Indonesia.go.id - RUU Perampasan Aset: Instrumen Proaktif Pemulihan Aset Negara dari Koruptor

RUU Perampasan Aset: Instrumen Proaktif Pemulihan Aset Negara dari Koruptor

  • Administrator
  • Rabu, 17 September 2025 | 15:17 WIB
PERAMPASAN ASET
  Ilustrasi pembahasan RUU Perampasan Aset dengan kecerdasan buatan.(InfoPublik/Agus Siswanto)
Dengan memperkuat akuntabilitas dan transparansi, legislasi ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kokoh bagi upaya pemberantasan korupsi yang lebih efektif dan berkeadilan di Indonesia.

Ungkapan klasik dari sejarawan dan politisi asal Inggris Lord Acton pada abad ke-19, "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” atau “kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut sudah pasti korup,” masih menjadi realita yang harus diatasi.

Sebagian besar negara di dunia masih berkutat mencara cara memberantas praktik koruptif yang efektif termasuk Indonesia. Produk-produk hukum sudah banyak yang dibuat namun di rasa belum efektif, karena memerlukan peraturan lain yang mendukung.

Salah satunya dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, karena RUU itu bertujuan untuk mengatasi korupsi dengan memperkuat instrumen perampasan aset, terutama aset yang diduga hasil kejahatan seperti korupsi dan pencucian uang, tanpa harus menunggu vonis pengadilan terlebih dahulu. 

Regulasi itu juga  diperlukan untuk mengimbangi kekuasaan pelaku korupsi yang dapat menyalahgunakan posisi dan kekayaan mereka untuk menghambat penegakan hukum, sehingga RUU Perampasan Aset menjadi alat strategis untuk memulihkan kerugian negara dan menciptakan efek jera. 

Pentingnya regulasi itu  juga tergambar dari sejumlah kasus perampasan aset koruptor besar di tingkat internasional.

Pentingnya regulasi itu juga tercermin dari sejumlah kasus internasional, seperti kasus Sani Abacha di Nigeria yang berhasil memulihkan miliaran dolar aset negara yang disembunyikan di berbagai yurisdiksi, serta kasus Viktor Yanukovych di Ukraina yang menunjukkan kompleksitas pelacakan dan pemulihan aset korupsi lintas negara.

Pengalaman internasional membuktikan bahwa tanpa instrumen hukum yang kuat, upaya pemulihan aset sering terhambat oleh kerumitan birokrasi dan kurangnya kerja sama internasional.

Berikut adalah beberapa kasus perampasan aset koruptor terbesar di luar negeri, dikutip dari berbagai sumber.

Kasus Sani Abacha (Nigeria)

Mantan Presiden Nigeria (1993–1998), , Sani Abacha. menggelapkan dana negara sekitar USD3–5 miliar. Dana itu disembunyikan di rekening bank di berbagai negara, termasuk Swiss, Luksemburg, dan Kepulauan Cayman, melalui perusahaan cangkang dan pencucian uang.

Setelah kematian Abacha pada 1998, pemerintah Nigeria bekerja sama dengan otoritas internasional untuk memulihkan aset.

Pada 2014, Departemen Kehakiman AS membekukan lebih dari USD458 juta aset Abacha. Pada 2019, Jersey (Inggris) mengembalikan USD268 juta ke Nigeria melalui dana pemulihan aset. Hingga kini, upaya pemulihan masih berlangsung, dengan total aset yang dipulihkan mencapai miliaran dolar.

Kasus Viktor Yanukovych (Ukraina)

Mantan Presiden Ukraina, Viktor Yanukovych, (digulingkan pada 2014) diduga menggelapkan dana negara hingga USD40 miliar melalui jaringan perusahaan cangkang. Dana ini disimpan di berbagai negara, termasuk Rusia dan yurisdiksi luar negeri lainnya.

Pemerintah Ukraina hanya berhasil memulihkan sekitar USD1,5 miliar dari aset yang disembunyikan di luar negeri. Proses pemulihan terhambat karena kompleksitas pelacakan aset dan kerja sama internasional yang terbatas.

Kasus Ben Ali (Tunisia)

Mantan Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali, (1987–2011) dan keluarganya mengumpulkan kekayaan sekitar USD13 miliar dengan memonopoli berbagai sektor industri. Aset ini disimpan di luar negeri, termasuk di Eropa dan Timur Tengah.

Setelah Ben Ali digulingkan pada 2011, pemerintah Tunisia menyita dan melelang aset keluarganya di luar negeri. Namun, jumlah pasti aset yang dipulihkan tidak disebutkan secara rinci, meskipun upaya ini melibatkan kerja sama internasional.

Kasus Siemens (Jerman)

Siemens AG, perusahaan teknologi Jerman, terlibat dalam skandal suap global sejak 1990-an, membayar sekitar USD1,4 miliar kepada pejabat di berbagai negara untuk memenangkan kontrak. Dana ini mengalir melalui rekening luar negeri.

Pada 2008, Siemens dijatuhi denda sebesar USD1,6 miliar oleh otoritas AS dan Jerman setelah penyelidikan internasional. Aset terkait suap di luar negeri disita sebagai bagian dari sanksi. Kasus ini menunjukkan upaya pemulihan aset lintas negara.

Kasus Keluarga Gupta (Afrika Selatan)

Keluarga Gupta, pengusaha asal India di Afrika Selatan, terlibat dalam skandal “State Capture,” memanipulasi keputusan pemerintah untuk keuntungan pribadi. Aset mereka, termasuk yang disimpan di luar negeri, menjadi target penyelidikan.

Komisi Zondo (dibentuk untuk menyelidiki korupsi) merekomendasikan penyitaan aset Gupta di luar negeri. Namun, jumlah aset yang berhasil dipulihkan belum diungkap secara spesifik karena proses hukum masih berlangsung
 
RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menginisiasi penguatan kerangka hukum pemberantasan korupsi melalui Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset). RUU itu telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025–2026.

RUU itu dirancang sebagai instrumen proaktif untuk menyita aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang, bahkan sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Mekanisme in rem forfeiture ini diharapkan dapat memutus siklus penyalahgunaan kekuasaan dan kekayaan yang sering menghambat proses penegakan hukum.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menkumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset merupakan hukum acara pidana khusus yang pembahasannya akan dilakukan secara simultan dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memastikan kesinkronan antara ketentuan umum dan khusus.

“Tidak boleh yang khusus ini menabrak yang umum. Karena itu memang harus dibahas, mungkin bisa dibahas simultan,” ujar Yusril melalui keterangan resmi, Kamis (11/9/2025).

Dia meminta semua pihak agar meyakini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki komitmen untuk membahas RUU Perampasan Aset dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Yusril menuturkan berdasarkan laporan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, RUU Perampasan Aset telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025-2026.

Ia menjelaskan, draf RUU Perampasan Aset sudah rampung sejak diinisiasi oleh pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, yang diikuti dengan surat presiden (supres) penunjukan mantan Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md dan mantan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly sebagai perwakilan pemerintah untuk membahas RUU tersebut.

Tetapi lantaran adanya pergantian pemerintahan, kata Menko, maka draf RUU yang diajukan pemerintah tersebut ditunda untuk didiskusikan bersama DPR untuk memastikan naskah itu akan tetap dipakai atau ditarik oleh pemerintah yang baru dan DPR.

"Pembicaraan di DPR sekarang ini cenderung ke arah bahwa DPR akan mengajukan naskah RUU Perampasan Aset yang baru," ujarnya.

Kendati demikian, terdapat kemungkinan DPR akan mengajukan draf RUU Perampasan Aset dan membahasnya setelah pembahasan RUU KUHAP selesai.

Adapun pembahasan RUU KUHAP ditargetkan rampung pada akhir tahun 2025 agar tidak menghambat implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan dilaksanakan pada 2 Januari 2026.

Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, menyatakan kesiapan DPR untuk membahas RUU itu secara paralel dengan RUU KUHAP. “Itu teknis. Bisa paralel atau apa yang didahulukan, mana yang perlu diselesaikan,” kata Nasir melalui keterangan resmi, Rabu (10/7/2025).

Target penyelesaian RUU KUHAP pada akhir 2025 diharapkan tidak menghambat implementasi KUHP baru pada 2 Januari 2026, sekaligus membuka jalan bagi pengesahan RUU Perampasan Aset.

Keberadaan RUU Perampasan Aset tidak hanya dimaksudkan untuk memulihkan kerugian finansial negara, tetapi juga menciptakan efek jera yang signifikan bagi pelaku korupsi.

Dengan memperkuat akuntabilitas dan transparansi, legislasi ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kokoh bagi upaya pemberantasan korupsi yang lebih efektif dan berkeadilan di Indonesia.

 

Penulis: Eko Budiono
Redaktur: Untung S

Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-politik-hukum/937692/ruu-perampasan-aset-instrumen-proaktif-pemulihan-aset-negara-dari-koruptor