasial_Jepang.jpg" style="height:423px; width:999px" />Keterangan: Foto satelit sisi kiri diambil per 20 Agustus dan sisi kanan 24 Desember. Sumber: Otoritas Informasi Geospasial Jepang
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1546942223_Material_gunung_yang_longsor.jpg" style="height:1201px; width:2010px" />Keterangan: Material gunung yang longsor. Sumber: Geologi.co.id