Suku Osing diyakini sebagai keturunan dari Kerajaan Blambangan yang dahulu berlokasi di wilayah Banyuwangi.
Suku Osing merupakan kelompok etnis yang menetap di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dengan sejarah dan kebudayaan yang kaya, suku ini menjadi salah satu penjaga warisan budaya yang tak ternilai bagi Indonesia.
Pasalnya, Suku Osing merawat warisan tradisi, bahasa, seni, dan kepercayaan mereka. Dari proses akulturisasi, mereka kemudian membentuk identitas budaya yang unik dan beragam.
Bila dirunut sejarahnya, Suku Osing diyakini sebagai keturunan dari Kerajaan Blambangan yang dahulu berlokasi di wilayah Banyuwangi. Bahasa Osing, dialek dari Bahasa Jawa, memiliki variasi kosakata dan aksen yang khas dan masih aktif digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh komunitas Suku Osing saat ini.
Bagi masyarakat awan mungkin sulit untuk mengidentifikasi Suku Osing. Tapi mereka di antaranya kerap menekuni kesenian batik dan tenun. Motif-motif batik mereka menggambarkan kekayaan alam, legenda, dan cerita sehari-hari. Keahlian menenun juga menjadi bagian dari seni rupa yang tak ternilai. Itu menjadi warisan budaya yang dilestarikan dari generasi ke generasi.
Masyarakat Osing juga bisa dikenali dari ritual dan upacara adat yang dilakukannya. Diketahui, mereka memiliki berbagai ragam upacara adat, di antaranya pernikahan, ritual panen, dan acara keagamaan. Tradisi itu bahkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam menjaga identitas dan keberlangsungan budaya Osing.
Selain itu, masyarakat Osing juga memiliki seni pertunjukan tradisional, seperti seni wayang wong, kethoprak, dan tari topeng. Itu merupakan bagian penting dari warisan budaya yang dijaga dengan penuh dedikasi oleh Suku Osing.
Identifikasi terhadap masyarakat Osing juga bisa dilakukan lewat pencermatan terhadap arsitek rumah yang mereka tinggali. Rumah adat Suku Osing memiliki desain khas dengan atap berpola balung (empat sisi) atau crocogan (dua sisi), serta ukiran kayu yang memperindah rumah mereka. Desain itu mencerminkan keindahan tradisional dan keahlian tata ruang Suku Osing.
Dari ragam kuliner, masyarakat Osing menawarkan hidangan lezat yang menggambarkan keanekaragaman rasa dan aroma. Pecel pitik, tahu walik, dan uyah asem adalah beberapa hidangan populer yang mewakili cita rasa khas Suku Osing.
Pelestarian Warisan Budaya
Suku Osing dikenal memiliki komitmen kuat dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya mereka melalui pendidikan, pertunjukan budaya, festival tradisional, dan dukungan pemerintah daerah. Semakin banyak wisatawan yang tertarik mengenal budaya Osing, maka itu akan memberikan dorongan dalam pelestarian warisan ini.
Gambaran kehidupan masyarakat Osing dapat disaksikan di Umah Suket Ilalang, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Di sana, anak-anak berkumpul untuk belajar cara menganyam ilalang dari Budi Hartono, yang akrab disapa Cak Bud. Belajar menganyam ilalang ini menjadi bagian dari upaya mendorong generasi muda Osing untuk mempelajari kerajinan tradisional.
Komunitas adat Osing juga memiliki Sekolah Adat Osing, yaitu Pesinauan, yang didirikan oleh Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD Aman) Osing. Pesinauan berdiri sejak 21 Januari 2021 dan mengajarkan tari, musik, menganyam, silat, dan kegiatan budaya lainnya kepada anak-anak dan orang dewasa. Pesinauan dikelola sesuai kebutuhan pembinaan generasi muda tanpa mengganggu kegiatan belajar formal mereka.
Sekolah Adat Pesinauan didukung oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Program-program Pesinauan berfokus pada merawat dan mentransmisikan pengetahuan tradisional masyarakat adat Osing untuk memperkuat jati diri dan kemandirian masyarakat adat ini.
Dengan segala upaya pelestarian dan inovasi yang dilakukan, Suku Osing terus menjadi penjaga dan pewaris warisan budaya yang luhur. Mereka tidak hanya berkontribusi dalam memperkaya warisan budaya Indonesia, melainkan juga menjadi inspirasi dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan tradisional yang tak ternilai harganya.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari