KGPAA Mangkunegoro IX wafat. Peran Puro Mangkunegaran sebagai jangkar budaya tetap akan berlanjut. Pilihan penggantinya adalah GPH Paundrakarna atau GPH Bhre Cakrahutomo.
Puro Mangkunegaran berduka cita. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Mangkunegara IX wafat, Jumat dini hari pukul 02.50 WIB di Jakarta, akibat serangan jantung. Pemegang tahta atas Praja Mangkunegaran itu wafat lima hari menjelang ulang tahunnya yang ke-70. Lebih dari 33 tahun ia berjuang mempertahankan Mangkunegaran sebagai salah satu jangkar kebudayaan Jawa di tengah gerusan arus zaman.
Kabar tentang wafatnya Mangkunegara IX itu cepat menyebar. Karangan bunga tanda duka cita pun segera berjajar memenuhi halaman puro. Di dekat tangga masuk ke pendopo, ada vas penuh dengan bunga lili dan mawar putih, kiriman dari Keluarga Besar Alm HM Soeharto, Presiden ke-2 RI, selaku kerabat. Almarhumah Ibu Tien Soeharto berdarah Mangkunegaran.
Jumat pagi sekitar pukul 09.00 WIB, jenazah Mangkunegara IX pun diberangkatkan dengan ambulans ke Solo, dan tiba menjelang sore, disambut hujan lebat. Jenazah disemayamkan dalam peti berpelitur halus warna coklat, di tengah pendopo. Hanya keluarga dekat yang diizinkan melihatnya, dengan alasan protokol kesehatan, sampai hari pemakaman Minggu pagi.
Seperti para leluhurnya, sang adipati dimakamkan di Astana Girilayu Matesih, Karanganyar, 30 km dari Puro Mangkunegaran, pada Minggu pagi. Di situ pula dimakamkan sang ayah, Mangkunegara VIII, serta pendiri dinasti Mangkunegara yakni Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I yang hidup antara 1725--1795.
Lahir 18 Agustus 1951, Mangkunegara IX menyandang nama Bandoro Raden Mas (BRM) Sudjiwo ketika masa kanak-kanak. Sebagaimana tradisi monarki Jawa, gelar pangeran disandang setelah ia dewasa, yakni Gusti Pangeran Haryo (GPH) Sudjiwo Kusumo. Ia tak pernah menamatkan pendidikan tinggi. Usai menjalani pendidikan menengah atas, ia menekuni dunia kesenian, terutama tari Jawa.
BRM Sudjiwo Kusumo ini adalah anak bungsu dari pasangan Mangkunegoro VIII dengan Raden Ayu Sunituti. Ia memiliki seorang kakak lelaki (GPH Raditya Prabukusumo) serta dua kakak perempuan. Dari istri keduanya, Raden Ayu Setyowati, Mangkunegoro VIII juga memiliki empat anak yang lain.
Sesuai tradisi monarki, GPH Raditya ini yang digadang-gadang sebagai raja pengganti. Ia pun telah ditetapkan sebagai prabu anom, putra mahkota. Namun, Raditya meninggal pada usia muda (1977) akibat kecelakaan lalu lintas. Maka, Sudjiwo Kusumo menjadi putra mahkota. Berbeda dari mendiang sang kakak yang menyukai dunia bisnis, Sudjiwo lebih menyukai kesenian.
Dunia kesenian itu yang membawa Sudjiwo bertemu dengan Sukmawati, putri Presiden Soekarno, pada awal 1970-an. Sukmawati Soekarnoputri ketika itu juga mendalami dunia seni, dengan menjadi mahasiswi di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang sekarang menjadi IKJ. Dari situlah dua sejoli yang seumuran itu berhubungan dekat. Keduanya menikah 1974.
Pasangan ini dikaruniai sepasang anak, yakni Paundrakarna Jiwa Suryonegara dan Putri Agung Suniwati (Menur). Namun, pasangan ini berpisah pada tahun 1983. Kedua anak ikut tinggal bersama sang ayah, tinggal di Solo, sampai menamatkan sekolah menengah atasnya.
Mangkunegara VIII wafat pada 1987. GPH Sudjiwo Kusumo pun menggantikan ayahandanya sebagai penerus tahta Puro Mangkunegaran setahun kemudian. Dua tahun berikutnya, ia menikah lagi. Kali ini dia berjodoh dengan Prisca Marina Haryogi, putri Letjen (Purn) Haryogi Supardi, Sekjen Kementerian Pertahanan era 1980-an. Pasangan ini dikaruniai sepasang anak, yakni Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo dan Ancillasura Sudjiwo. Prisca Marina resmi sebagai permaisuri.
Setelah bertahta (jumeneng) sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati, ia jarang terlibat dalam kegiatan publik atau bisnis. Ia juga tak tertarik melibatkan diri dalam urusan politik. Mangkunegoro IX ini lebih banyak aktif di lingkungan puronya, dengan prosesi-prosesi adatnya.
Dekat dengan dunia seni tari, bahkan cukup mahir menari, Kanjeng Gusti Mangkegoro IX itu lantas menjadi koreografer, seperti banyak dilakukan raja Jawa. Beberapa karyanya, antara lain, Bedhaya Suryosumirat (1990), Tari Kontemporer Panji Sepuh (1993), Tari Harjuna Sasrabahu, Tarian Puspita Ratna (1998), Tari Kontemporer Negeri Sembako (1998), Tari Kontemporer Krisis (1999), serta Drama Tari Mintaraga dan Drama Tari Dewa Ruci.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sang putra GPH Paundrakarno juga pernah terjun di dunia seni, baik seni peran (film layar lebar, sinetron), atau seni tarik suara, dalam asuhan sang paman Guruh Soekarnoputro, pada awal 2000-an. Namun tidak cukup lama menekuninya, Paundrakarna meninggalkan Jakarta, kembali ke Solo.
Sempat menjadi anggota DPRD Kota Solo (2009--2014) dari Fraksi PDI Perjuangan, Paundra juga tak cukup betah. Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna, yang melajang sampai usianya yang 46 tahun itu kini memilih mengembangkan kesenian Jawa klasik di puro ayahandanya, sambil terus mengembangkan mangkunegaran sebagai destinasi wisata.
Pamor yang Memudar
Seperti istana raja Jawa lain, pamor Puro Mangkunegaran juga terus memudar. Gebyar-gebyar kemewahan istana meredup. Puro Mangkunegaran harus bertahan dengan aset ekonomi yang tak terlalu besar. Padahal selama hampir seabad, sejak 1850 hingga 1940-an, Mangkunegaran pernah tercatat sebagai istana Jawa yang paling makmur.
Dirintis oleh Sri Mangkunegoro III, dikembangkan oleh Mangkunegoro VI, dan dijaga oleh generasi berikutnya, Mangkunegaran sempat mengoperasikan unit-unit bisnis yang sangat produktif. Ada kebun karet, kina, indigo, tembakau, tebu, dan terutama adalah pabrik gulanya, Colomadu dan Tasikmadu, lokasi keduanya sedikit di luar kota Solo. Kini aset-aset yang dulu dikuasai Mangkunegara, sebagian ada yang dikelola BUMN, Pemkot Solo, atau bahkan TNI.
Dinasti Mataram
Kasunanan dan Mangkunegaran (Surakarta) serta Kesultanan dan Pakualaman (Yogyakarta) semua adalah serpihan dari Kerajaan Mataram, yang pada masa puncaknya di awal abad 17, kekuasaannya hampir di seluruh Jawa-Madura. Konflik internal, terkait suksesi, membuatnya terus melemah dan kehilangan wilayah.
Pada pertengahan abad 18, setelah kehilangan lebih dari separuh wilayah, termasuk seluruh pesisir Utara Jawa, yang jatuh ke tangan penguasa kolonial Belanda, wilayah Mataram pun terbelah. Lewat Perjanjian Giyanti 1755, Kasunanan Solo, sebagai kerajaan induk, harus berbagi dengan Kesultanan Yogyakarta. Munculah dualisme Solo–Jogya.
Dua tahun kemudian, wilayah itu terbelah lagi dengan munculnya Mangkunegaran. Tidak berhenti sampai di situ, pada 1813 krisis politik di Yogyakarta membuat wilayah Kesultanan terpotong dan muncul Praja Pakualaman. Disertai perampasan wilayah oleh Pemerintah Kolonial Belanda kala itu, sebagian besar wilayah Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur hilang dari genggaman. Maka, kemudian empat dinasti Mataram itu hanya kebagian wilayah kecil di sekitar Solo dan Yogyakarta.
Keempat dinasti itu tidak sama levelnya dalam konsep kekuasaan Jawa. Susuhunan Pakubuwono di Solo dan Sultan Hamengkubowono diakui sebagai raja. Istananya disebut keraton. Sedangkan sang penguasa Mangkunegaran dan Pakualaman diakui sebagai penguasa kadipaten yang otonom, yang sebutannya adalah Pangeran Adipati. Istananya disebut puro–bukan keraton.
Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta bersama putra-putrinya, bila wafat berhak dimakamkan di sebelah Kompleks Pemakaman Agung Imogiri, tempat Sultan Agung Hanyakra Kusumo dikuburkan. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro dan KGPAA Pakualam tidak punya privelese tersebut.
Namun pada tatanan hukum Negara Republik Indonesia, situasinya berbeda pula. Kasunanan Solo dan Mangkunegaran tak diakui sebagai swapraja. Kesultanan dan Pakualaman diperlakukan secara berbeda, karena dianggap mendukung Kemerdekaan RI sejak awal, bahkan membuka pintu untuk dijadikan ibu kota (sementara) RI antara 1946--1949.
Maka, sesuai kesepakatan sejak awal, wilayah Kesultanan dan Pakualaman itu kemudian menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), hal yang berlaku sampai saat ini. Kedua dinasti itu masih dapat menjaga hak tradisionalnya sebagai pemimpin pemerintahan dan mempertahankan sebagian dari aset-asetnya. Posisi itu diperkuat dengan hadirnya UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Suksesi Puro Mangkunegaran
Sekalipun berbeda kondisi politiknya, keempat dinasti itu tetap saja dianggap sebagai situs penting bagi perkembangan budaya oleh sebagian masyarakat Jawa. Pemakai bahasa Jawa masih menggunakan bahasa Keraton/Puro sebagai rujukan, begitu halnya dengan seni musik (trasional), tari, upacara perkawinan, dan etiket dalam hubungan sosial.
Sebagian masyarakat Jawa masih percaya, istana raja itu tempat turunnya wahyu keprabon, wahyu cakraningrat, yang membawa amanah kekuasaan. Dalam konsep Jawa (tradisional), sumber kekuasaan adalah jagat makrokosmos. Maka, penguasa baru dianggap selalu punya relasi dengan penguasa-penguasa sebelumnya.
Dengan segala mitos yang melingkupinya, ditambah peran budaya dan sosialnya, Mangkunegaraan masih akan dianggap situs penting. Kelanjutan perannya masih dinantikan. Suksesi berlanjut.
Lantas, siapakah calon KGPAA Mangkunegoro X? Setidaknya ada dua nama, yakni GPH Paundrakarna, 46 tahun, dan GPH Bhre Cakrahutomo. Keduanya berbeda usia lebih dari 20 tahun. Cakrahutomo baru lulus dari Fakultas Hukum UI, dan kini sedang merintis karir sebagai pengacara. Keduanya adalah lajang.
GPH Bhre punya posisi adat yang lebih menguntungkan. Ia lahir ketika sang ayah sudah resmi menjadi KGPAA Mangkunegoro IX. Ibundanya, Prisna Marina, pun resmi sebagai permaisuri. Sedangkan Paundrakarna lahir saat sang ayah belum berstatus putra mahkota. Toh, Paundra juga punya kelebihan dari sisi bobot, bibit, bebet (asal usul), yang penting bagi masyarakat Jawa. Ia cucu Presiden pertama RI, Ir Soekarno.
Pilihan nantinya diputuskan oleh rapat keluarga Mangkunegoro IX. Pendapat dari keluarga besar trah Mangkunegaran tentu akan didengar. Apapun pilihannya, konflik suksesi ala Mataram abad-abad lalu tak akan terulang.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari