Indonesia.go.id - Sejumput Pesan Damai dari Kanekes

Sejumput Pesan Damai dari Kanekes

  • Administrator
  • Senin, 16 Agustus 2021 | 22:54 WIB
PIDATO KENEGARAAN HUT RI
  Presiden Joko Widodo mengepalkan tangan saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021). ANTARA FOTO/Bagus Indahono
Presiden Joko Widodo mengenalkan pakaian adat dari suku-suku di Indonesia dalam acara kenegaraan, seperti pidato di sidang tahunan MPR yang diadakan setiap 16 Agustus. Tradisi baik oleh Presiden ini dilakukan sejak 16 Agustus 2017.

Indonesia tak hanya kaya akan hasil alam dan keragaman hayati. Indonesia juga menjadi rumah bagi kemajemukan budaya dan adat istiadat masyarakat yang luar biasa. Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2010 mencatat ada 1.340 suku bangsa berdiam damai di bumi Nusantara. Mereka terbagi ke dalam 633 kelompok suku besar. Setiap suku bangsa tadi tentu memiliki karakter berbeda satu dengan lainnya, mulai dari bahasa hingga pakaian adatnya.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendata, ada sekitar 801 bahasa daerah digunakan oleh masyarakat Nusantara. Sama halnya dengan pakaian adat, setidaknya jika mengikuti jumlah provinsi di tanah air, maka ada 34 pakaian ada menyertainya. Kendati di tiap provinsi masih terdapat beragam pakaian adat lagi yang menjadi turunannya.

Kebinekaan ini yang kemudian menginspirasi Presiden Joko Widodo untuk mengenalkan kepada dunia seperti apa dan bagaimana bentuk pakaian adat bangsa Indonesia. Ini juga sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepala negara atas nilai-nilai luhur adat dan budaya setiap suku.

Presiden memilih pakaian adat urang Kanekes saat menyampaikan pidato kenegaraan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Senin (16/8/2021). UrangKanekes adalah sebutan untuk masyarakat suku Badui yang bermukim di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Presiden memakai udeng (ikat kepala) warna biru dengan baju lengan panjang dan celana panjang serba hitam. Sebuah koja atau jarog, yaitu tas rajut dari bahan kulit kayu pohon teureup atau terap (Artocarpus) ikut terselempang menyilang di pundak kiri turun ke bagian pinggang kanan sepanjang hampir 50 sentimeter. Sepasang sandal warna hitam berikat tali lebar menghiasi alas kaki.

Pakaian ini disiapkan khusus untuk Presiden Jokowi oleh tetua adat Badui sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija. Presiden mengaku nyaman mengenakan pakaian khas urang Kanekes ini karena desainnya sangat sederhana. "Di tengah dunia yang penuh disrupsi sekarang ini, karakter berani untuk berubah, dan mengkreasi hal-hal baru merupakan pondasi untuk membangun Indonesia maju," kata Presiden Jokowi.

Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia Abetnego Panca Putra Tarigan mengatakan, Presiden Jokowi telah mengangkat nama urang Kanekes ke tingkat paling tinggi di sebuah acara kenegaraan. Menurut mantan direktur eksekutif lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) dan aktivis di Sawit Watch itu, pemakaian baju urang Kanekes dapat dimaknai sebagai cara Presiden Jokowi untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan Suku Badui.

Dalam siaran pers Kantor Staf Presiden RI, pada Senin, 16 Agustus 2021, diungkapkan bahwa sebutan "Badui" sejatinya disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda tersebut. Namun penyebutan suku Badui cenderung mengarah pada makna peyorasi karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda. Mereka secara gegabah mengidentifikasi Badui layaknya Suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar. 

Walaupun kelompok masyarakat ini lebih menyebut dirinya sebagai urang Kanekes, dalam perkembangannya istilah Badui kini tidak lagi bersifat peyoratif. Penyebutan Badui oleh banyak orang kini disampaikan tanpa disertai niatan merendahkan. “Istilah Badui dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang. Tapi saya pun kadang pakai istilah 'Badui' karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan,” ungkap Hilman Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek.

 

Tradisi Baik

Presiden Jokowi telah memakai pakaian adat saat menyampaikan pidato kenegaraan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan pada Sidang Tahunan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), 16 Agustus 2017. Ini kemudian berkembang sebagai sebuah tradisi baik, bukan saja saat berkunjung ke Gedung Parlemen Senayan untuk pidato kenegaraan. Melainkan juga, menjadi sebuah kebiasaan baik saat upacara peringatan Kemerdekaan di Istana Negara keesokan harinya.

Saat pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2017, Presiden mengenakan baju bodo, pakaian adat Bugis lengkap dengan ta bone, songkok warna emas khas Bugis, dan sarung warna cerah. Suku ini asli dari Sulawesi Selatan. Pada 2018, Presiden Jokowi absen mengenakan pakaian adat dan menggantinya dengan jas lengkap berkelir biru.

Kemudian pada 2019 Presiden kembali berpakaian adat. Kali ini giliran pegon, pakaian kebesaran milik suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang dikenakan Presiden. Warna hitam dan emas mendominasi pegon Presiden.

Pegon yang berbentuk seperti jas merupakan wujud busana akulturasi, karena memiliki pengaruh dari tradisi Jawa dan juga Eropa. Percampuran ini dianggap sebagai lambang keagungan dan kesopanan. Biasanya pegon berwarna hitam polos. Bahan polos ini dimodifikasi di bagian belakangnya sebagai tempat menyelipkan keris.

Kain songket berbenang emas digunakan di bagian pinggang, bukan untuk ikat pinggang melainkan sebagai penghias atau dikenal juga dengan nama leang. Nama lainnya tampet atau dodot. Sedangkan untuk penutup kepalanya dalam bahasa setempat dikenal sebagai sapuq atau sapuk.

Sapuk merupakan mahkota yang melambangkan kejantanan. Ikat kepala ini juga berfungsi untuk menjaga pikiran pemakainya dari berbagai hal kotor. Ikat kepala di pakaian adat yang dipakai Presiden Jokowi itu melambangkan penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk penggunaan sapuq ini, bisa dibuat dari bahan kain batik, pelung, ataupun songket. Sebagai bawahannya, pakaian adat ini biasanya memakai songket aneka warna cerah. Namun kali ini untuk busana warna emasnya, Presiden Jokowi memadukan dengan songket dominan hitam dan emas. Ini senada dengan warna sapuq dalam baju adat yang dikenakan Presiden.

Pada 2020, giliran pakaian adat suku Sabu yang menjadi pilihan Presiden untuk dipakai ke sidang tahunan MPR. Menurut Junus M Melalatoa dalam Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, suku ini berdiam di Pulau Sawu dan Raijua, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur.    

Pakaian adat yang dikenakan Presiden didominasi warna emas bermotif bunga dan dipadankan dengan kemeja hitam lengan panjang di bagian dalam. Pakaian suku Sabu ini terdiri dari penutup kepala yang disebut kewahu kattu. Dilengkapi kain tenun menyilang di bagian dada dan sarung atau hi'gi wonapi. Sebuah aksesoris kalung (wonahida) dan sabuk warna emas ikut melengkapi kebesaran pakaian adat ini.



 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari