Penyandang Disabilitas memiliki kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas, sesuai UndangUndang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Penyandang Disabilitas memiliki kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Namun dalam praktiknya sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, pembatasan, hambatan, kesulitan dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas.
Untuk itu, negara perlu menjamin kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas dengan mewujudkan keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan aspirasi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.
Di bidang penyelenggaraan informasi dan komunikasi publik, Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 juga menjamin hak penyandang disabilitas untuk berekpresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 5 dan 24 dalam UU No. 8 tahun 2016 menyatakan Penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi, meliputi hak: memiliki kebebasan berekpresi dan berpendapat; mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses; menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menegaskan komitmennya untuk menghadirkan layanan komunikasi publik yang inklusif, andal, dan responsif bagi seluruh warga negara, termasuk penyandang disabilitas.
Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang menjamin hak penyandang disabilitas untuk memperoleh informasi melalui media yang mudah diakses.
Demikian disampaikan Direktur Informasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nursodik Gunarjo di Padang, Sumatra Barat, Selasa (30/9/2025).
Nursodik menambahkan, Komdigi mendorong peningkatan kapasitas aparatur agar mampu menyediakan akses komunikasi yang setara bagi semua lapisan masyarakat.
Pentingnya aksesibilitas komunikasi bagi penyandang disabilitas dalam UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas berkaitan erat dengan visi Indonesia Emas 2045, yakni gagasan yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat, adil, dan makmur di tahun 2045.
Untuk mewujudkan Indonesia Emas, perlu dipastikan bahwa setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya negara ini.
"Dengan memastikan aksesibilitas komunikasi yang baik bagi penyandang disabilitas, kita menciptakan lingkungan yang inklusif di mana mereka dapat mengakses informasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dengan mudah," kata Gunarjo.
Hal tersebut memberikan mereka peluang yang lebih besar untuk mengembangkan potensi mereka, berkontribusi dalam berbagai sektor, dan memperoleh kesejahteraan yang setara dengan masyarakat lainnya.
"Hal Ini juga membawa kita menuju masyarakat yang lebih toleran, inklusif, dan berkeadilan. Keberhasilan pembangunan tidak dapat diukur hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga melibatkan pemberdayaan seluruh elemen masyarakat," ujar Direktur Informasi Publik Kemkomdigi.
Akses yang Setara
Demikian juga disampaikan dalam acara Bimbingan Teknis Kebijakan Layanan Komunikasi dan Informasi Publik Berbasis Digital (LKIPD) bagi Penyandang Disabilitas dalam Mendukung Program Prioritas Nasional di LPP RRI Padang, Kota Padang, Sumatra Barat, Selasa (30/9/2025).
“Setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas, berhak mendapatkan akses informasi yang setara, mudah, dan inklusif,” ujar Mulyani selaku Ketua Tim Penyusun Kebijakan dan Standardisasi Informasi Publik, Direktorat Informasi publik, Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Kemkomdigi).
Mulyani memaparkan, Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Komdigi tentang LKIPD bagi penyandang disabilitas mencakup empat ruang lingkup utama, yakni: Penerapan standar aksesibilitas; Penyediaan mekanisme pengaduan; Pembinaan, pengawasan, dan pemberian penghargaan; Partisipasi penyandang disabilitas dan masyarakat.
Selain itu, lanjutnya, instansi pemerintah diwajibkan menerapkan standar aksesibilitas layanan digital yang terindrakan, teroperasikan, dapat dipahami, dan andal. Standar ini dibagi dalam tiga tingkat kepatuhan: dasar (A), menengah (AA), dan kompleks (AAA).
"Penyandang disabilitas yang mengalami hambatan dalam mengakses layanan dapat mengajukan pengaduan melalui kanal SP4N Lapor. Kanal aduan ini harus dirancang agar ramah dan mudah digunakan oleh seluruh ragam disabilitas," kata Mulyani.
Pembinaan, Pengawasan, dan Penghargaan
Ditambahkannya, Kementerian Komdigi bersama pemerintah daerah akan melakukan pembinaan terhadap instansi pusat maupun daerah terkait penerapan standar aksesibilitas. Bentuk pembinaan meliputi fasilitasi, bimbingan teknis, hingga pelatihan.
"Pengawasan dilakukan untuk memastikan pengaduan ditangani dengan baik, sementara penghargaan akan diberikan kepada instansi pemerintah yang ramah disabilitas serta yang paling cepat dan efektif menyelesaikan pengaduan," ujar Ketua Tim Penyusun Kebijakan dan Standardisasi Informasi Publik.
Mulyani menuturkan, kebijakan ini juga menekankan pentingnya partisipasi penyandang disabilitas. Mereka difasilitasi untuk memberikan masukan, saran, dan evaluasi terkait penerapan standar aksesibilitas di instansi pemerintah.
Dengan adanya kebijakan LKIPD ini, pemerintah berharap terwujudnya layanan komunikasi publik yang setara, inklusif, dan bebas hambatan. “Kami ingin memastikan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang tertinggal dalam akses terhadap informasi,” tegas Mulyani.
Praktik Baik
Bagaimana wujud akses bagi penyandang disabilitas tersebut? Upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam mewujudkan kota yang inklusif sesuai UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini diimplementasikan melalui Perda DKI Jakarta No. 4 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Setelah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, Pemprov DKI kini fokus menghadirkan layanan informasi publik yang ramah bagi semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas.
Hal itu disampaikan Ryan Aldiansyah Akbar selaku Perwakilan Dinas Komunikasi, Informasi dan Statistik (Diskominfotik) Pemprov DKI Jakarta.
Dalam Perda tersebut, lanjut Ryan, tepatnya Pasal 111 ayat (2), ditegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan laman resmi yang dapat diakses penyandang disabilitas. Aturan ini menjadi dasar bagi setiap perangkat daerah untuk menyesuaikan layanan digitalnya agar tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal dalam memperoleh informasi.
“Pesannya sudah jelas. Pemerintah daerah harus memastikan website maupun aplikasi yang disediakan bisa diakses oleh penyandang disabilitas,” ujar Ryan.
Dijelaskannya, saat ini, banyak orang masih mengenal disabilitas hanya sebatas tuna netra, tuna rungu, atau tuna daksa. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, klasifikasi disabilitas jauh lebih luas.
Dalam UU No.8/2016 terdapat empat kategori utama. Pertama, disabilitas sensorik (tuna netra, tuna rungu, tuna wicara). Kedua, disabilitas fisik (hambatan gerak, amputasi, cerebral palsy).
Ketiga, disabilitas intelektual (hambatan perkembangan, down syndroe). Keempat, disabilitas mental (gangguan jiwa, autisme, skizofrenia).
Ryan menambahkan, keragaman inilah yang membuat kebutuhan akan layanan publik yang inklusif semakin mendesak. Bukan hanya akses visual, tetapi juga dukungan audio, bahasa isyarat, hingga fitur interaktif lain yang dapat membantu kelompok disabilitas dalam memperoleh informasi dengan mudah.
Sebagai langkah awal, lanjut Ryan, Diskominfotik DKI Jakarta memprioritaskan pengembangan aksesibilitas pada website utama Pemprov Jakarta. Website ini menjadi wajah digital pemerintah daerah yang banyak diakses masyarakat.
“Jakarta memiliki ratusan website karena jumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang besar. Kami fokus dulu di portal utama Pemprov agar benar-benar ramah disabilitas,” jelasnya.
Meski demikian, Ryan mengatakan, upaya serupa juga mulai diterapkan secara bertahap di berbagai OPD. "Hingga saat ini, lebih dari 90 persen website OPD di Jakarta telah disesuaikan dengan standar ramah disabilitas," ungkapnya.
Langkah Pemprov DKI Jakarta ini mendapat perhatian karena sejalan dengan semangat menjadikan Jakarta sebagai kota yang inklusif. Dengan ketersediaan website dan aplikasi yang ramah disabilitas, diharapkan penyandang disabilitas tidak lagi menghadapi hambatan dalam memperoleh informasi publik, mulai dari layanan administrasi hingga kebijakan pemerintah.
Lebih jauh, implementasi ini diharapkan menjadi contoh bagi daerah lain dalam memperkuat penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
“Inklusivitas bukan hanya jargon, tapi tanggung jawab bersama. Akses informasi publik adalah salah satu kuncinya,” tegas Ryan.
Menuju Layanan Digital Inklusif
Sejumlah layanan digital pemerintah telah tersedia secara online dalam bentuk website maupun aplikasi mobile. Keberadaan layanan digital menjadikan pelayanan pemerintah lebih inklusif.
Namun, layanan digital pemerintah yang tersedia tidak sepenuhnya aksesibel bagi semua kalangan, misalnya tidak mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Pemerintah pun menegaskan komitmennya dalam menyediakan layanan komunikasi dan informasi publik berbasis digital yang ramah bagi penyandang disabilitas, seperti melalui website.
Kebijakan tersebut merupakan tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Direktur Aksesibilitas Suarise, Rahma Utami mengatakan secara global sudah ada pedoman atau standardisasi internasional untuk membuat website yang ramah bagi penyandang disabilitas. Standardisasi internasional itu adalah ISO/IEC 40500:2025. Ini merupakan standar teknis terbaru yang mengadopsi Panduan Aksesibilitas Konten Web (WCAG) 2.2 dari World Wide Web Consortium (W3C).
"Standar ini berisi rekomendasi untuk membuat konten web lebih mudah diakses oleh orang-orang dengan berbagai disabilitas, serta oleh pengguna lanjut usia, sehingga meningkatkan kegunaan web secara umum," kata Rahma dalam acara Bimbingan Teknis Kebijakan Layanan Komunikasi dan Informasi Publik Berbasis Digital (LKIPD) bagi Penyandang Disabilitas dalam Mendukung Program Prioritas Nasional di LPP RRI Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (30/9/2025).
Rahma Utami menjelaskan, di Indonesia, untuk ranah privat, sejauh ini belum ada website yang menjadi benchmark dari implementasi WCAG. "Kalau yang 100 persen sudah mengimplementasikan WCAG belum ada, tapi kalau yang berproses untuk itu contohnya ada website Suarise atau ada juga website Panduan WACG, tapi ini hanya contoh, bukan benchmark," jelas Rahma.
Rahma menegaskan, dalam membuat website atau aplikasi yang 100 persen dapat diakses oleh penyandang disabilitas itu sifatnya maraton. "Artinya kita harus latihan, lari kecil-kecil dulu, baru bisa lari yang jauh untuk jangka panjang. Jadi yang penting, pertama itu adalah mulai saja dulu," pungkasnya.
Penulis: Ismadi Amrin
Redaktur: Kristantyo Wisnubroto
Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/940875/inklusivitas-bukan-sekadar-janji-merangkai-ruang-digital-yang-bisa-diakses-semua