Itulah Si Jagur, sebuah meriam yang bisa disaksikan bila kita mengunjungi Museum Fatahilah, Kota Tua, Jakarta. Bangsa Portugis menyebut lambang tersebut dengan “mano in figa”. Maksudnya, lambang tersebut bermakna kepercayaan dan kesuburan. Ia juga berarti sebuah ejekan untuk bangsa Belanda yang merupakan musuh Portugis saat itu.
Dari beberapa literatur yang berhasil dihimpun, meriam Si Jagur dibuat di Makao dari pabrik St Jago de Barra, oleh The Master of Royal Foundry (O Grande Fundidor) Manuel Tavares Bocarro (MTB) pada tahun 1641. Meriam itu digunakan awalnya oleh Portugis untuk mempertahankan bentengnya di Malaka.
Si Jagur Sudah puluhan kali pindah tangan dan pindah tempat. Bermula hijrah ke Batavia dibawa oleh Belanda, dibawah bendera korporasi dagang VOC. Meriam seberat 3,5 ton itu, menurut Thomas B Ataladjar seorang pengajar jurnalistik dan menulis di SMP dan SMK Plus Berkualitas, Lengkong Mandiri, Kota Tanggerang Selatan, Si Jagur dibuat dari peleburan 16 meriam kecil lainnya. Wajar bila si pembuat mengukir tulisan “Ex Me Ipsa Renata Sum” atau aku diciptakan dari diriku sendiri.
Sementara di berbagai buku sejarah di museum dan booklet milik UPK Kota Tua, mencatat kesaksian bahwa para penyentuh simbol meriam. Bagi mereka yang mandul, mempercayainya akan segera dikarunia keturunan. Literatur lain menyebutkan, banyak sekali orang menziarahi Si Jagur, ketika meriam tersebut ditempatkan di dekat Jembatan Kota Intan.
Pada saat yang lalu, kita masih menjumpai banyak orang yang datang membakar kemenyan dan menabur kembang di sekitar si Jagur. Mereka percaya kalau meriam tersebut bisa mengabulkan permintaan keluarga yang belum memiliki anak.
Lalu pada 1968, si Jagur dipindahkan ke Museum wayang dan pada tahun 1974 dipindahkan ke Museum Fatahillah. Dalam bukunya, Meriam Si Jagur, Thomas menuliskan sebuah hikayat lain. Si Jagur tak sendirian, ia punya pasangan tempur yang bernama Ki Amuk yang kini berada di Museum Banten. Jika kedua meriam ini disatukan konon bisa mengusir penjajah Belanda. Ada lagi pasangan Si Jagur yang kini berada di Solo yakni meriam Nyai Setomi.
Kisah Tentang Kiai Setomo dan Nyai Setomi
Sementara buku Ensklopedi Jakarta menuliskan jika kekuatan Si Jagur bermula kala Raja Padjajaran bermimpi buruk. Ia mendengar suara gemuruh dari sebuah senjata yang kelihatan sangat dahsyat dan tak dikenal tentaranya.
Sang Raja lalu memerintahkan patihnya, Kiai Setomo, untuk mencari senjata ampuh tersebut. Apabila gagal akan dihukum mati. Dalam mengupayakan senjata ampuh tersebut, Kiai Setomo dan istrinya Nyai Setomi bersemedi di dalam rumah.
Setelah sekian lama Sang Patih tidak kelihatan, Sang Raja memerintahkan para prajurit menggeledah rumah Kiai Setomo. Namun tidak ditemukan siapapun dalam rumah itu, kecuali 2 buah pipa aneh yang besar.
Ternyata Kiai Setomo dan Nyai Setomi telah berubah wujud menjadi dua buah meriam seperti dalam impian Sang Raja. Cerita berubahnya suami istri menjadi meriam tersiar kemana-mana, hingga terdengar oleh Sultan Agung di Mataram.
Sultan Agung memerintahkan agar kedua meriam itu dibawa ke Mataram, namun meriam jantan Kiai Setomo tak bisa dibawa serta. Warga Batavia gempar menyaksikan benda tersebut dan menganggap benda yang dilihatnya itu barang suci. Mereka lalu menutupinya dengan sebuah payung untuk melindunginya dari terik matahari dan hujan dan menamakannya Kiai Jagur atau Sang Perkasa.
Ada literatur lain pula yang menyebutkan jika penamaan Si Jagur berawal dari bunyinya yang “jegar--jegur” kala meriam itu ditembakkan. Berbagai sumber menyebutkan sejarah yang berbeda. Namun mereka bersepakat bahwa Si Jagur adalah meriam penuh mitos dan kaya sejarah. Ia digunakan oleh berbagai penguasa dari masa ke masa. Untuk membunuh, menyerang, atau sekedar jadi barang antik koleksi museum. (K-YN)