Indonesia.go.id - Restorasi Infrastruktur Air di Kota Melayu Tua

Restorasi Infrastruktur Air di Kota Melayu Tua

  • Administrator
  • Kamis, 14 April 2022 | 16:00 WIB
CAGAR BUDAYA
  Presiden Joko Widodo meninjau Candi Kedaton di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi. SETPRES
Kanal-kanal tua di Candi Muaro Jambi akan digali lagi dan difungsikan sebagai transportasi air. Candi-candinya akan direstorasi. Jejak sejarahnya sebagai kota pelajar akan terus digali.

Didampingi Ibu Negara Iriana, Presiden Joko Widodo mengunjungi Situs Candi Kedaton di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Kamis, 7 April 2022. Situs Candi Muaro Jambi itu menjadi agenda utama kunjungan kerja Presiden ke Provinsi Jambi hari itu, terkait dengan program revitalisasi KCBN Muara Bungo sebagai situs sejarah yang penting untuk dunia pendidikan di Indonesia. 

Presiden Joko Widodo menyebut, Situs Muara Jambi dengan candi-candinya yang bercorak Budha Mahayana Tantrayana itu adalah tempat pendidikan, semacam kota pelajar pada abad 7–12 Masehi, dengan segala pasang surutnya. Pada era kejayaannya, menurut Presiden, di Muaro Jambi telah berdiri kompleks pendidikan terbesar se-Asia dengan ribuan siswa yang datang dari berbagai negeri.

‘’Ini sejarah yang perlu kita terus lestarikan agar jejak-jejak peradaban kita, di bidang pendidikan utamanya, dapat diketahui masyarakat secara luas. Bukan hanya generasi sekarang, juga generasi yang akan datang,” ujar Presiden Jokowi.

Pada masa itu, Kota Muaro Jambi sudah cukup kondang, setidaknya di Asia Tenggara, sebagai kampus besar dengan banyak pendeta-cendekia di dalamnya. Mereka mengajarkan berbagai cabang pengetahuan.

‘’Bukan hanya yang berkaitan dengan teologi, tapi di kawasan cagar budaya Muaro Jambi ini juga dulunya menjadi pusat pendidikan bagi kedokteran dan obat-obatan, filsafat, arsitektur, seni, dan masih banyak bidang lainnya,” Presiden Jokowi menambahkan.

Berkat kiprah kampus Muaro Jambi yang terletak di tepi Sungai Batanghari itulah peradaban Indonesia dikenal luas sampai ke tempat yang jauh. Saat ini Cagar Budaya Muaro Jambi telah dikembangkan menjadi daerah konservasi dengan kanal-kanal, kolam, dan sembilan candi indah yang terbuat dari batu bata merah. Di sana berdiri Candi Kedaton, Candi Gumpung, Candi Koto  Mahligai, Candi Astano, Candi Kembar Batu, Candi Gedong Satu, Candi Gedong Dua, dan Candi Telago Rajo.

Semua adalah restorasi para ahli  yang dilakukan sejak 1975. Ada tiga candi lainnya yang dalam proses restorasi. Saat kali pertama ditemukan di tahun 1824 oleh Letnan SC Crooke, seorang perwira militer Inggris yang sedang melakukan pemetaan aliran Sungai Batanghari, candi-candi itu sudah dalam setengah hancur dan sebagian tertutup tanah. Setelah hampir 150  tahun terbengkelai, program konservasi dan restorasi situs sejarah itu baru dilakukan di awal 1970-an.

Ke-11 situ candi itu terserak di area inti cagar budaya seluas 12 km2 (1.200 ha). Namun, di luar itu masih ada lebih 100 unit gundukan tanah (menapo) yang di dalamnya telah diketahui tersimpan struktur bangunan candi dengan bata merah. Ada pula kolam-kolam retensi, parit, dan kanal yang terkoneksi ke Sungai Batanghari.

Seluruh situs sejarah ini ada di kawasan seluas 3.980 hektare (39,8 km2). Tak ayal Muaro Jambi itu dulunya adalah sebuah kota yang luasnya sekitar 40 km2, lebih luas dari Kota Yogyakarta yang 32 km2, dan sedikit lebih kecil dari Kota Solo, yang pernah dipimpin Presiden Jokowi, yang luasnya 44 km2. Untuk ukuran abad 7--12, kota seluas 40 km adalah kota kosmopolitan.

Sejauh ini belum ada bukti sejarah yang valid terkait otoritas politik yang berkuasa di Muaro Jambi saat itu. Tapi, para sejarawan menduga Muaro Jambi ialah bagian dari Kerajaan Melayu Sriwijaya, yang didirikan di Palembang pada 682 M. Dari interpretasi atas Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan 1920 di Palembang, digambarkan bahwa saat itu Dapunta Hyang mendirikan kota baru di Mukha Upang, sebuah tempat di sisi Utara Sungai Musi yang kini disebut Palembang. Di situ dia menjadi raja dengan nama Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Dari artefak yang ditemukan di Palembang, Dapunta Gyang dipastikan sebagai penganut Budha Mahayana Mahatantra.

Dalam prasasti itu juga disebutkan bahwa Dapunta Hyang datang disertai 20.000 prajuritnya yang  datang dengan perahu. Sebelum mendirikan kedatuan di tepian musi itu, Dapunta Hyang terlebih dahulu telah melakukan ekspedisi militer dan mengalahkan musuhnya di daerah yang kini bagian dari Lampung, Bangka, dan Jambi. Sriwijaya adalah pemuncak dari rumpun kerajaan Melayu Tua.

Dapunta Hyang sendiri disebutkan datang dari tempat yang disebut Minangwa Tanwan. Belum ada kesepakatan di antara para ahli tentang Minangwa Tanwan itu. Ada yang menyebut ada di sebuah tempat di Semenanjung Malaysia. Ada yang menduga lokasinya di Dharmasraya (Sumatra Barat) pada hulu Sungai Indragiri, atau di Kampar Riau di sekitar Candi Takus yang juga bercorak Budha. Bahkan ada yang menganggap di Sumatra Utara.

Terlepas dari dari mana pendiri Sriwijaya itu berasal, tapi Candi Takus, Candi Muaro Jambi, dan Kedatuan Sriwijaya itu muncul pada era yang sama. Kota-kota pada era itu juga dibangun di tepian sungai besar, dengan struktur candi dari batu bata, dan berada di dalam lingkungan yang memiliki kanal-kanal dan parit. Namun sisa bangunan istana dan hunian penduduk sulit ditemukan lantaran dibuat dengan bahan kayu yang mudah lapuk dan hancur dipanggang cuaca tropis basah.

Restorasi Kanal dan Kolam

Di kawasan Cagar Budaya Muara Jambi sejak lama sudah ditemukan kolam-kolam, kanal, serta parit. Kanal utama terkoneksi ke sungai. Hal serupa terlihat pula di Candi Muara Takus dan Situs Kedatuan Sriwijaya, di kawasan kaki Bukit Saguntang di Palembang. Bangunan candi didirikan di tempat yang relatif lebih tinggi dari tanah sekitar dan dikelilingi parit serta kanal. Hunian penduduk diperkirakan berupa rumah panggung untuk menghindari genangan banjir.

Revitalisasi kanal-kanal itu dianggap penting agar generasi baru bisa belajar tentang kearifan lokal dalam hal rekayasa lingkungan agar bebas dari genangan ketika air sungai meluap. Parit, kanal, dan kolam-kolam retensi adalah infrastruktur kota dengan pintu-pintu air untuk mengontrol alirannya. Infrastruktur parit, kanal, dan kolam itu juga di temukan di Trowulan, ibu kota Majapahit di Jawa Timur yang dibangun abad 14 M.

Presiden Jokowi berniat melanjutkan pemugaran dan revitalisasi KCBN Muaro Jambi. Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dimintanya untuk terus melanjutkan pemugaran candi-candi yang kini masih di terbenam dalam gundukan-gundukan tanah. Kemendikbud Ristek juga ditugaskan untuk memetakan lagi kanal-kanal era Sriwijaya itu agar bisa digali kembali. Ihwal penggalian akan ditangani Kementerian PUPR.

Menteri PUPR Basuki mengatakan, telah melakukan tugas tersebut sejak 2021 dan akan  melanjutkannya pada 2022. Tugas itu diemban Balai Wilayah Sungai Sumatera VI Jambi, Ditjen Sumber Daya Air (SDA). Secara lebih teknis, Menteri Basuki merinci bahwa tugasnya adalah merevitalisasi kanal-kanal tua, yang selain berguna sebagai mengkonservasi peradaban lama, pun bisa sekaligus difungsikan sebagai fasilitas drainase. Kolam-kolam akan digali lagi dan difungsikan sebagai kolam retensi.

Pada 2021, Kementerian PUPR telah memulai pekerjaan dengan normalisasi Sungai Brimbing Hilir dan Sungai Aamburanjalo, yang keduanya adalah anak Sungai Batanghari. Normalilasi di Sungai Brimbing dilakukan pada ruas sungai sepanjang  8,6 km dan 3,2 km di Amburanjalo sepanjang 3,2. km. Ada pula, antara lain, pembersihan lapangan dan penggalian kolam retensi.

Masih ada pekerjaan untuk pengendalian banjir di KCBN Muaro Jambi itu dengan normalisasi pada Sungai Brembeng Hulu dan Amburanjalo, total sepanjang 18,16 km, saluran Seno Beno  9,3 km dan saluran Klari sepanjang 5,4 km. Bila pekerjaan itu selesai, maka kanal-kanal di sekitar KCBN Muaro Jambi bisa berfungsi sebagai sarana transportasi air. Landscape di kawasan cagar budaya itu pun akan membuatnya lebih cantik dan menarik bagi wisatawan lokal maupun asing.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari