Tentu tak berlebihan jika World Halal Travel Summit di Abu Dhabi pada November 2016 menyematkan 12 kategori penghargaan bagi Indonesia. Menarik dicatat, dari 16 kategori penghargaan yang diberikan oleh World Halal Travel Summit, Indonesia memenangkan 12 kategori. Ini artinya Indonesia membawa pulang dua pertiga dari total penghargaan yang dikontestasikan di tingkat dunia.
Dikatakan tak berlebihan karena sepanjang rilis GMTI (Global Muslim Travel Index), yaitu dari 2015-2018, tercatat peringkat Indonesia dari tahun ke tahun konsisten naik. Scoring-nya pun cenderung selalu membaik. Bahkan pada rilis GMTI 2018, posisi Indonesia berada di peringkat ke-2 di antara 48 negara anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam).
Artinya, bicara makna capaian ini bisa dikata Indonesia perlahan-lahan mulai berhasil menampilkan dirinya sebagai model pariwisata halal. Pada tingkat regional Asia Tenggara, posisi Indonesia ini bersaing ketat dengan negara tetangga. Negeri Jiran, Malaysia, sementara ini memimpin di urutan pertama.
Menindaklanjuti apresiasi Dunia Islam ini, pada pertengahan 2018, pemerintah menginisiasi program IMTI (Indonesia Muslim Travel Index). Salah satu tujuan program ini ialah mendorong Indonesia menuju peringkat pertama dalam GMTI 2019 nanti.
Mengadopsi empat kriteria atau parameter dari standar GMTI, yakni access (10%), communication (10%), environment (40%), dan services (40%), IMTI 2019 kemudian merumuskan standar kerja pengembangan wisata halal. Ada 10 tujuan wisata halal ditetapkan, yakni Lombok di Nusa Tenggara Barat, Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Sumatra Barat, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Seperti diketahui, menurut Pew Research Center jumlah penduduk muslim pada 2010 sebesar 1,6 miliar atau 23 persen jumlah penduduk dunia. Berada di urutan kedua setelah umat Kristiani. Dengan asumsi rasio pertumbuhan penduduk relatif konstan, jumlah penduduk muslim pada 2050 ditaksir mencapai 2,8 miliar atau 30 persen dari total jumlah penduduk dunia.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1564888473_Wisata_Halal.png" />
Masih merujuk sumber yang sama, di sepanjang 2010--2050 jumlah usia produktif dari populasi Islam tercatat sangat besar. Penduduk yang berusia antara 15 – 59 tahun mencapai 60 persen dari total populasi Islam.
Thomson Reuters dalam Global Islamic Economy Report 2017-2018 mencatat, konsumsi Muslim adalah terbesar di dunia. Setidaknya terjadi di enam sektor yaitu makanan, pariwisata, pakaian, farmasi, media-rekreasi, dan kosmetik. Total nilainya sebesar USD2 triliun atau 11,9% dari konsumsi masyarakat di dunia.
Tak jauh beda dengan sebelumnya, Global Islamic Economy Report 2018-2019 mencatat pengeluaran belanja masyarakat muslim di sektor pariwisata mencapai USD177 miliar pada 2017. Diperkirakan naik hingga USD 274 miliar di 2023. Untuk belanja di sektor media-rekreasi mencapai USD 209 miliar pada 2017, dan diprediksi naik hingga USD 288 miliar di 2023. Sedangkan pengeluaran di sektor makanan mencapai USD1,3 triliun pada 2017, dan diperkirakan kembali naik hingga USD1,9 triliun di 2023.
Masih merujuk sumber yang sama, disebutkan posisi Pasar Pariwisata Halal termasuk dalam peringkat Top 5 Pasar Pariwisata terbesar di dunia. Segmen ini juga tercatat sebagai termasuk dalam tiga besar sumber wisatawan di tingkat global.
Ya, jumlah populasi Islam ke depan berpotensi menjadi terbesar di dunia. Sekaligus juga berarti populasi usia produktif dan sekaligus konsumtifnya bakalan tumbuh sangat besar. Fakta ini membuat posisi masyarakat muslim potensial menjadi captive market tersendiri. Juga membuat sektor ekonomi berbasis populasi Islam diproyeksikan bakal tumbuh signifikan di tahun-tahun mendatang.
Peluang dari Keragaman Karakter
Mengingat Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia sudah tentu Indonesia juga memiliki potensi sangat besar menjadi pemain dominan di segmen wisata halal pada tingkat global. Pasalnya, pada dasarnya budaya Indonesia telah memiliki DNA gaya hidup halal (halal lifestyle).
Ya, bagaimanapun nilai-nilai Islami nisbi telah lama tersematkan dalam aneka ragam adat istiadat dari ratusan masyarakat etnis penghuni gugus kepulauan di sekitar zamrud katulistiwa ini. Banyak analisis menyebutkan, sebagai sumber inspirasi atau nilai-nilai melawan kolonialisme Barat, Islam telah dipeluk oleh masyarakat di Nusantara setidaknya sejak awal abad ke-16.
Tercatat 88% populasi Indonesia memeluk Islam. Populasi ini terdiri dari ratusan etnis, memiliki 746 jenis bahasa dan dialek, dan memiliki sebaran masjid lebih dari 800.000 unit.
Terlebih, Islam di Indonesia sebagai bagian dari kultur Islam Asia Tenggara. Selain dikenal cenderung mengadopsi budaya lokal untuk memperkaya khazanah pengalaman keislamannya, Islam Asia Tenggara juga dicatat oleh banyak ilmuwan sosial mancanegara sebagai memiliki karakter moderat, ramah, toleran, dan cinta damai.
Menariknya lagi, konfigurasi masyarakat Islam yang dianut oleh ratusan etnis itu juga memiliki keragaman latar belakang baik itu sejarah maupun budaya. Meminjam istilah dan kategori yang dibuat oleh Harry J Benda, “Indianized Southeast Asia”, di sini bisa disimpulkan sebagian wilayah di Indonesia ialah bagian dari kawasan di Asia Tenggara yang telah terindiakan jauh hari sebelum masuknya Islam.
Ditambah latar belakang kuatnya khazanah budaya lokal seperti adanya ritus pemuliaan leluhur di banyak etnis dan daerah tertentu; tak kecuali terkadang pun masih tampak hidupnya unsur-unsur keyakinan dinamisme-animisme atau paganisme di sana-sini. Alhasil adalah menjadi wajar jika wujud keislaman di Indonesia juga memunculkan warna budaya Islam yang kaya dan beragam rupa.
Tidak mengherankan antara satu etnis dengan etnis lainnya di Indonesia cenderung memiliki variasi karakter keislaman yang khas dan berbeda-beda. Sebutlah ada keislamannya Orang Melayu, Orang Jawa, Orang Bugis, Orang Sunda, atau Orang Lombok, dan lain sebagainya. Sedikit atau banyak masing-masing etnis itu bisa dikata telah memberikan interpretasi keislaman selaras dengan konteks dan warna lokalisme-nya sendiri.
Adanya perbedaan dalam menerjemahkan keislaman di Indonesia pada ruang sejarah dan kultural yang beragam ini—meminjam istilah Marshal Hodgson—disebut “Islamicate”, tentu bakal memberikan corak keindahan perihal mosaik citra Islam dalam bentang budaya yang plural. Baik itu bagi wajah Islam di Indonesia sendiri secara khusus, maupun bagi dunia Islam secara umum.
Seperti diketahui Marshall GS Hodgson dalam karya klasiknya The Venture of Islam membedakan tiga bentuk fenomena Islam sebagai peradaban dunia. Pertama, fenomena Islam sebagai doktrin (Islamic). Kedua, saat doktrin Islam itu masuk dan berproses dalam konteks sosial dan kesejarahan tertentu sebagai fenomena sosiokultural (Islamicate). Ketiga, ketika Islam telah menjadi sebuah “Dunia Islam” yang bersifat politis dalam tatanan lembaga kekuasaan di kawasan tertentu (Islamdom).
Namun demikian, masih merujuk Hodgson, adanya perbedaan kualifikasi antara ‘Islamicate’ dan ‘Islamdom’ itu tidak serta-merta berarti membawa konsekuensi pada gambaran perbedaan derajat kualitas keislaman. Bahwa pada tataran Islamdom berarti seluruh perilaku masyarakat akan berjalan sesuai dengan nilai-nilai doktrin Islam, dan sebaliknya di tataran Islamicate berarti tidak sesuai. Jelas bukan demikianlah makna dua istilah tersebut.
Artinya, membaca sebaran peradaban Islam di dunia dalam perspektif Hodgson, di sini akan terlihat jelas bagaimana beragamnya wajah Islam di berbagai kawasan di dunia ketika nilai-nilai Islam diinternalisasi. Sehingga, meskipun jauh dari tempat lahirnya di Timur Tengah, komunitas Islam di kawasan Asia Tenggara, seperti di Indonesia, misalnya, nisbi sebenarnya tidak jauh berbeda dalam proses pelaksanaan keislamannya.
Pun sekaligus tidak berlaku klaim bahwa Islam di Timur Tengah adalah paling ‘asli’ atau otentik, sedangkan Islam di Indonesia, misalnya, ialah serta-merta bersifat ‘tidak asli’. Jelas, seturut Hodgson, bukan demikianlah makna dan sekaligus fakta historisnya di masa lalu.
Kembali pada konteks model pariwisata halal. Adanya keragaman rupa Islamicate dan kekayaan warna mosaik Islam di Indonesia tentu memiliki pesona dan daya tarik kuat tersendiri. Berbekal ratusan etnis sebagai fenomena kawasan Islamicate yang memiliki warna Islam yang khas, jelas bisa menjadi tawaran menarik bagi para pelancong muslim manca negara.
Selain itu, pun Indonesia ke muka juga bisa mendorong strategi diplomasi publik untuk membentuk nation branding “baru”. Seperti diketahui sejak 2011 hingga kini, istilah “Wonderful Indonesia” sengaja dipilih sebagai tagline dan sekaligus jadi instrumen kampanye nation branding. Melalui Wonderful Indonesia, Indonesia berkirim pesan kepada dunia, selain soal kekayaan alam juga perihal kekayaan etnik dan budaya Indonesia.
Kini citra baru sebagai negeri ‘muslim-friendly tourism’ mulai disematkan kuat. Pada titik ini, karakter Islam di Indonesia yang notabene moderat, ramah, toleran, dan cinta damai, tentu penting dikuatkan kembali sebagai modal budaya untuk membangun national branding Indonesia.
Indonesia memiliki Islam-Jawa atau lazim disebut Islam-Kejawen sebagai manifestasi Islamicate etnis Jawa. Juga memiliki Islamicate Sunda Wiwitan, yang dalam arti tertentu sering dipahami sebagai sinonim Islam-Sunda bagi etnis Sunda. Islam di Bugis-Makassar pun masih membawa tradisi lokal surommaca atau ma’baca, yaitu ungkapan pemuliaan bagi leluhur. Tak kecuali etnis Sasak, juga dikenal yang namanya Islam Wetu Telu. Dan lain sebagainya.
Demikianlah, sektor pariwisata diharapkan bukan hanya akan berkontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi, melainkan juga sukses membangun jalan diplomasi kebudayaan Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Bahwa sejatinya Islam ialah fenomena plural dan sungguh-sungguh bermakna rahmatan lil 'alamin.
Itulah warna ‘Islam Nusantara’. Membawa karakter moderat, ramah, toleran, dan sekaligus cinta damai. Sebuah warna keislaman di Indonesia yang telah sohor di kalangan para ilmuwan sosial-humaniora mancanegara sejak kurun waktu yang lama. (W-1)