Di Pulau Batanta menyimpan banyak objek menarik. Ada hutan pohon mangrove yang telah berusia ratusan tahun, air terjun Warinka Bom, situs sejarah bawah laut berupa puing pesawat tempur era Perang Dunia Kedua, dan 90 spesies anggrek liar.
Siapa tak kenal Raja Ampat, sepotong surga memukau di Provinsi Papua Barat. Kawasan kepulauan yang menjadi kabupaten di provinsi bagian kepala burung Pulau Papua itu menawarkan beragam sajian pariwisata yang sulit dilupakan. Kabupaten Raja Ampat memiliki empat pulau besar seperti Misool, Waigeo, Salawati, dan Batanta. Setiap pulau tadi menawarkan keindahan alam yang berbeda-beda.
Pulau Batanta adalah salah satunya. Kendati belum terkenal seperti Piaynemo, Wayag, atau Misool, Pulau Batanta yang memiliki luas 60 kilometer persegi ini menyimpan keragaman hayati yang memukau. Batanta berjarak sekitar 34 kilometer atau satu jam perjalanan laut memakai speedboat dari Sorong sebagai ibu kota provinsi.
Secara umum, pulau ini memiliki beragam tipe ekosistem alam sangat alami, mulai pantai, hutan hujan tropis dengan pohon-pohon besar tumbuh rapat menjulang tinggi, sampai tipe ekosistem hutan pegunungan bawah pada ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. Pantainya berpasir putih halus dan air lautnya biru jernih. Barisan terumbu karang di perairan dangkal sedalam 40 sentimeter akan langsung menyambut siapa saja yang berkunjung ke tempat ini.
Seluruh sudut perairan dangkal Batanta hingga kedalaman 4 meter adalah tempat terbaik untuk Anda yang menggemari olahraga menyelam atau sekadar ingin snorkeling. Aneka terumbu karang alami dan jutaan ikan hias aneka warna akan menyambut kita saat menyelam. Pada beberapa spot penyelaman, kita dapat berjumpa dengan situs bersejarah peninggalan Perang Dunia II di kawasan Pasifik, yaitu bangkai-bangkai pesawat tempur asing yang tenggelam di bawah laut Batanta.
Bila beruntung, kita dapat bersua dengan manta, jenis terbesar dari keluarga ikan pari. Biota laut lainnya, antara lain, ikan kerapu dan lobster aneka jenis, yakni lobster mutiara, pasir, bambu, batik, dan lobster setan yang berukuran besar serta hidup damai di dasar laut.
Pada beberapa titik perairan yang menjorok satu kilometer dari bibir pantai dimanfaatkan masyarakat setempat untuk budi daya kerang mutiara. Kendati cukup luas, pulau ini hanya dihuni oleh sekitar 300 penduduk suku Marandan Weser dan Yarweser yang bermukim di Wayman, Yenanas, dan Wailebet.
Batanta juga memiliki ekosistem rawa mangrove seluas sekitar 3 hektare di mana di antara ratusan tanamannya terdapat puluhan batang pohon sangat besar yang diperkirakan berusia ratusan tahun. Akar-akarnya berukuran sangat besar berdiameter 20-30 sentimeter dan keluar dari batang pohon, mencengkeram permukaan lahan lumpur basah.
Lengkungan akar pada titik teratas bahkan melewati postur tubuh manusia dewasa. Pemandangan seperti ini sangat jarang ditemui pada ekosistem hutan mangrove sejenis di tanah air. Setidaknya terdapat dua jalur anak sungai di timur dan barat pulau untuk masuk ke ekosistem mangrove unik ini.
Kawasan hutan mangrove yang berada di tengah pulau ini menjadi pintu masuk menuju sebuah kawasan air terjun cantik setinggi 10 meter yang menjadi favorit pengunjung. Namanya Air Terjun Warinka Bom atau dalam bahasa setempat berarti air yang tak kunjung habis. Sumber air terjun berasal dari mata air di puncak tertinggi pulau. Perlu upaya lebih untuk bisa menjangkau lokasi air terjun yang berada di tengah pulau.
Perjalanan menuju air terjun diawali dari dermaga kecil di tepian anak sungai Batanta yang membelah hutan mangrove. Kita dapat berjalan kaki melewati jembatan kayu sepanjang 100 meter di antara hutan mangrove serta hutan hujan dengan ribuan pohon yang tumbuh rapat ibarat payung menutupi kita dari terpaan sinar mentari yang kesulitan menembusnya. Suara alam dari satwa-satwa penghuni hutan turut menemani sepanjang perjalanan. Bila beruntung, kita dapat bertemu burung ikon Papua, cenderawasih aneka jenis yang terbang bebas di dalam hutan.
Medan menuju air terjun cukup terjal. Tak jarang kita harus berpegangan pada akar pohon dan tali tambang merayapi tepian tebing atau menyusuri tepi sungai kecil berair jernih untuk menyingkat waktu. Setelah menghabiskan satu jam berjalan kaki, kita akan sampai di air terjun.
Kaya Koleksi Anggrek
Pulau ini juga kaya akan flora karena terdapat 90 nomor koleksi anggrek yang berhasil ditemukan para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berkolaborasi dengan sejawat mereka dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat. Sebagian belum diketahui nama spesiesnya dan masih dalam proses identifikasi dari penelitian yang telah digelar sejak Maret 2022.
Salah satu temuan BRIN-BBKSDA Papua Barat adalah anggrek Dendrobium cuneatum di region Papua. Peneliti BRIN, Destario Metusala menjelaskan anggrek berbunga mini berwarna kehijauan ini sebelumnya hanya ditemukan di region Sulawesi dan Maluku saja. "Temuan spesies ini di Pulau Batanta (region Papua) akan menambah informasi terkait jangkauan distribusi alaminya yang ternyata melewati zona Wallacea dan mencapai zona biogeografi Australasia," jelasnya seperti dikutip dari siaran pers BRIN belum lama ini.
Hasil studi juga telah menemukan anggrek akar Taeniophyllum torricellense yang sebelumnya hanya ditemukan di dua lokasi, yaitu Pulau San Cristobal di Kepulauan Solomon dan Pegunungan Torricelli, Papua Nugini. Tim juga menemukan anggrek epifit Dendrobium incumbens yang sebelumnya hanya tercatat berasal dari dua titik lokasi di Papua Nugini, yaitu Distrik Sepik dan Morobe. Lokasi-lokasi yang disebutkan tadi berjarak sangat jauh dengan Pulau Batanta di Papua Barat.
Para peneliti juga berhasil mengungkap temuan menarik bahwa ada upaya pemanfaatan lebih dari 100 jenis tumbuhan oleh masyarakat adat setempat untuk berbagai keperluan. "Tumbuhan-tumbuhan ini dipakai untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, pangan lokal, pakaian, upacara tradisional, kerajinan, perlengkapan rumah, bangunan, hingga material untuk membuat perahu,” kata Reza Saputra, peneliti BBKSDA Papua Barat.
Masyarakat Batanta memanfaatkan tanaman wil-gelfun (Coscinium fenestratum) yang banyak tumbuh liar di hutan sebagai obat tradisional herbal untuk penyakit malaria, sakit mata, gangguan pencernaan, serta badan letih. ada juga tumbuhan teliih (Terminalia catappa) yang banyak tumbuh liar di pesisir yang digunakan untuk mengobati luka terbuka, gangguan pencernaan, hingga diare.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari