Indonesia.go.id - Mitos-mitos Dewi Laut di Nusantara

Mitos-mitos Dewi Laut di Nusantara

  • Administrator
  • Selasa, 20 Agustus 2019 | 02:10 WIB
MITOLOGI
  Biding Laut Kanjeng Ratu Kidul. Foto: Istimewa

Sekalipun analisis sejarah Pram katakanlah “benar”, bahwa “perkawinan spiritual” Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram ialah sekadar upaya membangun legitimasi kekuasaan karena posisi penguasaan teritori laut justru mulai melemah, tetapi di sisi lain mitos itu juga jadi penanda masih adanya poros imaginer kesatuan antara darat dan laut.

Mitos dan kepercayaan tentang Kanjeng Ratu Kidul bisa dikata masih tertanam sangat kuat dalam masyarakat Jawa. Ini setidaknya terlihat dari masih kuatnya institusi adat yaitu Kesultanan di Yogyakarta dan Kasunanan di Surakarta, mengakui eksitensinya. Pengakuan ini terejawantah dalam ritus labuhan sedekah laut maupun pementasan tari Bedhaya Ketawang, sebuah agenda resmi ritual tahunan dari institusi adat masyarakat Jawa.

Bukan hanya milik Jawa, mitos ini juga muncul dalam folkore masyarakat Nusantara lainnya. Merujuk artikel berjudul Berbagai Mitos Tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari Bangsa Indonesia karya Yoseph Yapi Taum (2013), sekalipun tidak muncul sebagai figur dengan nama yang sama—yaitu Kanjeng Ratu Kidul—setidaknya mitos atau legenda tentang Dewi Laut juga bisa ditemui di Lombok, Aceh, dan Sumatra Utara. Mari kita simak.

Masyarakat etnis Sasak di Pulau Lombok hingga saat ini masih menyimpan sebuah legenda yang bernilai sakral tinggi tentang Putri Mandalika, putri laut yang mengorbankan dirinya dan menjadi santapan penduduk setempat. Dalam ritual Bau Nyale, yaitu upacara menangkap sejenis cacing laut, masyarakat Sasak mempercayai cacing laut aneka warna yang muncul ke permukaan air laut tersebut ialah manifestasi Putri Mandalika.

Masyarakat Sumatra Utara dan Aceh juga mengenal sebuah legenda bahureksa lautan yang perkasa. Dikenal sebagai legenda Putri Hijau. Putri yang dikenal sangat rupawan ini menjadi penghuni sebuah negeri di dasar laut. Konon lokasinya di sekitar Pulau Berhala.

Barangkali Taum lupa, di tanah Batak sekalipun di kawasan pegunungan dan nisbi jauh dari pesisir nyatanya juga mengenal mitos ini. Si Boru Biding Laut, demikianlah nama putri itu diduga ialah sebagai sinonim dengan Kanjeng Ratu Kidul di Jawa. Legenda ini tidak terlepas dari kisah Raja-raja Batak sebagai nenek moyang etnis tersebut.

Kembali merujuk artikel Taum, mari bergeser ke Indonesia Timur. Di sana pun ditemui mitos yang berisi pemujaan terhadap ‘penguasa laut’. Sebutlah etnis Buru di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, misalnya. Di sana juga dikenal keberadaan Ina Kabuki, ratu yang bertahta di dasar Teluk Kayeli. Masyarakat Lamalera di Flores, tak kecuali. Mereka menyebut laut sebagai “Ina Fae Belé” yang artinya Ibunda yang maharahim, “Ina Lefa” (Bunda Lautan), atau “Ina Soro Budi” (Ibu yang memberi hatinya kepada anak-anaknya).  

Sedangkan jika menjejak Pulau Dewata, mitos ini juga ditemui. AA Kade Sri Yudari dalam disertasinya Persepsi Masyarakat Terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan, Kajian Wacana Naratif, mencatat bahwa masyarakat Bali memiliki dua versi perihal ‘penguasa lautan’. Pertama, versi Kejawen yang disebut Kanjeng Ratu Kidul. Kedua, versi lain dari komunitas tertentu di Bali, yang memaknai Ratu Kidul sebagai istilah yang merujuk pada dewi pelindung dan penjaga sumber mata air (tirtha).

