Situasi pembelajaran jarak jauh yang tengah dijalani oleh mayoritas pelajar di Indonesia selama berlangsungnya pandemi tidak melunturkan semangat mereka untuk tetap berprestasi bahkan hingga tingkat dunia.
Tim Nasional Fisika Indonesia jenjang sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat berhasil membawa pulang 3 medali perak dan 2 perunggu pada Olimpiade Fisika Internasional (International Physics Olympiad/IPhO) ke-51 yang digelar di Vilnius, Lithuania, pada 17 hingga 25 Juli lalu. IPhO 2021 diikuti 386 peserta asal 80 negara di dunia.
“Kami ucapkan selamat kepada para duta bangsa yang mengharumkan nama Indonesia dengan prestasinya pada IPhO 2021,” kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Prestasi Nasional Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Asep Sukmayadi, dalam siaran persnya, Rabu (28/7/2021). Para juara, menurut Asep, akan mendapat insentif berupa beasiswa S1 dan S2 di perguruan tinggi dalam dan luar negeri.
Perak direbut Mario Alvaro dari SMA Negeri 1 Yogyakarta, serta Joseph Oliver dan Edward Humianto, keduanya dari SMA Kristen 1 BPK Penabur Jakarta. Sementara itu, perunggu diraih Dean Hartono (SMAK Penabur Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten), dan M Anin Nabail Azhiim (Madrasah Aliyah Negeri 2 Kota Malang, Jawa Timur).
Tim Indonesia tahun ini dipimpin oleh akademisi dan pengajar dari Universitas Indonesia Syamsul Rosid dan didampingi oleh pengajar dari Universitas Gadjah Mada Rinto Anugraha. Mereka juga disertai dua pengamat (observer), masing-masing Bobby Eka Gunara (Institut Teknologi Bandung) dan Budhy Kurniawan (Universitas Indonesia).
Syamsul menjelaskan, perhelatan IPhO 2021 memang berbeda dari sebelumnya. Sebagai negara penyelenggara, Lithuania seharusnya menggelar acara tahun lalu. Tapi, sejak pandemi melanda Maret 2020 lalu, IPhO ke-51 ini ditunda dan baru digelar pada tahun ini secara daring.
IPhO terdiri dari dua tahapan tes, yakni fisika eksperimen dan fisika teori. Masing-masing tes berlangsung selama lima jam dan digelar di SMA Kristen Penabur Bintaro Jaya. “Pihak penyelenggara memang meminta agar tes dijalankan di tempat yang sama bagi seluruh siswa. Ini untuk memudahkan pengawasan baik secara langsung maupun secara daring dari panitia di Lithuania yang mengawasi dengan proctor (petugas khusus) dan kamera pengawasan,” kata Syamsul.
Alat-alat kebutuhan tes eksperimen pun telah dikirimkan dari jauh hari dan telah diterima oleh para pengawas 3 hari sebelum kompetisi. Akademisi sekaligus pendamping tim Indonesia dari UGM, Rinto Anugraha, mengatakan bahwa seluruh peserta mengikuti tes fisika eksperimen dan fisika teori. “Setelah tes, hasilnya dikoreksi dewan juri dan nilainya dimoderasi tim pembina,” kata Rinto.
Menurut Rinto, banyak peserta gagal akibat soal fisika eksperimen karena tidak selesai mengerjakannya, termasuk pelajar Indonesia. “Banyak siswa merasa kekurangan waktu pengerjaan sehingga tidak sedikit yang membiarkan kertas jawabannya kosong bersih karena tidak tahu harus diisi apa. Topik soal eksperimen adalah tentang kapasitor yang tidak linier dan light emitting diodes (LED),” ujar Rinto.
Setelah melewati koreksi dan moderasi, ditetapkan para pemenang yaitu 8 persen peserta terbaik yang berhak mendapatkan medali emas, 17 persen peserta di bawahnya memperoleh perak, 25 persen peserta berikutnya memperoleh perunggu, serta 17 persen terbaik berikutnya memperoleh honorable mention (HM).
Indonesia pertama kali mengikuti ajang IPhO pada 1993 silam lewat upaya ahli fisika Profesor Surya. Pada pelaksanaan IPhO ke-25 di Williamsburg, Amerika Serikat, wakil Indonesia mampu membawa pulang sekeping perunggu dan 1 HM. Sejak itu, Indonesia berhasil mengoleksi 121 medali termasuk 27 emas.
Sebuah gelar juara dunia pada 2006 yang ditorehkan Jonathan Pradana Mailoa. Selain merebut emas, dia juga merebut predikat The Absolut Winner. Jonathan yang kini bergelar doktor fisika diketahui bekerja sebagai peneliti di Robert Bosch Research & Technology Center, Massachusetts, AS.
Sejumlah alumni peserta IPhO asal Indonesia saat ini diketahui juga berkarier sebagai peneliti pada beberapa lembaga internasional, seperti halnya Jonathan. Misalnya Halim Kusumaatmaja, peraih perunggu IPhO 2000 di Inggris. Ia kini merupakan profesor fisika pada Durham University di Inggris.
Masih ada Rangga Perdana Budoyo, perebut perak pada IPhO ke-34 di Taiwan, 2003 silam. Kini, setelah bergelar doktor fisika, Rangga memutuskan bekerja sebagai peneliti di grup Superconducting Quantum Circuit, NTT Basic Research Laboratories, Atsugi, Jepang. Mereka telah berjuang untuk membawa nama Indonesia di ajang Olimpiade Fisika Internasional dan sekarang sukses di bidangnya masing-masing. Siapa tahu suatu saat tenaga dan ide-ide mereka dapat diperlukan oleh Indonesia.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari