Indonesia.go.id - Insentif Pemanis Industri Kendaraan Listrik

Insentif Pemanis Industri Kendaraan Listrik

  • Administrator
  • Selasa, 21 Juni 2022 | 18:52 WIB
INDUSTRI
  Ilustrasi. Pengisian mobil listrik milik PLN. Pemerintah tengah bergerak cepat memberikan sejumlah insentif fiskal untuk mendorong tumbuhnya ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri. Antara Foto/ Fakhri Hermansyah
Pemerintah bergerak cepat memberikan sejumlah insentif fiskal untuk mendorong tumbuhnya ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri.

Indonesia bertekad menjadi pemain utama kendaraan berbasis listrik. Tekad itu tidak hanya datang dari pelakunya, namun pemerintah juga mendukung mimpi itu dengan memberikan sejumlah insentif untuk menciptakan ekosistem yang ramah.

Di tengah kian tidak menariknya penggunaan bahan bakar berbasis fosil, yang tidak ramah lingkungan, sejumlah produsen kini terus mengembangkan inovasinya kendaraan yang rendah emisi. Kendaraan listrik sendiri sudah ditasbihkan sebagai kendaraan masa depan.

Indonesia kini cukup getol untuk mengembangkan kendaraan listrik. Hal itu seiring dengan semakin bersahabatnya iklim investasi. Sejumlah pabrikan dunia telah berinvestasi untuk kendaraan listrik di Indonesia. Sebut saja beberapa pabrikan, seperti Hyundai, Toyota, Suzuki, Honda, dan Mitsubishi yang sudah menyatakan komitmennya untuk berinvestasi di kendaraan berbasis listrik. Nilai totalnya pun tak tanggung-tanggung, mencapai Rp49,5 triliun.

Adanya komitmen pemain otomotif dunia juga mendorong minat bisnis industri pendukungnya, seperti baterai. Baterai adalah komponen vital bagi wahana tersebut. Salah satunya adalah LG mendirikan pabrik baterai dengan nama PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC).

Tak ingin komitmen-komitmen itu layu, pemerintah bergerak cepat dengan memberikan sejumlah insentif fiskal untuk mendorong tumbuhnya ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri.

Sejumlah insentif telah dikeluarkan. Misalnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2022 atau PMK-13/MK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

PMK itu adalah regulasi yang mengatur pemberian insentif tarif bea masuk 0 persen untuk kendaraan listrik yang diimpor dalam kondisi tidak utuh dan tidak lengkap alias incompletely knocked down (IKD).

Sebelumnya juga telah lahir sejumlah regulasi dalam rangka pengembangan kendaraan listrik dalam negeri. Regulasi itu mulai dari peraturan presiden hingga turunannya setingkat peraturan menteri.

Regulasi pertama yang diundangkan yakni Peraturan Presiden (Perpres) nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai pada 12 Agustus 2019. Perpres itu menjadi aturan awal yang disebut sebagai payung hukum kendaraan listrik Indonesia.

Setelahnya, ada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 73 tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Berikutnya, ada aturan soal kendaraan listrik yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan, yakni Permenhub nomor 45 tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Kendaraan tertentu yang dimaksud adalah skuter listrik, sepeda listrik, hoverboards, sepeda roda satu listrik, dan otoped listrik.

Regulasi lainnya, yakni Permen Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM nomor 13 tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai.

Aturan berikutnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 8 tahun 2020 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2020.

Kementerian Perindustrian juga mengeluarkan dua regulasi, masing-masing Permenperin nomor 27 tahun 2020 tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dan Permenperin nomor 28 tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dalam Keadaan Terurai dan Keadaan Terurai tidak Lengkap.

Sejumlah insentif itu sangat dibutuhkan. Tujuannya, agar harga produk yang dihasilkan menjadi kompetitif. Tak dipungkiri, kisaran harga kendaraan listrik berbasis baterai dinilai masih cukup mahal. Harga mobil jenis ini ada di kisaran Rp600 jutaan per unitnya.

Padahal, segmen mobil yang paling laris di Indonesia berada di kisaran harga jual Rp200--300 juta. Berdasarkan riset Universitas Indonesia (UI), rentang harga ideal mobil listrik berkisar Rp300--350 juta.

Nah, bisa jadi agar iklim industri di subsektor itu lebih menarik lagi, pemerintah berencana memberikan insentif lagi berupa insentif untuk industri hilir nikel dalam negeri yang terkait dengan rantai pasok bahan baku baterai kendaraan listrik global.

Insentif itu berupa memangkas tarif royalti khusus untuk nikel limonit yang digunakan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik dari pungutan yang berlaku saat ini sebesar 10 persen.

Menurut Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sunindyo Suryo Herdadi, pemangkasan royalti tersebut dilakukan untuk menciptakan iklim investasi yang kompetitif pada industri baterai berbahan baku nikel di dalam negeri. “Penurunan tarif royalti khusus untuk nikel limonit yang digunakan sebagai bahan baku baterai, di mana saat ini tarif royalti bijih nikel tidak dibedakan antara saprolit dan limonit yaitu sebesar 10%,” kata Sunindyo, Selasa (12/5/2022).

Berdasarkan laporan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), rencananya pungutan khusus untuk nikel limonit itu akan dipatok maksimal di angka 2 persen. Adapun, angka itu menjadi usulan dari Kementerian ESDM yang belakangan masih dibahas di Kementerian Keuangan.

Selain pemangkasan tarif pungutan, Kementerian ESDM juga berencana untuk menetapkan formula baru untuk penentuan harga patokan bijih nikel limonit yang lebih rendah dibandingkan dengan harga bijih nikel untuk pemurnian produk lainnya. “Langkah itu untuk menjadi daya tarik berkembangnya industri baterai berbahan baku nikel di dalam negeri, saat ini kebijakan atau insentif itu masih dalam proses penyesuaian regulasinya [di Kementerian Keuangan],” sebut asosiasi tersebut.

APNI meminta pemerintah untuk segera mengeluarkan formulasi anyar harga patokan untuk bijih nikel limonit dan kobalt di tengah permintaan yang mulai meningkat untuk pasokan bahan baku baterai kendaraan listrik tahun ini. Alasannya, APNI menyebut harga patokan untuk nikel kadar rendah itu belum kunjung diatur oleh pemerintah yang belakangan berdampak negatif untuk kegiatan hilirisasi bahan baku baterai tersebut.

Menurut APNI, harga patokan yang berlaku belakangan masih terbatas pada nikel kadar tinggi, seperti saprolit untuk menghasilkan nickel pig iron. Konsekuensinya, pelaku usaha sering mengalami kerugian untuk menjual bahan baku baterai kendaraan listrik tersebut.

Bila benar rencana ini direalisasikan tentu menjadi angin segar bagi industri hilir baterai listrik. Komitmen pemerintah untuk menyiapkan insentif bagi industri nikel yang ambil bagian dalam rantai pasok bahan baku baterai kendaraan listrik berbasis katoda nikel tentu sangat positif dan patut didukung.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari