Indonesia.go.id - Tradisi Melindungi Alam dan Budaya dari Desa Demulih

Tradisi Melindungi Alam dan Budaya dari Desa Demulih

  • Administrator
  • Rabu, 25 September 2024 | 15:05 WIB
MASYARAKAT ADAT
  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia, Siti Nurbaya bersama delegasi dari Bezos Earth Fund, melakukan kunjungan kerja ke Hutan Adat Bukit Demulih, Minggu, (08/09/2024). MENLHK
Konsep kearifan lokal di Desa Adat Demulih diwariskan secara turun-temurun melalui cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, dan ritual-ritual.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam dari Denpasar, Bali, tibalah rombongan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, yang dipimpin Menteri LHK RI Siti Nurbaya bersama delegasi dari Bezos Earth Fund (BEF), di Hutan Adat Bukit Demulih, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Kunjungan pada Minggu (8/9/2024) itu bertujuan melihat secara langsung kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga kelestarian hutan, serta mendiskusikan potensi dukungan dari Bezos Earth Fund dalam melestarikan hutan adat dan mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Kehadiran rombongan disambut dengan ritual adat Melukat, yang merupakan pembersihan diri dengan memercikkan tirta atau air suci yang didoakan oleh pemuka agama setempat. Dilanjutkan dengan pemakaian kain adat kepada rombongan Menteri LHK dan BEF, serta Tarian Sekar Sandat sebagai tarian selamat datang.

Selama di sana, rombongan meninjau langsung beberapa titik lokasi yang menunjukkan kearifan lokal masyarakat adat Bukit Demulih dalam menjaga kelestarian hutan adatnya. Seusai kunjungan, rombongan berdiskusi dengan masyarakat adat Desa Demulih di Wantilan dengan menghadirkan sekitar 40 wakil masyarakat adat.

Ketika diskusi dengan warga desa adat, Menteri LHK menyampaikan bahwa pihaknya ingin memberikan gambaran mengenai upaya dan pencapaian KLHK dalam mengelola kawasan perhutanan sosial termasuk pengakuan terhadap masyarakat adat yang telah turun-temurun memiliki sejarah kuat dalam mengelola suatu kawasan hutan adat. “Selain itu, kami juga ingin berbagi kemajuan dalam perhutanan sosial, khususnya dalam pengakuan hukum atas hutan adat,” jelas Menteri Siti.

Hutan Adat Bukit Demulih ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan  Hidup dan  Kehutanan nomor 4767/MENLHK-PSKL/PKTA/PSL.1/7/2021 tentang Penetapan  Hutan Adat Bukit Demulih kepada Masyarakat Hukum Adat (Desa Adat) Demulih. Desa Demulih merupakan satu dari sembilan desa di Wilayah Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Luas wilayah Desa Demulih sekira 463 hektare. Adapun secara administratif terdiri dari tiga dusun/banjar adat, yaitu Dusun/Banjar Adat Demulih, Dusun/Banjar Adat Tanggahan Tengah dan Dusun/Banjar Adat Tanggahan Talang Jiwa.

Dusun/Desa Adat Demulih dilihat dari topografinya yang berada pada ketinggian  di atas 400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lokasinya termasuk dataran tinggi dengan jumlah penduduk 2.874 jiwa.

Konsep kearifan lokal di Desa Adat Demulih diwariskan secara turun-temurun serta dari  generasi ke generasi melalui cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, dan ritual-ritual. Budaya itu bersumber dari filosofi tri hita karana, yaitu keseimbangan dan harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan/Parahyangan, hubungan sesama manusia/Pawongan dan hubungan manusia dengan lingkungan Palemahan.

Ada beberapa upaya warga Desa Adat Demulih dalam mempertahankan eksistensi adat dan budaya yang semakin lama terancam tergerus oleh perkembangan zaman. Konsep cuntaka merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang ada di Desa Adat Demulih, yaitu keadaan yang dianggap tidak suci sehingga warga tidak diperkenankan memasuki Hutan Adat Bukit Demulih (HABD) karena pada kawasan tersebut terdapat 11 pura yang dikeramatkan.

Cuntaka untuk HABD berlaku 12 hari, sehingga jika ada warga desa yang meninggal, maka selama 12 hari siapa saja tidak diperkenankan mengunjungi HABD. Apabila sebelum hari ke-12 ada lagi warga yang meninggal, cuntaka dihitung kembali selama 12 hari sejak orang tersebut meninggal.

Cuntaka menyebabkan kunjungan manusia yang relatif jarang ke HABD. Hal tersebut berdampak positif bagi pertumbuhan dan perkembangan aneka flora dan fauna, termasuk burung.

Bentuk kearifan lokal dalam bentuk regulasi untuk pengelolaan HABD berupa awig-awig dan Perarem. Awig-awig merupakan patokan maupun aturan bertingkah laku yang telah dibuat oleh krama desa adat atau masyarakat berdasarkan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat setempat, sedangkan aturan pelaksanaan awig-awig lebih rinci dituangkan dalam keputusan rapat desa adat (paruman desa adat) yang disebut perarem. Pada umumnya perarem berisi ketentuan dan sanksi lanjutan yang belum jelas termuat dalam awig-awig.

Tradisi lainnya adalah ritual tumpek uduh/tumpek wariga dan tumpek uye/tumpek kandang  yang digelar setiap 210 hari. Hal itu merupakan wujud rasa syukur manusia atas segala kelimpahan makanan dan banyak fungsi dari tumbuh-tumbuhan yang membantu kehidupan manusia. Sedangkan tumpek kandang merupakan salah satu wujud rasa kasih dan sayang, serta ungkapan rasa terima kasih manusia pada binatang yang ada di sekitar desa.

Kekuatan masyarakat adat Demulih adalah konsisten ratusan tahun menjaga aturan adat untuk melestarikan Kawasan Bukit Demulih dan Desa Adat Demulih. Hal ini terbukti sampai saat ini masyarakat tidak berani melakukan penebangan pohon secara sembarangan sehingga kawasan Bukit Demulih tetap asri dan lestari.

Termasuk menjaga sumber mata air desa. Beberapa mata air di kawasan Bukit Demulih, yakni Tirta Empul, Tirta Sakti dan Tirta Kumala Guna, diyakini sebagai lokasi petirtaan yang sakral sehingga warga Demulih dipastikan takut mencemari sebab airnya juga dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat sekitar.

Ada cerita unik dari desa ini, menurut penuturan sesepuh adat, pada 1956 tempat ini pernah dijadikan tempat peristirahatan Presiden RI Soekarno, saat tingggal di Bali. Sang Proklamator rupanya terpesona dengan keasrian Desa Adat Demulih ini.

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini