Kerja sama lisensi BRIN dan PT Pindad untuk pengembangan alutsista dalam negeri menandai proses dari riset menuju produksi massal industri pertahanan.
Indonesia boleh berbangga. Roket RHan-122B buatan anak negeri itu telah diproses mendapatkan tujuh paten terkait desain dan teknologi canggih. Sebuah lompatan teknologi dalam bidang pertahanan khususnya untuk alat utama sistem senjata (alutsista) TNI.
Piranti persenjataan militer ini dikembangkan oleh Pusat Teknologi Roket LAPAN bersama Konsorsium Roket Nasional sejak 2006. Roket itu menggunakan bahan bakar padat komposit berbasis HTPB/AP dengan konfigurasi grain propelan ganda, hollow, dan star-7.
Roket itu memiliki panjang total 2.915 mm dan berat 63 kg, RHan-122B memiliki empat sirip lipat berbentuk seperempat lingkaran dan diluncurkan melalui sistem peluncur multilaras tabung. Roket ini mampu menjangkau hingga 28 km, dan dapat membawa warhead seberat 18 kg.
Perjalanan pengembangan roket ini melewati tahap desain konseptual, desain awal, pembuatan purwarupa (prototype), serta serangkaian pengujian statis dan dinamis sejak 2009. Upaya tersebut sebagai respons atas kebutuhan substansi roket GRAD RM 70 yang diimpor oleh Marinir TNI-AL.
Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Robertus Heru Triharjanto menceritakan bahwa pengembangan RHan-122 itu dimulai ketika dirinya menjelang pindah ke riset teknologi satelit. “Jadi waktu itu dari marinir yang dipinjamkan ke kita dan teknologinya probably different. Mereka itu propellant-nya berbeda, mereka pakai double base ya, dengan teknologi prosesnya yang berbeda,” ujarnya saat penandatangan kerja sama lisensi antara BRIN dan PT Pindad, Kamis (14/12/2023).
Oleh karena itu, tim periset yang terdiri dari Henny Setyaningsih, Rika Andriarti, Heru Supriyatno, Lilis Mariani, dan tim lainnya harus memutar otak melakukan alih teknologi untuk RHan-122 itu. Riset dan uji coba roket tersebut memakan waktu lebih dari 10 tahun.
Seturut demikian, pada 2018, modifikasi pada desain sirip folded fin dilakukan dengan beralih dari bahan aluminium ke baja dan sistem pengunci fin menggunakan locking fin, menggantikan pengunci awal berbasis pegas. Modifikasi pada nozzle roket menjadi dua bagian juga dilakukan tanpa cover nozzle.
Setelah modifikasi pada nozzle dan fin, kinerja terbang RHan-122B menjadi stabil dan konsisten. Hingga sampai akhirnya pada 2019 berhasil memperoleh sertifikat kelaikan udara sebagai senjata udara militer dari Badan Sarana Pertahanan, Kementerian Pertahanan.
Pencapaian sertifikat ini memunculkan urgensi untuk mendaftarkan paten dan melisensikan teknologi roket ini untuk produksi massal. Kendati demikian, proses pengurusan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terhambat oleh prioritas pada jalannya kegiatan pengembangan.
Perubahan manajemen dari LAPAN ke BRIN di penghujung 2021 memperkuat fokus pada riset dan pengembangan, dengan mengalihkan produksi massal ke industri pertahanan. Akhirnya, pada pertengahan 2023, tujuh paten terkait RHan-122B telah terdaftar setelah percepatan penyusunan ulang draf HKI sekaligus memulai pembahasan kontrak lisensi dengan industri pertahanan.
Adapun tujuh kekayaan intelektual berupa paten sebagai berikut, yaitu Metode Pemasangan Propelan Padat dan Inhibitor Pada Motor Roket, Peralatan dan Sistem Rangkaian Penyala Roket Tipe Piroteknik dengan Struktur Menggunakan Bantalan Poros, Metode Pembuatan Insulasi Termal dengan Menggunakan Peel Ply pada Motor Roket Padat, Sistem Propulsi Motor Roket Kaliber 122 mm Menggunakan Propelan Padat Komposit Konfigurasi Ganda, Propelan Padat Komposit HTPB/AL/AP Trimodul, Nozel Roket Modular dengan Fitur Pencegah Kebocoran Gas Panas, dan Nose Cone Tumpul yang Dilengkapi Bodem untuk Roket Artileri.
Menilik kembali sejarahnya, roket R-Han 122 adalah hasil pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)-- sekarang menjadi Kemendikbudristek--dari roket D-230 bertipe RX 1210, yang mempunyai kecepatan maksimal 1.8 Mach. Mulai 2007 ketika Kemenristek membentuk kelompok D230 yang bertugas mengembangkan roket dengan diameter 122 mm dan berjarak jangkauan 20 kilometer. Prototipe pertama D-230 ini dipesan oleh Kementerian Pertahanan dalam rangka memperkuat program seribu roket. Sejak itu, pemerintah menyusun Konsorsium Roket Nasional yang diketuai oleh PT Dirgantara Indonesia (DI).
Konsorsium Roket Nasional tersebut memiliki anggota beberapa industri strategis yang bertugas beragam peralatan roket. Di dalamnya terdapat juga PT Pindad yang bertugas mengembangkan launcher serta firing system berplatform GAZ, Nissan, serta Perkasa yang telah drubah menggunakan laras 16/warhead serta mobil launcher. Lalu ada juga PT Dahana yang mensuplai propellant, PT Krakatau Steel untuk pengembangan material tabung serta struktur roket. Sedangkan, PT Dirgantara Indonesia mendesain dan pengujian jarak terbang.
Tidak hanya itu, konsosium itu juga didukung Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang bertugas menyediakan alat pengatur posisi roket. Kampus ITB juga mendukung sistem kamera nirkabel guna menangkap serta mengirim citra ketika roket mencapai sasaran. Beberapa perguruan tinggi lainnya juga turut mendukung seperti UGM, ITS, Universitas Ahmad Dahlan, serta Universitas Suryadharma, yang ikut terlibat di dalamnya. Label D-230 berganti menjadi RHan-122 dikarenakan lisensinya sudah dipegang oleh Kementerian Pertahanan.
Langkah kolaborasi tersebut menandai komitmen Indonesia dalam menguatkan teknologi pertahanan lokal, memperkuat kemandirian negara dalam sistem pertahanan modern.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari