Indonesia.go.id - Jembatan Cikubang, Saksi Sejarah Kereta Priangan

Jembatan Cikubang, Saksi Sejarah Kereta Priangan

  • Administrator
  • Minggu, 4 Oktober 2020 | 01:49 WIB
INFRASTRUKTUR
  Jembatan Cikubang. Rel tua yang masih aktif hingga hari ini. Foto: PT KAI

Dengan bentang sepanjang 300 meter dan ditopang struktur 11 pilar baja, Jembatan Cikubang telah digunakan sejak 114 tahun lalu. Lebih dari 30 perjalanan kereta api dilayani setiap harinya.

Jalur kereta api Jakarta-Bandung merupakan salah satu ruas tua yang masih aktif hingga hari ini. Ruas ini dibangun bertahap sejak April 1869, dimulai dari ruas Batavia menuju Karawang yang rampung dikerjakan pada 1898.

Dilanjutkan dengan ruas hingga Bandung yang dibangun Perusahaan Kereta Pemerintah Hindia Belanda StaatsSpoorwegen (SS) dan selesai pada 2 Mei 1906. Jalur kereta Jakarta-Bandung ini melewati banyak lereng perbukitan terjal dengan tebing curam dan membelah sungai serta lembah.

Menurut buku Sejarah Perkeretapian di Indonesia Jilid 2, pada ruas Purwakarta menuju Padalarang sepanjang 56 km saja terdapat setidaknya 400 jembatan pendek dan panjang. Salah satunya adalah Jembatan Cikubang.

Selain merupakan nama sebuah sungai yang mengalir di wilayah Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Cikubang juga dikenal karena terdapat sebuah jembatan baja khusus untuk jalur kereta. Kita akan berjumpa dengan jembatan ini selepas melewati Stasiun Sasaksaat.

Struktur Jembatan Cikubang berdiri kokoh setinggi 80 meter dari dasar pondasinya. Sosok Jembatan Cikubang dengan bentang sepanjang 300 meter ini ditopang struktur 11 pilar baja yang beratnya rata-rata 122 ton serta panjang bentang bervariasi antara 12-50 meter. Jembatan ini berdiri menjulang di tengah lembah dan perbukitan hijau Panyaungan serta areal persawahan milik warga.

Di tiap-tiap pilar jembatan berkode BH 513 ini terdapat tangga kontrol yang digunakan petugas kereta untuk mengecek kondisi rel. Terdapat pula 16 dek darurat di masing-masing sisi jembatan.

Tak jauh dari Jembatan Cikubang terdapat jembatan sejenis bernama Cirangrang dan Batu Kerut. Material baja pada Jembatan Cikubang dan beberapa jembatan sejenis di sekitarnya didatangkan dari Eropa melalui Pelabuhan Tanjungpriok serta Pelabuhan Cilacap.

 

Jalur Penting Selatan

Jembatan Cikubang berada di Kampung Babakan Rongga, Cipatat. Sekitar 200 meter dari Jembatan Cikubang terdapat jembatan Tol Cipularang tepatnya di kilometer 109.

Jembatan Cikubang yang telah berusia 114 tahun adalah jembatan kereta aktif terpanjang yang ada di Indonesia saat ini. Keanggunan Jembatan Cikubang akan makin tampak saat sebuah rangkaian kereta melintas tepat di atasnya.

Pemerhati sejarah dan budaya dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Agus Mulyana mengatakan, kehadiran jembatan kokoh ini untuk melengkapi arti penting jalur Jakarta-Bandung dan Padalarang-Purwakarta termasuk menuju arah selatan Jawa.

Menurutnya, pembangunan jalan kereta merupakan bagian dari perubahan teknologi transportasi pada masanya. Apalagi pembangunan kereta di tanah Priangan oleh Kolonial Hindia Belanda lebih banyak dilatarbelakangi untuk kepentingan ekonomi.

Selain sebagai lintasan utama mengangkut penumpang, kereta juga dipakai untuk membawa hasil perkebunan seperti kina dan teh. Begitu pula ketika mulai digunakannya lokomotif jenis diesel untuk menggantikan lokomotif uap pada jalur Jakarta-Bandung di era akhir 1950.

Djawatan Kereta Api, cikal bakal PT Kereta Api Indonesia (KAI), mulai melakukan penguatan struktur jembatan di Pulau Jawa, termasuk Jembatan Cikubang. Penguatan struktur ini juga dilakukan pada 1953 dengan menambah penopang baja pada pilar-pilar Jembatan Cikubang.

Penguatan struktur itu di kemudian hari semakin dirasakan manfaatnya untuk menyambut makin bertambahnya jumlah kereta yang lalu lalang di lintas ini setiap harinya.

Dalam catatan PT KAI, sebelum pandemi Covid-19, setidaknya dalam sehari terdapat 17 rangkaian kereta melakukan perjalanan rute Jakarta-Bandung dan sebaliknya. Itu belum termasuk sedikitnya 20 perjalanan kereta untuk lintas luar Jakarta-Bandung.

 

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini