Bondar merupakan bagian dari kearifan lokal di Hatabosi, empat di antara 11 desa di Kecamatan Marancar, dimana pengelolaan dan pembagian saluran air ke persawahan disepakati bersama oleh seluruh warganya.
Tapanuli Selatan merupakan satu di antara 33 kabupaten dan kota di Provinsi Sumatra Utara (Sumut). Tapsel, begitulah kabupaten seluas 6.030 kilometer persegi itu biasa disingkat, memiliki kearifan lokal dalam menjaga tetap lestarinya air sumber kehidupan penduduk. Hal itu bisa ditemui salah satunya di sekitar lembah Gunung Lubuk Raya, sebuah gunung api tak aktif setinggi 1.862 meter di atas permukaan laut (mdpl) atau titik tertinggi di Tapsel.
Tepat di lereng Gunung Lubuk Raya terdapat empat desa yang telah menjaga sistem pengelolaan air dan sumber kehidupan lain di hutan adat secara tradisional dan telah bertahan lebih dari seabad silam. Namanya bondar dan telah dikenal pula sebagai sistem irigasi tua peninggalan nenek moyang suku Batak, etnis asli Sumut. Keempat desa itu adalah Haunatas, Bonan Dolok, Tanjung Rompa, dan Siranap atau dikenal pula dengan sebutan Hatabosi.
Bondar merupakan bagian dari kearifan lokal di Hatabosi, empat di antara 11 desa di Kecamatan Marancar, dimana pengelolaan dan pembagian saluran air ke persawahan disepakati bersama oleh seluruh warganya. Selain harus memiliki sawah, syarat lain agar ikut mengelola bondar adalah telah disepakati ketika seorang warga melangsungkan pernikahan di Hatabosi. Artinya, ketika penduduk Hatabosi keluar dari kampung Hatabosi, maka dia tidak berhak atas bondar atau ikut mengelola saluran air.
Kendati demikian, hak bondar masih dapat diberikan kepada orang dari luar Hatabosi terutama jika menikahi warga setempat. Hal tersebut seperti diutarakan oleh Iswar Pangaloan Harahap dalam "Peranan Kelembagaan Menjaga Air Irigasi Kawasan Simaretung Kecamatan Marancar". Dosen Fakultas Pertanian Universitas Graha Nusantara Padangsidempuan itu menyebut, sistem bondar mulai diberlakukan sejak awal abad 20 atau sekitar tahun 1907 silam dan bertahan sampai hari ini.
Itu ditandai dengan masuknya penduduk bermarga Pasaribu ke Simaretung atau Desa Haunatas dari Tapanuli Utara untuk membuka lahan pertanian lantaran kawasan yang semula adalah hutan seluas sekira 3.000 ha bernama Hutan Batang Toru yang memiliki banyak mata air di dalamnya. Mereka membuka lahan persawahan seluas 300-an ha dan dapat ditanami dua kali dalam setahun. "Mereka selalu teringat pesan nenek moyang yaitu sian harangan ni do mual ni aek ta' atau dari hutan sumber air kita. Pesan ini tetap dipegang oleh generasi penerus dan telah menjadi tradisi," tulis Iswar pada Jurnal LPP UGN Volume 9, September 2018.
Secara rutin, para jaga bondar (petugas penjaga jaringan irigasi) atau pengurus tali air yang berjumlah delapan orang melakukan patroli pada kawasan hutan ini, sembari mengontrol kondisi jaringan irigasi yang ada sepanjang 4 km. Jika terjadi gangguan pada hutan yang mereka lindungi, seluruh masyarakat akan bersama-sama menghadapinya dan tak segan komunitas ini menindak dengan tegas. Sejumlah aturan pun dibuat ketika sistem bondar ini pertama kali dibangun lebih seabad lalu dan dilakukan agar tetap lestari.
Penetapannya dipimpin oleh tetua adat yang disebut hatobangon dan beberapa dari aturan itu telah disebutkan di awal tulisan. Khusus bagi mereka yang ingin menjadi anggota dan memperoleh hak menggunakan air, diwajibkan membayar biaya awal keanggotaan berupa 12 kilogram karet dan 3 tabung padi, yang digunakan untuk membeli perlengkapan para pengurus tali air. Jika keluar atau pindah dari Hatabosi, hak tersebut tidak berlaku lagi. Sebaliknya, jika ia kembali bermukim di wilayah keempat desa tersebut, maka hak bondar akan didapatkan lagi.
Demikian pula dalam menjaga keberlangsungan aliran dan kebersihannya, ditetapkan hukuman yakni siapa saja dengan sengaja menutup saluran utama atau mengotori termasuk buang air besar pada saluran primer dan sekunder akan dihukum dengan denda seekor kerbau. Dalam kesehariannya, pengelolaan diserahkan kepada mantari bondar atau pemimpin dalam pengaturan air yang membawahi delapan orang pengurus jaga bondar dalam pengelolaan sistem irigasi. Seorang mantari bondar harus bermarga Pasaribu.
Pengurus tali air bersifat otonom dan berkoordinasi dengan pemerintahan empat desa Hatabosi. Pemilihan para pengurus kelompok pengelolaan air ini dilakukan secara musyawarah oleh seluruh anggotanya dan tidak memiliki periode waktu tertentu. Jika beberapa anggota melihat ada petugas dalam kelompok pengelola air tidak bekerja dengan baik, maka dapat diajukan penghentian dan pengangkatan petugas baru kepada hatobangon desa.
Para petugas inilah yang mengelola pengaturan air, menjaga saluran, dan melakukan perbaikan jika terjadi kerusakan pada tali air atau saluran air terutama di musim huan karena acap tertutupi ranting dan daun. Namun untuk kerusakan berat jika tidak mampu diperbaiki oleh pengurus tali air atau dibutuhkan kerja yang melebihi dari satu minggu maka mantari bondar akan meminta masyarakat yang lain untuk membantu secara bergotong royong. Jaga bondar juga berperan menertibkan pembagian air dengan menata saluran (parit) distribusi. Agar tidak timbul pelanggaran jalur pembagian yang telah ditetapkan.
Seluruh perangkat jaga bondar termasuk mantari memperoleh imbalan berasal dari iuran jasa pemanfaatan air yang diberikan setiap warga pengguna air. Setiap satu bagian air akan dikenakan iuran sebesar dua kaleng padi atau kira-kira 24 kg setiap tahunnya. Iuran yang terkumpul juga dipakai untuk merawat saluran air yang ada. "Imbalan kepada jaga bondar diberikan setelah sebelumnya dikurangi dengan biaya operasional," sebut Iswar.
Sejak menerapkan bondar, wilayah pertanian di Hatabosi selalu subur dengan panen yang melimpah. Tidak ada air terbuang percuma karena semua termanfaatkan secara baik. Sisa buangan air rumah tangga dialirkan langsung ke sawah lantaran tiap rumah telah membangun sendiri tali air dan terintegrasi dengan sistem bondar. Sebagai wujud rasa syukur, masyarakat sekitar setiap tahunnya menggelar pesta adat Gotilon.
Pengelolaan sumber daya alam terutama air dan hutan di Hatabosi ini menjadi contoh baik dan dapat diterapkan di desa-desa lain di Indonesia. Sehingga tidak terjadi lagi kerusakan alam akibat perilaku manusia yang tak mampu menjaga kelestariannya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari