Dengan portal perlindungan sosial nasional sebagai jantungnya, masyarakat kini bisa mendaftar secara langsung melalui smartphone, dengan otentikasi melalui Identitas Kependudukan Digital (IKD) dan face recognition. Tidak perlu menunggu musyawarah desa, tidak perlu mengandalkan tebakan. Kini, kebutuhan bisa dinyatakan—dengan wajah sendiri.
Di tengah gelora transformasi digital pemerintahan di tanah air, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tampil sebagai pelopor terdepan dalam perjalanan besar pemerintah menuju peningkatan akuntabilitas dan ketepatan sasaran bantuan sosial (bansos).
Seturut ditetapkan secara resmi sebagai lokasi utama pilot project digitalisasi perlindungan sosial nasional, Banyuwangi bukan sekadar menjadi laboratorium teknologi—tapi sebuah rumah bagi revolusi kecil yang berdampak besar pada rakyat kecil.
Proyek ini bukan sekadar pergantian sistem dari kertas ke layar. Ini adalah pergeseran paradigma: dari top-down menuju bottom-up, dari asumsi ke data nyata, dari birokrasi yang jauh ke pelayanan yang dekat.
Dengan portal perlindungan sosial nasional sebagai jantungnya, masyarakat kini bisa mendaftar secara langsung melalui smartphone, dengan otentikasi melalui Identitas Kependudukan Digital (IKD) dan face recognition. Tidak perlu menunggu musyawarah desa, tidak perlu mengandalkan tebakan. Kini, kebutuhan bisa dinyatakan—dengan wajah sendiri.
Namun, yang membuat sistem ini tidak sekadar canggih, tetapi juga manusiawi, adalah bagaimana ia mengakomodasi keterbatasan. Bagi warga tanpa ponsel pintar, mereka tidak ditinggalkan.
Di tengah kampung-kampung yang terpencil, muncul agen-agen perlinsos yang siap membantu—para pendamping PKH, tenaga sosial kesejahteraan kecamatan (TKSK), hingga kader Dasa Wisma. Mereka bukan lagi hanya penyalur, tapi detektif sosial yang tahu siapa yang sakit, siapa yang tanamannya gagal, siapa yang terpuruk secara ekonomi. Dengan 10 rumah tangga sebagai wilayah binaan, kader Dasa Wisma menjadi garda depan pendataan yang menggabungkan data teknis dan kearifan lokal.
“Mereka punya data per rumah tangga—dari pekerjaan, penyakit, sampai tanamannya. Ini penguat yang luar biasa,” ujar Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, dengan antusias.
Pendekatan ini justru menciptakan kepercayaan: rakyat merasa tidak diawasi, melainkan dibantu oleh orang yang mereka kenal dan percaya. Di sinilah teknologi dan kepedulian berjalan seiring, bukan bersaing.
Tidak mudah. Sistem ini masih dalam tahap uji coba, penuh tantangan: dari kegagalan verifikasi wajah, hingga akses internet terbatas, hingga tantangan digitalisasi di kalangan lansia.
Tapi semangat “modal nekat” yang dimiliki Banyuwangi—dan konsistensinya dalam membangun SPBE terbaik di Indonesia—menjadi penguat. Sebut saja Smart Kampung, sistem e-planning, hingga e-budgeting yang memungkinkan publik memantau anggaran secara real-time. Ini bukan sekadar infrastruktur digital, tapi kultur transparansi.
“Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) kita terbaik di Indonesia. Banyuwangi tidak membikin malu dalam hal pencapaian transformasi digital,” kata Budi Santoso, Kadiskominfo Banyuwangi—kata-kata yang terdengar bangga, sekaligus penuh tanggung jawab. Ia pun menyadari, meski predikat smart government belum diraih, keberhasilan ini bukan akhir, tapi awal.
Dengan dukungan dari Gugus Tugas Proyek Percontohan Keterpaduan Layanan Digital — yang melibatkan Kementerian Sosial, Bappenas, dan DPR RI — hasil uji coba Banyuwangi akan menjadi benchmark nasional. Mekanisme ideal antara agen dan warga, rasio akurasi data, dan model inklusivitas digital yang berkelanjutan sedang dipelajari dengan intensif. “Formulasinya masih kita uji. Inilah yang ingin kita cari: model yang paling adil dan tepat sasaran,” ujar Rahmat Danu Andika, Principal Govtech Expert dari Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
Di balik semuanya, sebuah visi besar terlihat jelas: teknologi bukan untuk menggantikan manusia, melainkan memperkuat manusia. Banyuwangi membuktikannya—bukan hanya dengan aplikasi, tapi dengan kehadiran nyata di desa-desa, di kampung-kampung, di hati warganya.
Dalam satu peta digital, Banyuwangi bukan sekadar titik koordinat. Ia adalah simbol: bahwa pembangunan digital yang sejati adalah yang merangkul, memahami, dan membawa semua orang—termasuk yang paling tertinggal—berjalan bersama.
Kini, seluruh negeri menatap ke Banyuwangi. Karena di sana, digitalisasi tidak hanya jadi kebutuhan, tapi menjadi harapan—untuk keadilan, untuk kepercayaan, dan untuk masa depan yang lebih adil bagi semua.
Penulis: Wahyu Sudoyo
Redaktur: Kristantyo Wisnubroto
Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/937739/banyuwangi-menjadi-ujung-tombak-digitalisasi-perlindungan-sosial-nasional