Nama penyebutannya beragam, seperti: Dewi Danu, Dewi Gangga, Ratu Niyang Sakti, Ratu Biyang Sakti, Ratu Ayu Mas Manik Tirta, Ratu Gede Sekaring Jagat, Ratu Ayu Mas Kentel Gumi, hingga Ratu Ayu Manik Macorong Dane Gusti Blembong. Bahkan, Ratu Gede Dalem Ped pun tak sesekali diistilahkan sebagai Ratu Kidul.    

Lanjut Kade Sri, beberapa artefak yang menandai kepercayaan masyarakat Bali atas Dewi Laut ini bisa dijumpai di hutan Segara Rupek, Pantai Pengambengan, Pantai Rambut Siwi, Pura Segara Watu Klotok, Pura Dalem Ped, dan sejumlah tempat suci yang terletak di pesisir pantai. Di beberapa daerah ini juga lazim dijumpai ritual-ritual permohonan keselamatan kepada penguasa lautan, seperti Upacara Labuhan, Ritual Petik Laut, Larung Laut dan lainnya.

Bahkan di Pulau Dewata, laiknya Inna Samudra Beach Hotel di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, Inna Grand Bali Beach Hotel juga memiliki “kamar suci” yang diperuntukkan khusus bagi Dewi Laut.

Jejak-jejak Negara Bahari

Sudah tentu banyak tafsiran mengemuka. Salah satu yang menarik dicermati ialah tafsiran Pramoedya Ananta Toer. Pada 1995, sekalipun dia tidak hadir dalam sesi penyerahan Ramon Magsaysay Award di Filipina, Bung Pram—demikian biasa dipanggil—memberikan orasi tertulis. Salah satu paragraf tulisannya, berbunyi:

“Salah satu contoh bagaimana pujangga Jawa memitoskan kekalahan Sultan Agung, raja pedalaman Jawa, yang dalam operasi militer terhadap Batavia-nya Belanda pada dekade kedua abad 17 telah mengalami kekalahan total. Akibatnya Mataram kehilangan kekuasaannya atas Laut Jawa sebagai jalan laut internasional. Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain, bahwa setiap raja Mataram beristrikan Sang Dewi tersebut. Anak mitos lain, ditabukan berpakaian hijau di pantai Laut Selatan. Ini untuk memutuskan asosiasi orang pada pakaian hijau Kompeni Belanda. Dan tanpa sengaja oleh pujangganya sendiri, Sang Dewi telah mengukuhkan kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Bahkan menjadi polisi batin rakyat Mataram.”

Sekalipun bernada kritik, tapi Pram di sini tegas mengingatkan posisi sejarah Indonesia sebagai bangsa bahari. Mitos ini, dalam arti negatif, langsung atau tidak memiliki korelasi kuat dengan jejak-jejak sejarah Indonesia sebagai bangsa bahari.

Benar, sejauh ini kemunculan mitos Kanjeng Ratu Kidul memiliki korelasi dengan sejarah Kerajaan Mataram-Islam. Berawal dari pertapaan Panembahan Senapati di pesisir Laut Kidul, sang pendiri wangsa ini, cerita ini ditulis dalam Babad Tanah Jawa di zaman Sultan Agung.

Sungguhpun perspektif analisis sejarah oleh Pram katakanlah “benar”, Pram belum mendedah lebih jauh tentang bagaimana kaitan ekologis dan filosofis antara laut dan manusia. Artinya, jikalau Pram ditanya soal kemunculan mitos Dewi Laut di banyak folklore di Nusantara, mudah diduga Pram tentu akan menjawab: populasi etnis Jawa sebagai etnis terbesar di Indonesia, plus hegemoni kultur Jawa di masa Orde Baru, ialah kata kunci di balik tersebarnya kepercayaan Kanjeng Ratu Kidul di banyak masyarakat.

Pram tampaknya lupa, atau mungkin menganggap tak penting, bahwa latarbelakang Indonesia sebagai negara kepulauan bukan tak mungkin telah memantik kemunculan mitos Dewi Laut. Bagaimanapun, dua pertiga wilayah Indonesia berupa lautan. Berdasarkan data BPS 2016, tercatat 17.504 pulau. Menyimak konteks ekologis ini, mudah diterka corak kebudayaan yang dilatarbelakangi oleh air atau lautan tentu pernah menjadi orientasi utama dari pandangan-dunia (weltanscahauung) masyarakat pehuninya.

Kembali merujuk artikel Taum. Menurutnya, dalam pandangan berbagai etnis di Indonesia, laut pada umumnya dipandang sebagai “ibu”. Berbeda dengan mitologi Hindu yang memandang laut sebagai laki-laki atau maskulin, di Indonesia sosok bahureksa laut mendapat artikulasi feminim dan mengambil bentuk sosok perempuan. Seperti halnya bumi, tanah, dan air, dengan demikian laut juga merupakan unsur pengandung, pelahir, dan penyusui kehidupan.

Seperti telah disinggung di muka, masyarakat Lamalera memiliki banyak nama untuk menyebut laut. Laut memiliki peran amat sentral dalam kehidupan orang Lamalera. Dalam sastra orang Lamalera, selain Ina Fae Belé, laut juga disebut dengan nama Sedo Basa Hari Lolo: ibunda yang maha rahim, maha pengasih, ibunda yang senantiasa mengandung, melahirkan, membesarkan memelihara anak-anaknya. Singkat kata, laut menyediakan semua kebutuhan manusia.

Tak kecuali, masyarakat etnis Sasak. Laut juga dipahami sebagai ibu yang memberi kehidupan. Seperti diketahui setiap Februari--Maret, selalu muncul banyak sekali cacing laut aneka warna ke permukaan air dan menepi ke pinggir sehingga mudah ditakap. Cacing laut yang rasanya gurih dan jadi makanan khas etnis ini dipercayai sebagai pemberian dari Putri Mandalika.

Lantas bagaimana dengan etnis Jawa? Sayangnya Taum juga belum mengeksplorasi lebih jauh. Budaya Jawa pra-Islam, selain kental diwarnai tradisi Hindu, juga mencatat banyak nama perempuan sebagai tokoh penting atau bahkan raja. Sebutlah Ratu Shima, Sri Tribuwana Tungga Dewi, atau Ratu Kaliyamat. Dua nama pertama ialah sosok raja, yaitu Raja di Kerajaan Medang Kamulan dan di Kerajaan Majapahit; sementara yang terakhir ialah pengusaha yang memiliki pengaruh kuat di masa Kerajaan Demak.

Dari tradisi Hindu dikenal konsep cakti atau sakti. Konsep ini berarti kekuatan, kekuasaan atau energi yang mawujud sebagai aspek kewanitaan pada Tuhan, yang kadangkala juga dianggap sebagai 'Ibu Surgawi'. Sakti melambangkan asas dinamis dari kekuatan feminim. Dalam konteks inilah Dewi Parwati, yaitu istri Dewa Siwa, sering disebut sebagai ‘sakti’-nya Dewa Siwa; Dewi Laksmi ialah ‘sakti’-nya Dewa Wisnu; dan Dewi Saraswati ‘sakti’-nya Dewa Brahma.

Adanya aspek feminim atau kewanitaan pada diri Tuhan dalam kosmologi Hindu-Jawa ini, membuat entitas ketuhanan dimaknai sebagai perpaduan antara unsur maskulin dan feminim. Ditambah sejarah masa lalu tanah Jawa, yang pernah menorehkan perempuan sebagai raja besar—fakta ini pasti juga diketahui Sultan Agung—maka bicara sumber khazanah kebijaksanaan tentu disadari bukanlah monopoli kaum laki-laki. Jejak adanya pengakuan kesetaraan gender ini, setidaknya tecermin pada istilah penyebutan raja dalam bahasa Jawa, yaitu “ratu”. Berasal dari bahasa Jawa Kuno, istilah ratu bisa dikata berjenis kelamin perempuan.

Kembali pada motif di balik penulisan Babad Tanah Jawa. Sekalipun analisis Pram katakanlah “benar”, bahwa “perkawinan spiritual” Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram ialah sekadar upaya membangun legitimasi kekuasaan karena posisi penguasaan teritorial laut saat itu justru mulai melemah, tetapi di sisi lain mitos itu juga jadi penanda masih adanya poros imaginer kesatuan antara darat dan laut. Istilah Tanah Air sebagai sinonim menyebut bangsa ini jelas lahir dari khazanah tersebut.

Selain itu, juga secara simultan bisa diandaikan tafsiran lain. Di sisi lain, rasa-rasanya bukan berlebihan jikalau kemunculan mitos Kanjeng Ratu Kidul sebagai istri dari raja-raja Jawa juga bisa ditafsirkan sebagai memberi ruang hadirnya perempuan sebagai sumber kebijaksanaan raja, sekalipun juga secara imaginer. Pasalnya, sejak era Kerajaan Demak hingga Mataram-Islam di era kontemporer saat ini, patut dicatat di tanah Jawa justru belum pernah muncul sosok perempuan sebagai ratu sama sekali. (W-1)