Setelah bersaing dengan 27 situs budaya yang diajukan oleh berbagai negara, akhirnya sidang ke-43 Komite Warisan Dunia UNESCO PBB di Baku Azerbaijan, 6 Juli 2019, menetapkan Kota Sawahlunto sebagai situs warisan dunia kategori Budaya. Tahun ini UNESCO menetapkan beberapa situs dari beberapa negara dalam daftar situs warisan dunia. Indonesia bersama Australia, Bahrain, Cina, India, Jepang, dan Republik Demokratik Rakyat Lao.
Ya, situs Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto ialah situs kota pertambangan tertua di Asia Tenggara. Mulai didirikan oleh Hindia Belanda pada 1888. Sedangkan, perusahaan Pertambangan Batubara Ombilin didirikan pada 1892. Situs ini memiliki kemiripan dengan situs Major Mining Sites of Wallonia di Belgia. Dibangun di abad ke-19 dan juga telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia pada 2012.
Penetapan ini berarti juga menambah jumlah situs di Indonesia yang masuk daftar warisan dunia untuk kategori budaya. Bersama situs ini, Indonesia tercatat di UNESCO memiliki lima situs. Empat situs lainnya, yakni Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991), Situs Sangiran (1996), dan Sistem Subak di Bali (2012).
Kota Sawahlunto berada sekitar 95 km sebelah timur kota Padang, Provinsi Sumatra Barat. Beranjangsana ke sana dapat dicapai melalui dua pilihan moda transportasi. Mobil dan kereta api. Menggunakan mobil waktu tempuhnya sekitar 2,5 jam. Melalui kereta api, rutenya lebih memutar. Melalui kota Padangpanjang terlebih dahulu, lalu diteruskan ke Solok, kemudian ke Muarakalaban, dan barulah dari sana berbelok ke kiri untuk selanjutnya ke Sawahlunto. Jalur kereta api nisbi lebih jauh yaitu sekitar 155,5 km dan waktu tempuh kisaran 5,5 jam.
Tapi lamanya waktu tempuh bakalan segera terobati saat kita memasuki kota itu, terlebih bagi para pencinta sejarah. Bagaimana tidak. Bukan hanya diajak menikmati jalur kereta api yang dibangun di penghujung abad ke-19, kita juga bisa membayangkan kota tambang yang dibangun secara terintegrasi di masa lalu.
Ya, pertambangan di Sawahlunto, jalur rel kereta api, dan Pelabuhan Teluk Bayur—yang dulu bernama “Emmahaven”—di Kota Padang, ibarat “tiga serangkai” dari proyek pembangunan Sawahlunto sebagai kota tambang di zaman Belanda. Memasuki areal kawasan “Kota Lama”, segera saja citra, nuansa, dan nostalgia akan kota tua dari abad ke-19 bakal terpatri kuat di benak kita.
Perubahan Sangat Cepat
Kata ‘Sawahlunto’ berasal dari dua suku kata, yakni ‘sawah’ dan ‘lunto’. Sawah itu terletak di sebuah lembah yang dialiri sebuah anak sungai yang bernama Batang Lunto. Berhulu di lembah bukit-bukit Nagari Lumindai di sebelah barat, anak sungai itu mengalir ke Nagari Lunto dan mengairi areal persawahan di sana. Dari situlah akhirnya terciptalah nama ‘Sawahlunto’.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1563762972_Kompresor_Buildin.jpg" />
Kompresor Buildin. Foto: Dok. UNESCO
Sementara itu, karena terletak di sebuah ceruk yang dikelilingi oleh perbukitan sehingga membentuk lembah, dulu orang Belanda lebih sering menyebut kawasan itu dengan istilah ‘Lunto Kloof’. Kloof berarti lembah. Lunto Kloof berarti Lembah Lunto.
Menurut catatan dua geolog Belanda yang pertama kali melakukan eksplorasi pada 1867, De Greve dan Kalshoven, Sawahlunto ketika itu belum menjadi daerah hunian penduduk. Kondisi ini terafirmasi ketika geolog Belanda lain, RDM Verbeek, juga melakukan eksplorasi di sana pada 1875.
Mengacu Regeering Almanak van Nederlandsch-Indie Tahun 1892, nama Sawahlunto telah tercatat dalam sistem administrasi Belanda. Patut diduga sejak 1 Desember 1888 status administrasi Sawahlunto telah dicatat sebagai bagian dari Afdeeling Tanah Datar. Pencatatan ini seiring persiapan pembangunan prasarana dan sarana industri tambang batubara yang mulai dibangun pada 1887.
Merujuk tulisan Andi Asoka dkk dalam Sawahlunto, Dulu, Kini, dan Esok diperkirakan Sawahlunto mulai jadi daerah pemukiman sejak 1887. Belanda menanamkan modal sebesar 5,5 juta gulden untuk merealisasikan industri tambang batubara, setelah daerah itu ditetapkan sebagai kawasan konsesi pertambangan oleh pemerintah Belanda pada 1886.
Tercatat, enam tahun setelah penandatangan konsesi, pada 1891 dimulailah usaha pertambangan. Ekspor perdana tercatat pada 1892. Bagaimana pentingnya komoditas batubara dan Sawahlunto di masa itu terlihat dari perubahan posisi status daerah ini yang bisa dikatakan nisbi cepat.
Merujuk Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 1 Tanggal 1 Desember 1888, awalnya Sawahlunto termasuk bagian dari wilayah Onderafdeeling VII Koto. Sedangkan Onderafdeeling VII Koto termasuk dalam Afdeeling Tanah Datar dengan ibu kotanya Batusangkar. Seperti diketahui, onderafdeeling ialah daerah setingkat kawedanan, sedangkan afedeeling setingkat kabupaten.
Onderafdeeling VII Koto terdiri dari enam kelarasan Kotobaru, Silungkang, Sijunjung, Koto VII, Padang Sibusuak, dan Lubuak Tarok. Lokasi ibu kotanya di Kelarasan Silungkang. Sawahlunto termasuk di wilayah Kelarasan Silungkang. Ketika itu di sana hanya ditempatkan aspirant controleur, seorang wakil kontrolir, sebuah jabatan terendah yang dipegang oleh orang Belanda dalam birokrasi kolonial. Namun selang empat tahun kemudian, pada 1895, Sawahlunto telah menggantikan posisi Kelarasan Silungkang dan berstatus ibu kota bagi Onderafdeeling VII Koto.
Dari tahun ke tahun, kota itu terus menunjukkan perkembangan pesat. Hal ini terlihat dari pergantian nama Kelarasan Koto VII menjadi Kelarasan Sawahlunto pada 1903. Namun demikian, baru pada 24 Juli 1905, sebagaimana dimuat dalam Staatsblad No. 396, batas-batas administrasi Sawahlunto ditetapkan untuk pertama kalinya.
Sungguhpun pertumbuhan dan perkembangan Sawahlunto nisbi pesat, statusnya sebagai “kota” baru terjadi seiring pengangkatan seorang burgelijken stand atau wali kota di tahun 1911. Bergerak lebih maju, di tahun 1914 Sawahlunto ditetapkan sebagai Ibu Kota Afdeeling Tanah Datar, dari yang semula posisi dan status itu berada di daerah Batusangkar.
Ada gula ada semut, demikianlah pepatah. Sawahluto pun tumbuh jadi daerah tujuan orang mencari penghidupan. Seiring pesatnya perkembangan sosiologis yang semakin kompleks, pemerintah Hindia-Belanda pada 1918 menetapkan Sawahlunto sebagai Kotapraja (Gemeente). Sebagai daerah otonomi, posisi wali kota dijabat oleh Kepala Afdeeling Tanah Datar dengan dibantu oleh sebuah Dewan Kota (Gemeenteraad). Pada 1929 keluar Staatsblad No 400, wilayah Sawahlunto sebagai kota pertambangan diperluas menjadi 577,7 hektar, sebuah kawasan yang nantinya satu abad kemudian sohor dengan nama “Kota Lama”.
Nilai Universal yang Menonjol
Sebagai kota pertambangan tentu menyimpan banyak kisah sejarah. Kita bisa belajar menyimak muncul dan tumbuhnya sebuah kota yang dibangun secara terintegrasi. Dari pembangunan infrastruktur seperti jalur kereta api, pelabuhan, generator listrik, gudang, hingga penyediaan sarana pendukung lain seperti fasilitas kantor, rumah sakit, hotel, dapur umum, dan lain sebagainya. Semua bangunan itu dibangun di kisaran penghujung akhir abad 19 atau awal abad 20.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1563763190_Silo_Gunung.jpg" />
Silo Gunung. Foto: Dok. UNESCO
Tentu saja penetapan UNESCO bukan menyangkut kelayakan administratif belaka. Lebih jauh, penetapan UNESCO juga merupakan satu bentuk pengakuan dunia internasional atas kemampuan Indonesia mengelola situs cagar budaya. The International Council of Monuments and Sites (ICOMOS) tegas mengatakan, bahwa situs Ombilin pantas menjadi warisan dunia karena memiliki nilai-nilai universal yang menonjol (outstanding universal value), sehingga eksistensinya pun memiliki signifikansi bagi umat manusia.
Beberapa alasan kelayakan Ombilin menjadi warisan dunia, ialah situs ini memperlihatkan adanya inovasi teknologi pertambangan di abad ke-19, yang sebagai model kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Seperti diketahui, situs ini ialah pertambangan pertama di Asia Tenggara, yang pada abad ke-19 telah menerapkan teknik penambangan bawah tanah untuk mengambil bijih batubara berkualitas super di kedalaman 40 – 100 meter di bawah tanah.
Menariknya, inovasi itu merupakan hasil dari perpaduan antara teknologi Barat dan teknologi masyarakat lokal setempat. Ini terlihat pada pembuatan terowongan-terowongan, misalnya, di mana melalui inovasi teknologi maka proses penambangan bisa dilakukan secara efektif, sekalipun jauh di bawah tanah. Kini depan pintu masuk terowongan dibangun “Museum Lubang Tambang Mbah Soero”.
Mbah Soero konon dulu ialah nama salah satu penambang yang disegani. Sayangnya tak ada cerita lebih jauh tentang profil dirinya. Sayangnya juga tidak ada yang tahu pasti berapa panjang dan dalamnya lubang galian terowongan tambang tersebut. Lubang Mbah Soero yang dibuka untuk umum hanya pada kedalaman 30 meter dan panjang 186 meter.
Jelas di sana pun terekam kisah sedih dan perjuangan emansipasi kelas buruh untuk memperoleh hak-haknya, juga perjuangan heroik bangsa Indonesia saat memasuki era kemerdekaan.
Tercatat kisah, misalnya hingga di 1898 usaha pertambangan di Sawahlunto masih mengandalkan narapidana yang dipaksa bekerja dan dibayar murah. Supaya tidak kabur atau melawan, kaki para pekerja itu dirantai. Keberadaan mereka disebut “orang rantai”. Dan Mbah Soero konon adalah nama mandor bagi para pekerja yang bernasib malang tersebut.
Memasuki fase Indonesia merdeka, setelah Jepang kalah, tambang batu bara Ombilin langsung dikuasai oleh orang Indonesia. Berbeda dengan perusahaan lainnya di Indonesia, yang pengambilalihannya melalui proses nasionalisasi secara legal, maka pada kasus perusahaan tambang Ombilin ini bisa dikata langsung dikuasai dan dioperasionalkan oleh orang-orang Indonesia.
Catatan lain juga menarik disimak. Pada masa Agresi Belanda pertama, di Sawahlunto terdapat pabrik perakitan senjata yang menghasilkan senjata-senjata sederhana, dan sekaligus menjadi tempat untuk memperbaiki senjata rusak hasil rampasan. Hasilnya kemudian senjata itu didistribusikan dan dipergunakan oleh para pejuang dari daerah-daerah di sekitar Sawahlunto.
Sekalipun di dekade 1930 – 1940-an pernah memasuki masa keemasan, satu abad lebih eksploitasi pertambangan jelas membuat stok mulai menurun drastis. Benar, stok batubara di dalam perut bumi masih cukup melimpah. Namun mengingat harga batubara nisbi murah, dan di sisi lain biaya eksploitasi bawah tanah mahal sekali, maka bisnis pertambangan batubara bawah tanah jelas tidaklah visibel.
Walhasil, memasuki penghujung abad 20, isu menipisnya cadangan batubara semakin santer terdengar. Tambang batubara, yang selama satu abad lebih telah menjadi sumber utama kehidupan ekonomi masyarakat Sawahlunto, perlahan namun pasti denyutnya akan berhenti.
Pandai Menata Diri
Wali kota Sawahluto periode 1993-2003, Subari Sukardi memiliki visi jauh ke depan. Dia melakukan berbagai kajian. Agenda utamanya ialah mencari solusi untuk Sawahlunto paskapenutupan tambang batubara. Hasilnya ialah munculnya ide menjadikan kota bekas tambang batubara itu jadi daerah tujuan wisata sejarah dan budaya.
Didorong menjadi sebuah kebijakan, ide transformasi basis produksi masyarakat Sawahlunto ini kemudian dituangkan dalam sebuah visi dan misi, melalui Perda Kota Sawahlunto 2 Tahun 2002. Tujuannya mewujudkan “Kota Sawahlunto Menjadi Kota Wisata Tambang Yang Berbudaya”.
Serius membuka diri menjadi destinasi pariwisata sejarah dan budaya, maka sejak 2002 Sawahlunto berbenah diri. Pelbagai proyek revitalisasi dan konservasi pun dilakukan. Keseriusan ini pun akhirnya berbuah manis. Hasilnya ialah penetapan UNECO atas situs Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto sebagai warisan dunia.
Berbekal predikat itu, rasa-rasanya bukan mustahil kota Sawahlunto sebagai “mantan” kota tambang kini mulai menjangkahkan kakinya keluar dan menyiapkan diri sebagai kawasan destinasi wisata unggulan. Di sana potret kota modern dari abad 19 masih lestari. (W-1)