Lokasi Strategis dan Teknologi Canggih
Pemilihan Waduk Cirata sebagai lokasi proyek didasarkan pada sejumlah pertimbangan strategis. Selain dekat dengan PLTA Cirata yang berkapasitas 1.008 MW—sehingga dapat membantu stabilitas jaringan listrik—area itu juga memiliki infrastruktur pendukung yang memadai.
Hanya sekitar empat persen dari total luas waduk yang digunakan untuk proyek itu, dengan potensi ekspansi hingga 20 persen sesuai regulasi.
Secara teknologi, PLTS Cirata mengadopsi panel surya berlapis kaca ganda yang mampu menyerap sinar matahari secara optimal serta tahan terhadap korosi dan guncangan.
Setiap panel memiliki kapasitas hingga 560 Watt Peak, sementara struktur terapungnya dibuat dari plastik daur ulang berkualitas tinggi yang tahan sinar UV dan api. Floater ini ditambatkan menggunakan jangkar beton seberat 12 ton, memastikan stabilitas meski diterpa angin kencang. “Panel surya yang kami gunakan bergaransi hingga 30 tahun, sementara floater bisa bertahan hingga 25 tahun. Ini menjamin keandalan operasional jangka panjang,” kata Dimas.
Namun, pembangunan proyek itu bukan tanpa tantangan. Pemasangan panel di atas air memerlukan presisi tinggi, sementara perizinan sempat mengalami hambatan akibat perubahan regulasi. Selain itu, teknologi pembersihan otomatis masih dinilai kurang efisien secara biaya, sehingga pemeliharaan panel dilakukan secara manual. "Hambatan terbesar adalah membuktikan bahwa teknologi ini layak diterapkan di Indonesia,” ujarnya.
Dampak Ekonomi dan Sosial
PLTS Cirata tidak hanya berkontribusi pada sektor energi, tetapi juga membuka peluang bagi masyarakat sekitar. Selama masa konstruksi, proyek itu menyerap tenaga kerja lokal hingga 1.800 orang. Bahkan, sebanyak 60 nelayan tradisional kini menjadi bagian dari tim pemeliharaan, setelah mendapatkan pelatihan dan sertifikasi. “Kami ingin masyarakat setempat merasakan langsung manfaat dari proyek ini,” kata Dimas.
Dari segi lingkungan, proyek ini tidak memerlukan penenggelaman lahan dan tidak menghasilkan emisi signifikan. Selain itu, keberadaan panel surya terapung turut membantu mengurangi laju penguapan air waduk, yang menjadi nilai tambah dalam konservasi sumber daya air.
Sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), PMSE juga mengadakan program pelatihan energi terbarukan, edukasi panel surya, serta pengembangan UMKM lokal. Forum komunikasi masyarakat pun dibentuk agar kebutuhan serta aspirasi warga dapat tersampaikan.
Masa Depan Energi Bersih di Indonesia
PLTS Cirata menjadi pionir dalam pemanfaatan energi surya terapung di Indonesia. PLN Nusantara Power bahkan telah membentuk PT Nusantara Renewables untuk mempercepat pengembangan proyek serupa di Jawa Timur, Sumatra, dan Kalimantan. Salah satu inovasi yang tengah dirancang adalah penyimpanan energi berbasis baterai (battery storage) guna meningkatkan keandalan sistem.
Dengan harga listrik kompetitif sekitar Rp900 per kWh, PLTS Cirata membuktikan bahwa energi terbarukan dapat diakses dengan biaya ekonomis. “Ini bukan sekadar proyek pembangkit listrik, tetapi simbol bahwa Indonesia mampu berinovasi dalam transisi energi bersih,” tegas Presiden Direktur PMSE, Dimas Kaharudin.
Dengan target mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, PLTS Cirata menjadi langkah nyata dalam mewujudkan masa depan energi yang lebih hijau bagi Indonesia.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap per Juli 2025 telah mencapai 538 MWp tersebar di 10.882 pelanggan PLN.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan pemerintah menargetkan kapasitas PLTS atap bisa mencapai 1 GW pada akhir tahun ini.
“Harapan kami pada tahun ini untuk PLTS atap ini bisa mencapai 1 GW untuk PLTS atap sendiri, di luar PLTS lain,” ujar Feby melalui keterangan resmi, usai media briefing di Jakarta, Selasa (2/9/2026).
Secara total, target kapasitas PLTS atap hingga tahun 2028 adalah 2 GW. Target itu tersebar di berbagai wilayah: Jawa, Madura, Bali (Jamali) sebesar 1.850 MW, Kalimantan 104 MW, Sumatera 95 MW, Sulawesi 17 MW, dan Maluku, Papua, Nusa Tenggara (Mapana) 7 MW
Selain PLTS atap, pemerintah juga telah menetapkan target untuk PLTS skala besar. Hingga tahun 2034, target kapasitas total PLTS terapung dan PLTS darat mencapai 17 GW.
Feby juga memaparkan potensi besar PLTS terapung yang mencapai 89,37 GW di 293 lokasi. Potensi ini mencakup 14,7 GW di 257 bendungan Kementerian PUPR dan 74,67 GW di 36 danau.
Feby menyebut saat ini beberapa proyek PLTS skala besar telah menunjukkan progres signifikan. Proyek-proyek seperti PLTS Terapung Saguling, Singkarak, dan Karangkates berada di tahap pra-konstruksi dengan total kapasitas 210 MW.
Sementara itu, PLTS Terapung Cirata di Jawa Barat telah beroperasi dengan kapasitas 145 MW.
Selain proyek-proyek skala besar, pemerintah juga mendorong pengembangan energi surya melalui program dedieselisasi, yang merupakan program untuk mengganti penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel dengan pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi terbarukan, seperti PLTS.
Pemerintah juga akan memanfaatkan dana APBN serta dana alokasi khusus untuk wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) untuk memastikan penyediaan energi bersih dan terbarukan di desa-desa terpencil.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2025 dapat mencapai 17 hingga 20 persen.
“Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, realisasi bauran EBT tahun lalu yang ditargetkan mencapai 19,5 persen hanya tercapai 14,68 persen,” kata Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Andriah Feby Misna, melalui keterangan resmi, Kamis (12/6/2025).
Feby mengakui bahwa upaya transisi energi dihadapkan pada sejumlah tantangan.
Salah satunya adalah infrastruktur transmisi di negara kepulauan seperti Indonesia, yang memerlukan pembangunan interkoneksi antarpulau untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan.
Menurutnya, saat ini banyak pembangkit EBT berada di wilayah dengan permintaan rendah, sementara daerah dengan permintaan tinggi justru memiliki potensi EBT yang rendah.
Tantangan lain meliputi perbaikan regulasi terkait pendanaan proyek EBT yang masih tergolong mahal dan sulit mendapatkan dukungan dari bank-bank konvensional.
Namun, Feby mengatakan pemerintah terus berupaya mendorong skema pendanaan inovatif, termasuk dari filantropi dan lembaga keuangan.
Selain itu, kesiapan industri dalam negeri juga menjadi perhatian serius, mengingat banyak komponen EBT yang masih harus diimpor. Terakhir, masalah penerimaan publik juga menjadi salah satu tantangan sosial yang perlu diatasi.
Hingga 2024, kapasitas EBT terpasang diperkirakan mencapai 14.800 MW.
Di sektor transportasi, pemerintah aktif mendorong pengembangan biofuel. Mandatori biodiesel yang berada di level B35 pada 2024, akan ditingkatkan menjadi B40 pada 2025.
Berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 2023, bangunan gedung yang menggunakan energi di atas 500 ton oil equivalent (TOE) kini wajib menerapkan manajemen energi. Demikian pula untuk sektor industri, pengguna energi di atas 4.000 TOE (sebelumnya 6.000 TOE) juga wajib menerapkan manajemen energi. Harapannya, kebijakan ini akan berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), target bauran EBT 23 persen dapat dicapai pada 2030 dan hingga 2045 ditargetkan proporsinya sebesar 46 persen.
Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, akan ada penambahan pembangkit EBT sebesar 42,5 GW dan pembangunan storage atau penyimpanan energi sebesar 10,2 GW hingga 2034.
Proyeksi penambahan kapasitas EBT berdasarkan jenisnya hingga 2030 mencakup PLTS sekitar 17 GW, PLTA 11,7 GW, hidro 11 GW, energi bayu sekitar 7 GW, serta pengembangan pembangkit lain seperti energi laut sekitar 40 MW.