Indonesia.go.id - Kolaborasi Lintas Iman Jadi Harapan Baru Menyelamatkan Lingkungan

Kolaborasi Lintas Iman Jadi Harapan Baru Menyelamatkan Lingkungan

  • Administrator
  • Selasa, 30 September 2025 | 11:22 WIB
PEDULI LINGKUNGAN
  Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq (tengah) memungut sampah di dekat area persawahan Desa Teluk Terate, Kabupaten Serang, Banten, Sabtu (20/9/2025). Gotong royong yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup bersama masyarakat tersebut dalam rangka memperingati World Cleanup Day untuk mengedukasi warga agar memiliki kesadaran kebersihan dan merawat lingkungan dari sampah. (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/rwa)
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terus berkolaborasi dengan para tokoh agama dan masyarakat untuk mendorong perbaikan tata kelola lingkungan di Indonesia termasuk masukan mengenai kegiatan ekstraktif.

Bapak Bangsa India, Mahatma Gandhi pernah menyatakan: There is enough on this earth for everyone's need but for no one's greed yang artinya bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak semua keserakahan setiap manusia. Kalimat itu bukan sekadar kutipan, melainkan kenyataan yang kini kita saksikan di Indonesia.

Gandhi ingin menegaskan bahwa sumber daya alam yang ada di bumi sebenarnya cukup untuk mencukupi kebutuhan dasar seluruh manusia—makanan, air, tempat tinggal, dan kebutuhan hidup lainnya. Namun, masalah muncul ketika manusia menjadi serakah, mengambil lebih dari yang mereka butuhkan. Keserakahan inilah yang menyebabkan kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, dan penderitaan sosial.

Indonesia, negeri dengan kekayaan hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil, kini menghadapi tantangan serius dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Dari deforestasi di Kalimantan hingga pencemaran udara di Jakarta, isu lingkungan hidup semakin mendesak di tengah ambisi pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi.

Pada 2024 luas tutupan hutan Indonesia masih sekitar 88,4 juta hektare. Namun, laju deforestasi, meski menurun dibanding dekade sebelumnya, tetap menjadi ancaman. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pertambangan, serta pembangunan infrastruktur masih menyumbang kehilangan hutan di berbagai wilayah, terutama Papua dan Kalimantan.

Para aktivis lingkungan memperingatkan, jika tidak ada pengawasan ketat, target Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060 bisa sulit diwujudkan. “Hutan adalah paru-paru dunia, kehilangan sedikit saja akan berdampak besar terhadap iklim global,” ujar Direktur WALHI, Zenzi Suhadi.

Di kawasan perkotaan, terutama Jakarta dan sekitarnya, polusi udara telah menjadi isu krusial. Indeks kualitas udara (AQI) Jakarta kerap masuk jajaran terburuk di dunia, dipicu oleh emisi kendaraan bermotor, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, serta aktivitas industri.

Data IQAir 2025 mencatat rata-rata konsentrasi PM 2.5 di Jakarta mencapai level tidak sehat, jauh di atas standar aman WHO. Kondisi ini memicu peningkatan risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular, yang membebani sistem kesehatan publik.

Keresahan Masyarakat

Setiap pagi, Siti Rahma (34) harus menyiapkan masker khusus untuk anaknya sebelum berangkat sekolah. Bukan karena pandemi, melainkan karena udara Jakarta yang kian penuh polusi. “Kalau lupa pakai masker, anak saya gampang batuk-batuk,” katanya sambil menunggu bus di kawasan Rawamangun.

Cerita Siti adalah potret kecil dari tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menjaga lingkungan hidup. Dari udara kotor di kota besar hingga laut yang penuh sampah plastik, alam negeri ini sedang menanggung beban berat pembangunan.

Ribuan kilometer dari Jakarta, di pedalaman Kalimantan, Budi (46), seorang petani karet, mengaku resah. Ia melihat pepohonan di sekitar desanya kian menipis. “Dulu kami bisa masuk hutan untuk mencari rotan atau madu. Sekarang sudah jadi jalan logging dan perkebunan sawit,” ujarnya.

Di kota besar, polusi udara menjadi ancaman senyap. Kualitas udara Jakarta kerap berada di level tidak sehat. Dampaknya terasa nyata bagi warga seperti Siti: kesehatan keluarga terganggu, biaya pengobatan meningkat, dan kualitas hidup menurun.

“Bukan hanya di Jakarta, banyak kota industri di Jawa dan Sumatera juga mengalami hal serupa,” kata Dr. Rini, pakar kesehatan lingkungan dari Universitas Indonesia. Ia mengingatkan, anak-anak adalah kelompok paling rentan terhadap polusi udara.

Di pesisir Makassar, Abdullah (39), seorang nelayan kecil, kerap kecewa dengan hasil tangkapannya. Jaringnya tak hanya penuh ikan, tetapi juga plastik. “Kadang lebih banyak plastik daripada ikan. Laut ini sudah sakit,” keluhnya.

Indonesia memang tercatat sebagai penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia. Pemerintah menargetkan pengurangan 70 persen sampah plastik laut pada 2025, tapi kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan.

Kebijakan pembatasan plastik sekali pakai di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Denpasar, menjadi langkah awal. Namun, kesadaran masyarakat untuk memilah sampah dan memperkuat daur ulang masih rendah.

Upaya Kolaboratif

Krisis lingkungan kini tidak lagi sekadar isu ekologi, melainkan krisis kemanusiaan yang berdampak langsung pada kesehatan dan kehidupan masyarakat. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menegaskan pentingnya peran tokoh agama, adat, dan masyarakat dalam membangun kesadaran kolektif menjaga bumi sebagai warisan generasi mendatang.

Diskusi lintas agama dan tokoh masyarakat bertajuk “Kolaborasi Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat dalam Mendorong Kepedulian Lingkungan” pada Senin (22/9/2025) mempertemukan pemimpin agama, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil. Forum ini menjadi sarana peningkatan kapasitas bersama untuk memperkuat kepemimpinan moral dalam mendorong perubahan perilaku ramah lingkungan.

“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Kepemimpinan dan masukan dari tokoh agama serta masyarakat sangat dibutuhkan agar gerakan perlindungan lingkungan lebih berdampak luas,” kata Menteri LH/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq dalam dialog bersama tokoh agama dan masyarakat di Jakarta, Senin (22/9/2025).

Ia menambahkan, forum ini juga dirancang untuk memperkuat kapasitas masyarakat agar mampu mengubah kesadaran menjadi aksi nyata.

Menteri Hanif menekankan bahwa tokoh agama dan tokoh masyarakat memiliki peran strategis dalam menggerakkan kesadaran kolektif. Dengan pengaruh moral dan sosial yang mereka miliki, kedua elemen ini dapat menjadi pendorong kuat bagi perubahan perilaku masyarakat menuju pola hidup yang lebih ramah lingkungan. Ia menilai, kolaborasi lintas peran ini akan memperkuat langkah pemerintah dalam menghadapi krisis lingkungan sekaligus menjaga keberlanjutan hidup generasi mendatang.

Indonesia menghadapi tantangan serius. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 2024 tercatat 73,53 atau “cukup baik”, namun 150 daerah masih di bawah skor 65. Dari 56,63 juta ton sampah per tahun, sekitar 34,54 juta ton belum terkelola, sementara 343 kabupaten/kota masih melakukan pembuangan terbuka. Di sisi lain, deforestasi 2023 mencapai 175 ribu hektar, dan emisi gas rumah kaca tembus 1,8 miliar ton CO₂e pada 2022.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terus berkolaborasi dengan para tokoh agama dan masyarakat untuk mendorong perbaikan tata kelola lingkungan di Indonesia termasuk masukan mengenai kegiatan ekstraktif.

Wakil Menteri LH, Diaz Hendropriyono menegaskan bahwa krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang sudah dirasakan hari ini. "Data menunjukkan 2024 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat. Di Kuwait suhu mencapai 51°C, sementara di Indonesia NTT menembus 38,4°C,” kata Diaz.

Diaz menekankan, kenaikan suhu global bukan akibat siklus alamiah, melainkan dampak langsung aktivitas manusia. "Climate Central menyebut panas ekstrem di kota-kota Indonesia bukan karena gunung berapi atau siklus matahari, tetapi karena ulah manusia," ujarnya.

Menurut studi internasional dan kementerian terkait, ribuan pulau di Indonesia berisiko tenggelam akibat kenaikan permukaan laut. "Mau 29, 115, atau 2.000 pulau, intinya kita bisa kehilangan daratan. Padahal hanya 0,000 sekian persen permukaan bumi yang layak ditinggali," jelas Diaz.

Diaz mengingatkan, ketersediaan air bersih juga kian mengkhawatirkan. Dari seluruh air di bumi, hanya 3 persen yang bisa dikonsumsi. Itu pun sebagian besar tersimpan di kutub. "Air yang benar-benar bisa kita gunakan sangat terbatas, sementara sungai dan danau semakin tercemar," tegasnya.

Menurut Diaz, sampah, khususnya food waste, turut menyumbang emisi gas rumah kaca. "Satu ton sampah bisa menghasilkan 1,7 ton CO₂. Kalau makanan tidak habis, ujungnya bisa menambah global warming," katanya.

Karena itu, pemerintah menargetkan pengelolaan sampah 100 persen pada 2029. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen menurunkan emisi hingga 43,2 persen pada 2030 sesuai Paris Agreement.

Merujuk survei Purpose Climate Lab dan YouGov, Diaz menyebut ulama dan tokoh agama memiliki pengaruh paling kuat dalam menyuarakan isu iklim. "Ulama ada di posisi pertama, di atas aktivis lingkungan, Presiden, maupun kementerian. Bahkan lebih tinggi daripada ilmuwan, influencer, atau jurnalis," ungkapnya.

Dia memberikan apresiasi atas inisiatif eco-pesantren, eco-vihara, dan eco-church yang telah lahir di Indonesia. Menurutnya, pesan-pesan agama sangat relevan untuk menggerakkan umat.

"Dalam Islam, menanam pohon dianggap amal jariyah. Dalam Kristen, Genesis 2:15 memerintahkan manusia menjaga Taman Eden. Semua agama mengajarkan hal yang sama: menjaga bumi," tuturnya.

Diaz juga menyinggung peran sungai sebagai pusat peradaban sejak Mesopotamia hingga Sriwijaya. "Peradaban tidak pernah lepas dari sungai. Tapi hari ini, kita justru membuang sampah ke sungai. Itu sama saja bunuh diri," ucap Diaz.

KLH/BPLH menargetkan pengelolaan sampah 100 persen pada 2029 melalui ekonomi sirkular, dengan program seperti pengurangan plastik sekali pakai, bank sampah, dan energi terbarukan.

Peran Tokoh Agama 

Tokoh agama Din Syamsuddin mengapresiasi langkah ini. “Pertemuan ini momentum penting untuk memperkuat kerja bersama demi kelestarian lingkungan. Kolaborasi lintas iman harus terus diperluas, termasuk melibatkan dunia usaha,” tutupnya.

Para tokoh lintas agama menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah panggilan moral dan spiritual. Pendeta Johan Kristantara menekankan gereja harus menjadi pelopor kepedulian ekologis, sementara Romo Ferry Sutrisna mengaitkan ajaran Laudato Si sebagai panduan umat Katolik dalam memandang bumi sebagai rumah bersama.

Dari sisi umat Buddha, Prof. Philip Kuntjoro menekankan pentingnya kepedulian yang tertanam dalam perilaku sehari-hari, seperti program Eco Vihara dan pemilahan sampah. Tokoh Hindu, Astoro Chandra Dana, menambahkan bahwa tradisi Nyepi dapat menjadi inspirasi global karena tidak hanya ritual, tetapi juga praktik nyata penghematan energi dan penghormatan pada alam.

Sementara itu, Prof. Bagus Muljadi menyoroti bahwa krisis ekologis juga merupakan krisis moral yang berakar pada warisan kolonial berupa paradigma eksploitasi alam. Menurutnya, sudah saatnya membangun etika lingkungan baru yang menghubungkan sains, sejarah, dan kearifan lokal. Ia menegaskan bahwa menjaga lingkungan harus dipandang sebagai tindakan mulia, sejalan dengan semangat lintas iman untuk menumbuhkan kolaborasi hijau dan menempatkan keberlanjutan alam sebagai bagian penting dari kehidupan bersama.

Kondisi lingkungan hidup Indonesia saat ini adalah cermin dari dilema klasik: mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa merusak alam. Pemerintah memiliki target ambisius, mulai dari pengurangan emisi karbon hingga perlindungan keanekaragaman hayati. Namun, pencapaian target itu memerlukan sinergi kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

Kisah Siti, Budi, dan Abdullah hanyalah sebagian kecil dari wajah nyata krisis lingkungan di Indonesia. Di balik angka-angka statistik, ada manusia yang hidup, bernapas, dan berjuang.

Pertanyaan yang tersisa adalah: akankah Indonesia mampu menyeimbangkan ambisi ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan? Jawabannya akan sangat menentukan masa depan generasi berikutnya.

Forum yang diselenggarakan KLH tersebut diharapkan melahirkan jaringan tokoh agama dan masyarakat peduli lingkungan di berbagai daerah. Jaringan ini akan menjadi motor penggerak kampanye perubahan perilaku, penguatan gotong royong, dan kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan pentahelix yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat, dan media.

Dengan langkah ini, kolaborasi lintas iman dan masyarakat diharapkan menjadi kekuatan nyata dalam menghadapi krisis iklim global dan membuat kondisi lingkungan hidup menjadi lebih baik.

 

Penulis: Ismadi Amrin
Redaktur: Kristantyo Wisnubroto

Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/939029/kolaborasi-lintas-iman-jadi-harapan-baru-menyelamatkan-lingkungan