Sejatinya, menjaga ruang digital bukan hanya soal teknologi, tetapi soal etika dan kesadaran kolektif. Kita semua bisa menjadi produsen sekaligus konsumen informasi.
Di sebuah kafe di Makassar, seorang mahasiswa tampak sibuk menatap layar ponselnya. Ia mengetik cepat, lalu menekan tombol “bagikan”. Dalam hitungan detik, kabar yang baru saja ia terima berpindah ke beberapa grup WhatsApp. Namun, satu hal luput dari perhatiannya, yakni kabar itu belum tentu benar.
Kisah semacam ini bukan hal langka di era digital. Di dunia yang serba terhubung, kecepatan sering kali mengalahkan ketepatan. Setiap hari, jutaan orang menelan informasi tanpa sempat mengunyahnya — percaya begitu saja, lalu menyebarkannya.
Di ruang digital saat ini, fakta dan fiksi seakan-akan tak lagi berjarak. Dahulu, kita membaca berita dari koran atau televisi, dengan wartawan yang memastikan fakta sebelum disiarkan. Kini, semua orang bisa menjadi “penyampai berita”. Hanya butuh satu ponsel dan jaringan internet.
Sayangnya, di balik kemudahan itu, ruang digital kita kerap menjadi ladang subur bagi kabar palsu. Mulai dari isu politik yang memecah belah, teori konspirasi hingga hoaks kesehatan yang menyesatkan.
Selama pandemi, misalnya, beredar pesan berantai soal obat ajaib dan ramuan antikorona. Banyak yang percaya, bahkan mempraktikkannya, tanpa menyadari risikonya.
Saat ini, ribuan konten hoaks beredar setiap tahun, sebagian besar melalui media sosial. Hoaks kini bukan sekadar kebohongan, tetapi sudah menjadi industri informasi yang hidup dari klik dan sensasi.
Sejatinya, menjaga ruang digital bukan hanya soal teknologi, tetapi soal etika dan kesadaran kolektif. Kita semua bisa menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Setiap kali membagikan sesuatu, kita ikut menentukan apakah ruang digital ini akan sehat atau beracun.
Klik ‘bagikan’ itu mudah, tetapi dampaknya bisa panjang. Kadang, satu kabar keliru bisa menimbulkan keresahan nasional. Karenanya, literasi digital menjadi hal penting untuk meningkatkan kemampuan mengenali sumber informasi yang kredibel, memahami konteks, dan berpikir kritis sebelum menyebarkan sesuatu.
Di tengah kebisingan informasi, media profesional masih punya peran penting: memverifikasi, menyeimbangkan, dan memberi konteks. Namun, mereka juga menghadapi tekanan. Algoritma media sosial lebih menyukai yang sensasional, bukan yang substansial.
Sementara publik, sering kali lebih cepat memercayai kabar yang muncul di linimasa daripada hasil liputan mendalam. Berita benar sekarang kalah cepat dari kabar palsu.
Tetapi di situlah nilai jurnalisme diuji. Ketika semua orang bisa menulis, siapa yang tetap bisa dipercaya? Kepercayaan itulah yang kini menjadi mata uang paling berharga di dunia digital — sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan klik, tetapi dibangun lewat integritas.
Di tengah derasnya arus informasi digital, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menegaskan pentingnya kolaborasi antara media sosial dan media arus utama (mainstream) untuk membangun ekosistem informasi yang kredibel.
Pesan itu menjadi benang merah dalam kegiatan "MediaConnect: Dari Clickbait Jadi Kredibel" yang digelar Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media (DJKPM) di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (23/10/2025).
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media (KPM) Kemkomdigi, Fifi Aleyda Yahya, menegaskan bahwa kecepatan informasi tidak seharusnya mengorbankan akurasi. Dalam era digitalisasi saperti saat ini, keberadaan media sosial maupun media mainstream di ruang digital seharusnya bisa saling melengkapi sehingga membentuk ekosistem informasi yang kredibel.
Media sosial dan media mainstream tidak perlu bersaing, apalagi saling menyingkirkan. "Keduanya bisa saling isi. Media sosial memberi kecepatan dan kedekatan, media mainstream memberi kedalaman dan kredibilitas. Kalau dua kekuatan ini digabung, kita bisa punya ekosistem informasi yang disukai sekaligus dipercaya," kata Fifi.
Fifi pun menambahkan, pada masa di mana semua orang dapat menjadi penyampai pesan, tanggung jawab etika dan akurasi makin besar. “Masalahnya sekarang bukan siapa yang paling cepat menyebar, tetapi siapa yang paling bisa dipercaya. Karena di era banjir informasi, yang paling berharga bukan klik, tapi kredibilitas,” tegasnya.
