Indonesia.go.id - Era Baru Pengusahaan Hutan

Era Baru Pengusahaan Hutan

  • Administrator
  • Senin, 5 Juli 2021 | 08:41 WIB
KEHUTANAN
  Hutan di Kalukku, Mamuju, Sulawesi Barat. ANTARA FOTO/ Akbar Tado
Usaha ekstraksi kayu hutan mulai ditinggalkan. Pada era baru pascakayu, kerumitan laten karena banyak hak dan banyak pihak terlibat, diurai tanpa mengorbankan fungsi dan konservasi hutan.

Membabat hutan, menebang pohon lantas menjual kayunya, sudah bukan pilihan yang diharapkan. Ekstrasi kayu dianggap merusak. Pengusahaan kawasan hutan perlu pendekatan baru, yakni pengusahaan hutan pascakayu. Tema itulah yang dipilih Dewan Kehutanan Nasional (DKN) bersama Wana Aksara Institute untuk menggelar serial webinar dalam rangka ulang tahun ke-60 Presiden Joko Widodo.  

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang membuka serial webinar itu mengaku bersyukur bahwa Presiden RI saat ini adalah seorang rimbawan, sebutan untuk sarjana kehutanan. Joko Widodo ialah alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Secara khusus, Menteri Siti Nurbaya menyebut Presiden Jokowi sangat peduli dengan urusan hutan.  

"Presiden kita seorang Rimbawan, dan hal itu menguatkan harapan akan munculnya era baru, yang akan  mengubah pola-pola pembangunan kehutanan konvensional,” kata Menteri Siti Nurbaya, saat membuka webinar, Senin (28/6/2021). Pola lama, konvensional, yang berorientasi hanya pada ekstraksi kayu, dan berlangsung puluhan tahun, telah menimbulkan bebagai masalah, baik ekologis maupun sosial kemasyarakatannya.     

Era baru yang nonkonvensional dan nonekstraktif itu, menurut Siti Nurbaya, adalah era kehutanan pascakayu yang berpedoman pada forest landscaspe management, yakni suatu tata kelola kawasan hutan yang menekankan keharmonisan penggunaan lahan dengan memperhatikan fungsi ekologis dan keragaman hayatinya.

"Makna utamanya adalah bahwa kebijakan dan agenda kerja kehutanan pascakayu komit terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup,” Menteri LHK menambahkan. Fungsi yang dimaksud, menurut Siti Nurbaya pula, adalah kelestarian daerah aliran sungai (DAS), semakin ditekankannya konservasi tanah dan air, terjaganya fungsi ekologis  gambut (FEG), kawasan hidrologis gambut, hutan bakau, terjaganya konservasi spesies liar, serta koridor lansekap guna menjaga kekayaan mega biodiversity Indonesia.

Upaya mewujudkan ideologi kehutanan pascakayu itu diyakininya akan membentuk pembangunan kehutanan yang berkeadilan sekaligus memeratakan distribusi penguasaan sumber daya hutan bagi masyarakat. Aktualisasinya melalui kebijakan dan program perhutanan sosial yang bisa  menopang pengembangan sosial, ekonomi, dan kelembagaan usaha.

"Presiden Joko Widodo melalui Program Nawa Cita telah melakukan langkah korektif. Mengubah dan menjadikan keberpihakan kepada rakyat lebih mengemuka, dan diaktualisasikan," Menteri Siti menambahkan.

Pengembangan kehutanan pascakayu juga merupakan era kehutanan yang akan menjadi salah satu pilar bagi terwujudnya berbagai target pembangunan nasional maupun global. Sebut saja, misalnya, sustainable development goal’s (SDG’s) yang dicanangkan PBB, pembangunan rendah emisi (low emission development), pemenuhan nationally determined contribution (NDC), kemandirian energi yang bersumber kepada Energi Baru Terbarukan (EBT), kedaulatan pangan, dan serta program strategis nasional lainnya.

Lebih jauh Menteri Siti Nurbaya mengatakan, setelah tujuh tahun Presiden Jokowi menggabungkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan, menjadi KLHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terlihat bahwa cara pandang Presiden Joko Widodo ialah sebagai seorang Rimbawan.

Siti Nurbaya menilai, Presiden Jokowi dapat melihat persoalan konflik tenurial (terkait sekumpulan hak pada sejumlah pihak), ketidakadilan dalam perizinan, penebangan liar dan perambahan  hutan, kebakaran hutan, deforestasi, fragmentasi habitat satwa akibat perizinan,  gangguan langsung pada biodiversity, serta sederet masalah lainnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup,  sebagai satu rangkaian, yang integratif, dan bukan parsial.

"Instrumen dasar yang dipakai dalam menjalankan pengelolaan gabungan dalam wujud KLHK, yang utama ialah strick pada prinsip fungsi alam yang tidak boleh terganggu dan harus bisa memenuhi kebutuhan pembangunan sebagaimana mestinya, tapi dengan tetap menjaga kelestariannya,’’  Siti Nurbaya menjelaskan.

Prinsip-prinsip utama itu perlu dikembangkan menjadi ketentuan hukum. Maka, ketentuan itu hadir pada butiran pasal dan ayat dalam UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), khususnya pada bab-bab kehutanan. Menurut Menteri Siti Nurbaya, rangkuman perspektif kebijakaan Presiden Jokowi mewarnai UUCK tersebut, dan menandai adanya perubahan sistem pengelolaan hutan.

"Bobot utama UUCK  adalah penyederhanaan prosedur dan mengatasi hambatan birokratis. UUCK menegaskan posisi izin  sebagai instrumen pengawasan. UUCK juga memberikan jalan keluar pada berbagai kebuntuan dan dispute dalam penggunaan lahan ataupun konflik tenurial," Siti Nurbaya menambahkan.

UUCK itu disebutnya memberikan penegasan yang nyata akan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada masyarakat, baik dalam alokasi penggunaan dan pemanfaatan hutan, demikian pula dalam hal akses pemanfaatan untuk kemantapan perhutanan sosial dengan land holding yang lebih  jelas.

Termasuk di dalamnya penataan kawasan dan kebijakan yang menjamin hak-hal rakyat, serta  bisa memberikan jalan untuk penyelesaian sengketa di hutan adat. UUCK memberi landasan yang lebih kokoh untuk menyongsong era kehutanan pascakayu.

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari