Menikmati kopi di kedai-kedai kopi sambil berdiskusi aneka topik telah menjadi gaya hidup masyarakat Aceh saat ini.
Bulan September ini menjadi waktu paling spesial bagi masyarakat di Aceh sebab ajang Pekan Olahraga Nasional atau PON untuk pertama kalinya hadir di Bumi Rencong. PON tahun 2024 yang merupakan event olahraga multicabang empat tahun ke-21 kalinya itu digelar di dua provinsi sekaligus, Aceh dan Sumatra Utara (Sumut). Pembukaannya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh pada Senin (9/9/2024).
Sebanyak 12.919 atlet dari 38 provinsi ditambah 1 kontingen mewakili Ibu Kota Nusantara (IKN) berlaga di 34 cabang olahraga (cabor). Sekitar 6.625 alet berlaga pada 34 cabor di Sumut serta 6.294 orang lainnya bertanding pada 33 cabor di Aceh. Kontingen Jawa Barat, juara umum 4 kali PON, tercatat sebagai provinsi pengirim atlet terbanyak yaitu dengan 1.210 atlet.
Atlet-atlet yang berada di Aceh dan Sumut tentu saja tak melulu hadir untuk bertanding saja. Ketika jeda berlaga, mereka pun tentu ingin menikmati suasana lain yang disuguhkan oleh kedua provinsi seperti budaya, tradisi, dan kuliner. Salah satunya adalah menikmati budaya minum kopi di kedai-kedai kopi yang menjamur di penjuru Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Sejatinya, masyarakat di Bumi Rencong tak bisa dilepaskan dari budaya menyeruput kopi. Itu pula yang menyebabkan kedai kopi tumbuh begitu subur bak cendawan di musim penghujan.
Tua-muda, pekerja kantoran, orang biasa hingga pejabat silih berganti mengisi setiap sudut kedai kopi yang tersebar di Banda Aceh dan kota-kota lain di Aceh. Kedai-kedai kopi tak pernah kekurangan pengunjung dan tetap buka 24 jam. Aceh merupakan rumah bagi kopi kualitas terbaik dan telah terkenal di dunia, misalnya kopi gayo dari kawasan dataran tinggi Gayo di Kabupaten Gayo Lues.
Kopi gayo berasal dari varietas kopi arabika dan telah mendapatkan Fair Trade Certified dari organisasi internasional Fair Trade pada 27 Mei 2010. Specialty Coffee Association of America (SCAA) yaitu asosiasi kopi terbesar di Amerika Serikat bahkan selalu menempatkan kopi gayo pada urutan teratas dalam setiap penilaian uji cita rasa (cupping test). Rata-rata hasil cupping test kopi gayo yaitu 86--90 poin, padahal untuk dinobatkan sebagai salah satu kopi kategori specialty dari SCAA, diperlukan skor 80 poin yang diberikan oleh pakar uji cita rasa.
Selain itu, kedai-kedai kopi di Aceh menyajikan tiga jenis kopi seperti kopi susu, kopi sanger, dan kopi hitam. kopi sanger sekilas tak jauh beda tampilannya dengan kopi susu. Bedanya, komposisi gula dan susu kental manis disajikan dalam takaran tertentu sehingga aroma kopi tetaplah lebih dominan. Tak itu, karena buih dari kopi sanger muncul lebih banyak lantaran sebelum disajikan telah dikocok terlebih dulu.
Agar mendapatkan kualitas dan cita rasa unik, biji kopi melalui proses yang tak sebentar. Setidaknya dibutuhkan waktu 4 jam untuk mensangrai kopi dan ketika mencapai kematangan 80 persen, biji kopi ini dicampur gula dan mentega dengan takaran tertentu. Setelahnya, biji kopi yang telah masak digiling hingga halus agar membangkitkan aroma kopi yang kuat, bersih, dan tidak masam.
Cara penyajian kopi Aceh di kedai-kedai kopi juga tak kalah menarik lantaran diseduh menggunakan air yang terus direbus dan terjaga titik didihnya. Seduhan kopi tadi disaring berulang menggunakan alat saringan khusus terbuat dari kain yang dituangkan secara bergantian dari satu ceret ke ceret lain. Hasilnya adalah kopi yang sangat pekat, harum, dan bersih tanpa ada bubuk kopi lagi di dalam tiap seduhannya.
Sejak Akhir Abad 19
Kopi berkembang di Nusantara seiring program tanam paksa atau cultur stelsel yang dilancarkan kolonial Belanda ketika masyarakat diwajibkan menanam kopi pada seperlima dari luas lahan yang digarap masyarakat. Belanda membawa masuk bibit kopi robusta dan arabika ke Nusantara sejak 1696 silam. Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang lama berdiam di Aceh dalam bukunya “Gayo Masyarakat dan Budayanya” mengungkapkan kalau tanaman kopi sudah ada di Gayo sejak akhir abad 19.
Hanya saja masih berupa tanaman liar dan tidak dikembangkan secara baik oleh masyarakat setempat. Hal itu dapat dimaklumi karena seperti dikutip dari Pepercultuur in Atjeh, tanaman lada telah lebih dulu berkembang yakni sejak era 1515 ketika Kesultanan Aceh Darussalam berjaya. Ribuan hektare perkebunan lada tumbuh subur di wilayah kesultanan dan menjadi komoditas perdagangan penting yang mewarnai pelabuhan-pelabuhan setempat. Hingga akhir abad 19, Kesultanan Aceh menjadi kiblat lada terbaik dunia.
Antropolog Aceh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Reza Idria, seperti dikutip dari Antara, menjelaskan bahwa kebiasaan warga Aceh duduk bersama dan bercengkerama di sebuah warung sebagai ruang publik, termasuk karakteristik budaya masyarakat di pesisir Selat Malaka. Hal itulah yang membuat menyeeruput kopi menjadi bagian dari gaya hidup dan pranata sosial masyarakat setempat.
Reza menilai, keberadaannya yang netral di masyarakat berikut suasana santai yang tercipta membuat kedai kopi menjadi pilihan masyarakat untuk berbagai macam aktivitas. Kedai-kedai kopi di Aceh lebih dulu berkembang di wilayah pesisir. Hal itu berkaitan dengan posisi Aceh sebagai titik strategis jalur perdagangan laut sehingga wilayahnya, terutama di pesisir, menjadi wadah interaksi bagi orang-orang dari berbagai latar belakang.
Dalam perkembangannya, kedai kopi tidak sekadar tempat bersosialisasi dengan kerabat. Ruang ekonomi kecil juga muncul di kedai-kedai sederhana ini, yang tak jarang terjadi transaksi jual beli seperti tanah, ternak, dan lain-lain. Jika berkunjung ke Bumi Rencong, jangan lupa untuk menyinggahi sejenak kedai-kedai kopi yang bertumbuh seantero Aceh dan rasakan nuansa berbeda yang ada di dalamnya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/TR