Menjaga Ruang Digital Tetap Aman dan Sehat
Saat yang sama Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar, turut mengungkap bahwa saat ini pemerintah berkomitmen menjaga ruang digital tetap aman namun sekaligus tetap menghormati kebebasan berekspresi masyarakat. “Pemerintah tidak ingin membungkam kebebasan. Kami menjaga keseimbangan antara ruang digital yang aman dengan hak-hak warga negara,” jelas Alexander.
Ia menuturkan, Kemkomdigi saat ini menjalankan dua pendekatan besar dalam menjaga ruang digital, patroli aktif dan penanganan reaktif. Patroli aktif dilakukan 24 jam untuk mendeteksi dan menindaklanjuti konten negatif melalui sistem moderasi konten nasional (SAMAN) dan kolaborasi dengan berbagai platform digital.
Sementara itu, penanganan reaktif dilakukan melalui kanal aduankonten.id dan aduan instansi, di mana masyarakat dan lembaga pemerintah dapat melaporkan konten bermasalah.
Data terbaru Kemkomdigi mencatat bahwa sepanjang 25 Agustus hingga 21 Oktober 2025, pemerintah telah menangani 3.943 konten disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) di berbagai platform digital, termasuk Facebook, YouTube, X (Twitter), TikTok, dan Telegram. Sementara itu, 1.674 isu hoaks telah diidentifikasi sepanjang satu tahun terakhir (Oktober 2024–Oktober 2025).
“Tren ini menunjukkan bahwa disinformasi masih menjadi ancaman serius. Karena itu, upaya kolaboratif antara pemerintah, media, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk memastikan ruang digital tetap sehat,” tutur Alexander Sabar.
Alexander mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya para generasi muda untuk menjaga ruang digital agar tetap bersih dari hal-hal negatif.
"Mari jaga ruang digital kita karena bangsa ini masa depannya ada di tangan generasi muda," kata Alexander Sabar dalam paparannya pada diskusi Media Connect: Dari Clickbait Jadi Kredibel di Menara Bosowa, Makassar, Kamis (23/10/2025) malam.
Alex, sapaan Alexander Sabar, juga mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati sebelum membagikan informasi di media sosial dengan melakukan pemeriksaan fakta terlebih dahulu. Imbauan itu muncul menyusul maraknya informasi yang cepat tersebar namun belum tentu valid.
Menurut Alex, masalah utama adalah kecenderungan pengguna media sosial yang terlalu mudah melakukan sharing tanpa mengecek sumber informasi. Salah satu contoh yang disorot adalah kabar tentang kebocoran data pribadi melalui SIM card.
Saat ditelaah, kata Alex, hanya ada satu laporan di media online yang mengangkat isu tersebut, sementara media mainstream lain tidak menulisnya. Lebih lanjut, ketika dilakukan pengecekan ke pasar gelap di dark web—tempat biasanya data dijual—data terkait kabar itu tidak ditemukan. Kondisi ini menimbulkan keraguan atas validitas klaim kebocoran tersebut.
“Lakukan cek fakta dahulu sebelum membagikan. Cari di media-media mainstream; jangan hanya percaya satu sumber atau unggahan yang viral,” kata Alexander sambil menekankan bahwa proses verifikasi sederhana dapat membantu memfilter informasi palsu atau informasi yang belum terkonfirmasi.
Selain memeriksa sumber, Alex juga mengingatkan agar pengguna berpikir tentang tujuan membagikan sebuah informasi.
"Jika informasi itu tidak memberikan manfaat jelas, pertimbangkan kembali sebelum menekan tombol bagikan. Meskipun informasi tersebut benar, bila tidak berguna atau berpotensi membingungkan publik, menahan diri lebih bijak," ujar Alex.
Dalam era ponsel, tambah Alex, kebiasaan cepat menekan layar—scroll, lihat, lalu bagikan—dianggap berisiko. "Dahulu saat ramai-ramianya komputer ada istilah think before you click, sekarang zamannya handphone menjadi think before you tap atau secara lebih luas think before share," jelas Alex.
Alex pun memberikan langkah praktis untuk mengurangi penyebaran informasi keliru sehingga ruang digital bisa terus bersih dari disinformasi, fitnah dan ujaran kebencian.
Langkah praktis yang direkomendasikan antara lain, periksa kesamaan pemberitaan di beberapa media mainstream; Konfirmasi kebenaran melalui situs resmi atau sumber otoritatif; Jika isu berkaitan dengan data bocor, cek keberadaannya di forum atau pasar tempat data biasanya diperjualbelikan; Pertimbangkan manfaat dan dampak informasi sebelum membagikannya.
"Imbauan ini diharapkan dapat menumbuhkan kebiasaan berbagi yang lebih bertanggung jawab dan membantu menekan laju disinformasi di ruang digital," tutur Alex.
Jurnalis Senior Fenty Effendy memaparkan mengenai tantangan media massa dalam menghadapi gerusan media sosial dan digitalisasi.
Menurut Fenty, tingkat akurasi yang tinggi dalam sebuah berita menjadi kunci agar media massa tidak tergerus zaman. Dengan demikian, media massa tetap menjadi sumber informasi yang kredibel.
"Dari clickbait jadi kredibel. Itu tema besar diskusi ini. Dari berita yang sensasional, menggoda, viral, tercepat begitu ya. Jadi, bacaan atau informasi yang kredibel yang menjadi panduan, yang akan menghentikan kegaduhan. Harapannya seperti itu ya. Kuncinya ya akurasi berita harus tepat," kata Fenty.
Fenty menambahkan, kita bisa membayangkan jika ada sebuah berita, yang kita tahu itu mengandung ketidakkuratan, tentunya jika dibiarkan bergulir-bergulir pastinya akan menyesatkan pembacanya. "Jadi, saya sangat mengedepankan pentingnya akurasi sebuah berita," kata Fenty.
Lindungi Anak di Ruang Digital
Hadirnya PP Tunas atau Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, pemerintah menegaskan komitmennya dalam melindungi anak-anak dari risiko di ruang digital melalui penyusunan berbagai regulasi yang memberikan batasan akses penggunaan gawai sesuai kelompok usia.
Alex mengatakan bahwa langkah tersebut menjadi bagian dari upaya membangun generasi emas Indonesia 2045 yang sehat secara digital.
“Kita sadar, anak adalah masa depan kita. Mereka yang sekarang berusia 20-an tahun akan menjadi pemimpin di masa mendatang,” ujar Alex.
“Karena itu, pemerintah membuat aturan dari sisi regulasi untuk melindungi anak-anak agar tidak terpapar konten yang tidak sesuai usia," tambah Alex.
Menurut Alex, aturan yang dibuat pemerintah membagi pengguna ruang digital berdasarkan kelompok umur, menyesuaikan antara tingkat risiko rendah dan risiko tinggi dari konten yang diakses. Melalui pengaturan ini, diharapkan anak-anak dapat terlindungi dari paparan informasi maupun hiburan yang belum layak bagi usia mereka.
Selain peran pemerintah dan platform digital yang wajib melakukan verifikasi pengguna, Alexnder juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam pengawasan. Ia menyoroti fenomena yang kerap terjadi di masyarakat, di mana orang tua memberikan gawai kepada anak untuk menonton video di YouTube agar anaknya tenang.
“Sekarang ini YouTube seolah menjadi the best babysitter in the world. Yang penting anaknya anteng, ibunya buka YouTube dan diberikan ke anaknya,” ujarnya mengingatkan. “Padahal aturan dibuat justru untuk membatasi akses seperti itu. Tetapi orang tua sendiri yang membuka jalan bagi anak-anak untuk mengakses konten digital tanpa pengawasan," lanjutnya.
Ia menambahkan, pengawasan terhadap ruang digital bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau Kementerian Komunikasi dan Digital, tetapi juga menjadi tugas bersama seluruh lapisan masyarakat.
“Melindungi anak di ruang digital tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Ini harus melibatkan semua pihak—pemerintah, platform, orang tua, dan masyarakat,” tegasnya.
Melalui kolaborasi dan kesadaran bersama, pemerintah berharap upaya ini dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih aman, sehat, dan ramah anak menuju Indonesia Emas 2045.
Internet dan AI Ubah Pola Hidup Masyarakat
Perkembangan internet dan kecerdasan buatan (AI) telah membawa perubahan besar terhadap perilaku digital masyarakat Indonesia. Penggunaan internet kini tidak lagi sekadar kebutuhan tambahan, tetapi telah menjadi bagian dari keseharian.
Data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu 7 jam 22 menit per hari untuk berselancar di dunia maya. Dari waktu tersebut, sekitar 3 jam 8 menit digunakan untuk mengakses media sosial.
Bahkan, sekitar 100 juta pengguna aktif di platform TikTok menghabiskan waktu rata-rata 1,5 jam per hari, atau 45 jam setiap bulan. Selain itu, masyarakat juga tercatat menonton video pendek rata-rata 2,1 jam setiap hari.
Demikian disampaikan Praktisi Komunikasi dari Good News From Indonesia/GNFI Wahyu Aji saat diskusi Media Connect: Dari Clickbait Jadi Kredibel di Menara Bosowa, Makassar, Kamis (23/10/2025) malam.
"Kondisi ini menunjukkan bahwa media sosial kini telah menjadi sumber informasi utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menggantikan peran media konvensional," kata Wahyu.
Namun, di tengah dominasi media sosial, muncul fenomena baru dengan kehadiran kecerdasan buatan (AI) yang seakan-akan dapat mewujudkan imajinasi siapa pun. Indonesia, bahkan mencatat tingkat adopsi AI tertinggi di Asia Tenggara, yakni mencapai 42 persen.
"Sekitar 92 persen pekerja intelektual di Indonesia telah menggunakan teknologi AI dalam pekerjaannya, ini angka tertinggi di kawasan ASEAN," ujar Wahyu.
Meski demikian, kesiapan Indonesia dalam menghadapi era AI masih berada di peringkat keempat di Asia Tenggara, di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya tingkat literasi digital masyarakat.
"Hanya 29 persen warga Indonesia yang memiliki kemampuan literasi digital dalam kategori “baik"," ungkap Wahyu.
Lebih jauh lagi, kata Wahyu, 52 persen masyarakat Indonesia mengaku tidak tahu apakah konten yang mereka lihat di internet dibuat oleh manusia atau oleh AI. Fakta ini menunjukkan bahwa kemampuan publik dalam mengenali dan memverifikasi informasi digital masih perlu ditingkatkan.
"Fenomena ini menjadi tantangan baru bagi ekosistem digital Indonesia, yakni bagaimana memastikan masyarakat tidak hanya aktif dan kreatif di dunia digital, tetapi juga cerdas dan kritis dalam menggunakannya," ujarnya.
Dalam paparannya, Wahyu juga mengungkap sejumlah tantangan komunikasi publik dalam era digital saat ini. Tantangan yang dimaksud adalah:
- Berbicara, tetapi minim/tidak berkomunikasi: saling menyebarkan pesan/informasi, namun tidak saling memahami dan mencari kesepakatan yang jernih.
- Overload informasi dan misinformasi: Banyaknya konten digital menyebabkan kelebihan informasi, sehingga menyulitkan publik untuk membedakan informasi yang kredibel.
- Misinformasi dan disinformasi menyebar dengan cepat.
- Digital divide & inklusivitas: tidak semua orang punya akses dan literasi yang memadai
- Hilangnya kepekaan nonverbal: Komunikasi digital kurang kaya akan interaksi tatap muka, yang menyebabkan kesalahpahaman dan koneksi interpersonal yang kurang bermakna. Hal itu dapat mengakibatkan salah tafsir nada, maksud, dan emosi.
- Fragmentasi dan echocamber: Ruang digital terfragmentasi, dengan audiens yang sering kali terbatas pada ruang gemanya sendiri, mengurangi paparan terhadap beragam sudut pandang.
- Hambatan organisasi dan budaya: Organisasi kadang kesulitan beradaptasi dengan sifat platform digital yang terbuka, cepat, dan interaktif, sering kali menghadapi resistansi internal dan ketidaksesuaian antara gaya komunikasi tradisional dan ekspektasi digital.
Langkah Kecil, Dampak Besar
Menjaga ruang digital tidak harus dimulai dari kampanye besar. Hal kecil seperti tidak ikut menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya sudah menjadi langkah awal.
Kita bisa memeriksa sumber berita, mencari klarifikasi dari media kredibel, atau menggunakan layanan seperti CekFakta.com, Mafindo, dan situs resmi Kominfo untuk memverifikasi kabar.
Gerakan literasi digital kini juga mulai digalakkan di sekolah dan kampus. Anak muda didorong untuk menjadi “warga digital” yang kritis, bukan sekadar pengguna yang reaktif.
Ruang digital seharusnya menjadi tempat bertukar ide, bukan bertukar fitnah. Ia bisa menjadi wadah kreativitas, kolaborasi, dan pembelajaran — jika kita menjaganya bersama. Karena pada akhirnya, ruang digital adalah cermin dari siapa kita sebagai masyarakat.
Kredibilitas informasi adalah fondasi kepercayaan publik. Dan kepercayaan adalah oksigen bagi demokrasi. Maka, setiap kali jari kita hendak menekan tombol “bagikan”, ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah ini benar? Ataukah hanya cepat?
Pergeseran dari clickbait ke kredibel adalah tanda bahwa publik dan media sedang tumbuh bersama. Pembaca kini harus lebih sadar, dan media pun belajar bertanggung jawab. Tetapi perjalanan ini belum selesai.
Ruang digital yang sehat menuntut partisipasi semua pihak: jurnalis yang jujur, pembaca yang cerdas, dan platform yang adil. Jika ketiganya saling mendukung, maka dunia informasi yang lebih beretika bukan lagi sekadar utopia.
Karena pada akhirnya, jurnalisme bukan tentang siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang paling bisa dipercaya. Dan di tengah banjir berita yang kian tak terbendung, kepercayaan — bukan klik — adalah mata uang yang paling berharga.
Penulis: Ismadi Amrin
Redaktur: Untung S
Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/944105/dunia-digital-di-ujung-jari-cepat-menyebar-tapi-bisakah-dipercaya