Indonesia.go.id - Ketika Tiang Listrik Amblas ke Dalam Laut

Ketika Tiang Listrik Amblas ke Dalam Laut

  • Administrator
  • Jumat, 17 Juni 2022 | 13:39 WIB
MITIGASI BENCANA
  Seorang warga melihat ke arah salah satu ruas jalan raya yang terputus akibat abrasi pesisir pantai di Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Kamis (16/6/2022). Antara Foto/ Adwit B Pramono
Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sulawesi Utara menduga amblesnya tanah Pantai Amurang lebih dekat ke kejadian geologis ketimbang hidrometeorologis. Ada kemungkinan dampak patahan gempa di masa lalu.

Tak ada angin tak ada hujan. Tak ada pula gedoran gelombang, apalagi gempa, namun sekonyong-konyong tanggul pantai ambles ke laut dan menyeret apapun yang ada di atasnya. Bangunan resor, rumah warga, restoran, pohon kelapa, pohon trembesi raksasa, tiang listrik, dan sebuah jembatan beton sepanjang 60 meter di atas Sungai Ranowangko, runtuh, terseret, dan ambles ke dalam laut.

Bencana alam itu terjadi di Pantai Amurang, kota kecamatan di Kabupaten Minahasa Selatan, pada Rabu (15/6/2022), pukul 14.00. Warga dikejutkan oleh runtuhnya dinding-dinding pantai yang tingginya mencapai 2–5 meter, dan berlanjut dengan gerusan yang semakin luas ke arah daratan. Gerakan tanah yang perlahan itu membuat penghuni rumah sempat menyelamatkan diri.

Tak ada korban jiwa. Namun pada bencana yang berlangsung sekitar satu jam itu, sebanyak 20 unit bangunan amblas terkubur di bibir laut. Kawasan yang terdampak membujur sekitar 1 km di sepanjang pantai kota wisata itu. Pada sebagian tempat, ada yang ambles hanya lima meter, dan di tempat lain ada yang sampai 20 meter ke arah daratan.

Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Minahasa Selatan, sebanyak 20 rumah penduduk dan lima bangunan wisata ambles dan hilang. Lima lainnya rusak parah dan bergeser ke tubir pantai. ‘’Ada 103 rumah lain yang  dikosongkan untuk mengantisipasi terjadinya bencana susulan,’’ kata Plt Kepala BPBD Menahasa Selatan Thorie R Joseph kepada wartawan.

BPBD setempat memastikan, saat musibah itu terjadi tidak ada unsur cuaca ekstrem di Teluk Amurang, salah  satu kawasan wisata di Sulawesi Utara. Tinggi ombak, sesuai dengan prakiraan BMKG, hanya sekitar 50 cm. Hujan justru turun saat  fenomena tanah ambles itu berlangsung.  Bukan sebelumnya. “Banyak warga yang mengatakan mendengar ada suara dentuman, seperti ada dinding runtuh, tapi suaranya dari dalam tanah,’’ Thorie menambahkan.  

Amurang terletak di sebuah tepian teluk sekitar 60 km di sebelah barat daya Kota Manado. Kota wisata itu berada di jalur Trans-Sulawesi. Lokasi longsoran sekitar 150 meter dari Jalan Raya Trans-Sulawesi. Teluk Amurang menghadap ke Laut Sulawesi yang terhubung langsung ke Laut Pasifik.

Seperti pantai di Sulawesi Utara pada umumnya, Teluk Amurang pun sering diterpa  gelombang laut yang tinggi. Utamanya, ketika siklon-siklon tropis Pasifik Barat terbentuk dan bergerak ke barat, arah Kepulauan Filipina. Awan badai itu menimbulkan olakan di laut,  dan pengaruhnya mencapai Sulawesi Utara (Sulut) dalam bentuk hujan lebat disertai ombak yang menghantam pantai. Maka,  beronjong-beronjong kawat berisi batu dipasang menjadi tanggul disejumlah tempat. Fungsinya untuk menahan deburan ombak dan mencegah abrasi.

Pada awalnya, masyarakat Amurang menganggap bencana amblesan (subsidensi) tanah di pantai itu sebagai abrasi biasa. Sebagian pantai di situ terbentuk dari tanah aluvial (tanah endapan) yang lunak dan rapuh terhadap gempuran air laut. Namun, menurut Plt Kepala BPBD Minahasa Selatan Thorie R Joseph, skenario abrasi itu kemudan ditolak karena saat bencana terjadi ombak di laut tidak cukup kuat dan besar. Kerusakan pun hanya terjadi sebatas di pesisir Kelurahan Bitung dan Ukuran Satu, dan terkonsentrasi di lingkungan (RW) 7. Dampaknya tak meluas.

Likuefaksi

Pejabat Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulut Praseno Hadi pun siap melakukan kajian geologis sesuai arahan Gubernur Olly Dondokambey. ‘’Tidak ada angin, tidak ada ombak, tanah tiba-tiba saja ambles. Takutnya, potensi likuefaksi seperti di Palu. Akan diteliti secara geologi. Sebelum ada hasil penelitian, jangan dulu ada pembangunan,’’ kata Praseno Hadi.

Tugas penelitian ini dibebankan ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sulut, yang bekerja sama dengan Pemkab Minahasa Selatan (Minsel). Dinas PUPR Sulut telah menerjunkan tim untuk melakukan observasi pendahuluan situasi di lokasi bencana. ’’Kita perlu pelajari, pada situasi tak ada gempa, kemudian tanah ambles, kemungkinan besar ada patahan,” ujar Kepala Dinas PUPR Sulut Alexander Wattimena.

Dengan menyebut istilah likuefaksi dan patahan, Dinas PUPR Sulut menduga musibah di Amurang itu lebih bersifat bencana geologis ketimbang hidrometeorologis (abrasi). Likuefaksi seperti yang disebut Setprov Praseno Hadi ialah proses tanah yang melumpur sehingga akan bergerak ke arah yang lebih rendah akibat gravitasi. Tanah menjadi seperti bubur encer yang lunak dan bersifat semacam fluida (zat alir).

Proses pelumpuran terjadi karena kadar air yang terlalu tinggi. Dalam peristiwa gempa Palu (2018), tanah endapan (aluvial) yang menyangga Kota Palu sebagian sontak berubah menjadi bubur setelah guncangan gempa membuat kantong-kantong air dalam (akuifer) memancarkan air ke atas. Gempa membuat kantong-kantong akuifer itu tergencet, dan air di dalamnya menyembur ke atas. Likuefaksi di Palu itu berakibat pada amblesnya sejumlah besar bangunan ke dalam lumpur.

Di Amurang tak ada gempa. Namun tanah aluvial di pesisir itu senantiasa basah oleh air laut. Yang dikhawatirkan Kepala Dinas PUPR Sulut Alexander Wattimena ialah jika dalam struktur batuan di bawah pesisir itu ada rongga menganga akibat gempa-gempa masa lalu. Bila titik kritis terlampaui, maka sumbatan pada rongga itu jebol, dan tanah lumpur di atasnya akan mengalir ke dalamnya dan menimbulkan amblesan. Seberapa besar amblesan (subsidensi) itu terjadi, berbanding pada ukuran rongga dalam struktur lapisan batuan di bawahnya.

Pulau Sulawesi berada dalam zona dengan risiko gempa yang cukup tinggi. Berada di zona subduksi (penunjaman), di mana lempeng bumi Indo-Pasific merangsek ke arah lempeng Euro-Asia sejak jutaan tahun lalu. Sulawesi dibangun oleh puluhan fraktur (fragmen pecahan lempeng bumi). Penunjaman satu fraktur ke fraktur yang lain membentuk garis sesar, yang sering memicu gempa.

Saat ini, ada 48 sesar aktif di Sulawesi, dua di antaranya di Sulawesi Utara. Satu sesar melintas dekat Manado dan satu yang lain ada di dekat Amurang. Gempa terakhir yang disebabkan aktivitas sesar di Amurang, menurut catatan di BMKG, terjadi tahun 1932. Yang lebih sering terjadi ialah gempa dari aktivitas subduksi lempengan besar di lepas pantai Sulawesi itu, seperti terjadi pada 1920 dan 1988. Cukup merusak, tapi tanpa tsunami.

Ada jejak catatan gempa di Amurang. Maka, adanya ruang-ruang kosong yang menganga di antara batuan di bawah permukaan pesisir Amurang adalah sebuah keniscayaan. Penelitian geologis akan mengkonfirmasikan kebenarannya, hal yang diperlukan untuk mitigasi bencana.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari