Dengan strategi insentif, pemerintah mendorong peran swasta dalam pengembangan ekonomi hijau.
Komitmen Indonesia menuju transformasi ekonomi ke arah ekonomi hijau telah berulangkali disuarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satunya adalah di KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia.
Bahkan di forum Presidensi G20 Indonesia, transformasi menuju ekonomi hijau telah diputuskan menjadi fokus utama. Harapannya, melalui forum itu, dunia memiliki tanggung jawab bersama untuk menuju dunia yang lebih berkelanjutan.
Khusus soal ekonomi hijau terutama energi baru dan terbarukan (EBT), seperti pernah disampaikan Presiden Jokowi, Indonesia memiliki potensi EBT sebesar 418 giga watt, baik itu air, panas bumi, hingga matahari.
Besarnya potensi ini tentu peluang untuk mewujudkan transisi energi. Namun, untuk menuju ke arah itu tentu membutuhkan investasi besar dan dunia memiliki tanggung jawab bersama mewujudkannya.
Presiden Jokowi pun lantas mengajak sektor swasta untuk ikut berpartisipasi dalam investasi di transisi energi tersebut. "Kita akan buka partisipasi sektor swasta untuk investasi transisi energi ini," katanya.
Dari gambaran di atas, untuk membiayai investasi menuju transisi energi tersebut, butuh keterlibatan sektor swasta.
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana agar sektor swasta bersedia melakukan investasi ekonomi hijau termasuk EBT? Kunci dari maksimalisasi peran swasta dalam pengembangan ekonomi hijau ada pada strategi insentif yang diberikan oleh pemerintah.
Untuk mencapai semua itu, komitmen Indonesia sudah cukup jelas, bahkan strategi pengembangan energi berkelanjutan dan ramah lingkungan cukup jelas tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Negara ini menargetkan penurunan emisi hingga 29 persen dengan upaya sendiri atau hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Berbagai kebijakan dilakukan untuk memastikan agar target ini dapat direalisasikan. Salah satu komponen penting dalam upaya penurunan emisi adalah pendanaan, baik melalui APBN maupun mobilisasi dana sektor swasta.
“Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah (untuk menarik investasi dari sektor swasta) adalah menunjukkan komitmen melalui pendanaan publik. Bagi Indonesia, ini termasuk pengurangan subsidi untuk BBM yang sudah dilakukan dalam lima tahun terakhir. Penurunan subsidi ini cukup menantang mengingat harga minyak dunia saat ini sedang bergejolak,” ungkap Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pada Berlin Energy Transition Dialogue 2022.
Hal lain yang dilakukan Indonesia adalah climate budget tagging dalam APBN. Ini menjadi komitmen semua kementerian untuk menunjukkan anggaran mitigasi perubahan iklim masing-masing. Saat ini, baru 34 persen kebutuhan mitigasi perubahan iklim yang dipenuhi dengan APBN.
“Kita mendorong partisipasi sektor swasta melalui sisi belanja maupun sisi pendanaan. Dari sisi pendanaan, kita melakukan penerbitan sukuk hijau (Green Sukuk) yang konsisten diterbitkan secara reguler dalam lima tahun terakhir,” lanjut Suahasil.
Indonesia juga telah menerbitkan taksonomi hijau yang akan digunakan pemerintah untuk memisahkan sektor dan subsektor usaha yang ramah lingkungan, kurang ramah lingkungan, dan tidak ramah lingkungan. Ini bertujuan untuk mendorong inovasi penciptaan produk, proyek, inisiatif hijau sesuai dengan standar pemerintah.
Pajak dan taksonomi hijau merupakan instrumen penting dalam mitigasi perubahan iklim. Menjadi hal penting bagi Indonesia untuk menyediakan platform yang tidak hanya menjadi katalis dana publik, tapi juga katalis partisipasi sektor swasta.
Suahasil menambahkan, Indonesia berkomitmen untuk terus mengupayakan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pendanaan hijau. APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal akan digunakan untuk terus mendorong transisi energi yang adil dan terjangkau.
Tentu saja, upaya keras Indonesia untuk mendorong transisi energi yang adil dan berkelanjutan tetap patut diapresiasi. Satu laporan yang belum lama ini terbit dari Bain & Company, Temasek and Microsoft bertajuk Southeast Asia’s Green Economy 2022 yang dirilis Selasa (7/6/2022) tentu bisa menjadi perhatian untuk membenahi strategi transisi energi tersebut.
Laporan itu menilai, iklim investasi di sektor energi baru terbarukan di Asia Tenggara perlu dibenahi untuk mencapai target karbon netral, meski dalam dua tahun terakhir kawasan ini telah menyedot USD15 miliar yang dimotori oleh korporasi.
Tahun ini, sebut laporan itu, merupakan titik balik perubahan iklim di Asia Tenggara di tengah upaya kawasan untuk mewujudkan komitmen perubahan iklim dalam tindakan nyata. Pasalnya, sebanyak 10 negara di kawasan ini telah memiliki target netral karbon, bahkan Singapura dan Indonesia menjadi percontohan pajak karbon.
Laporan ini juga mencatat investasi hijau di kawasan ini telah menyerap USD15 miliar secara akumulatif sejak 2020. Bahkan 45 persen dari total investasi hijau itu diserap pada tiga kuartal terakhir.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar masuk pada energi baru terbarukan dan lingkungan binaan atau renewable and built environment. Peran korporasi swasta juga cukup besar yang mencapai USD11 miliar atau sekitar 70 persen dari total investasi hijau pada periode tersebut.
Kendati demikian, sejumlah upaya yang telah dilakukan oleh kawasan ini dinilai belum mampu mengatasi pengurangan emisi dan kesenjangan investasi. Kawasan ini dinilai perlu memiliki peta jalan yang konkret dan insentif serta rencana pembiayaan iklim.
Dale Hardcastle, Partner and Director of the Global Sustainability Innovation Center (GSIC) di Bain & Company, mengungkapkan bahwa Asia Tenggara perlu bergerak dari janji menjadi tindakan dan menjembatani kesenjangan antara peluang dan hasil akan menjadi tonggak penting. “Kami tetap optimis pada peluang ekonomi senilai USD1 triliun di Asia Tenggara, tetapi kami perlu melangkah sebagai kawasan untuk memperkuat pasar yang dapat diinvestasikan dan meningkatkan aliran modal hijau,” katanya, dalam keterangan resminya, Selasa (7/6/2022).
Dia menilai, untuk menangkap peluang ini, bisnis harus dipimpin dengan terobosan inovasi dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Selain itu, regulator dan pasar perlu fokus pada upaya transisi kesiapan solusi.
Kendati demikian, lanjutnya, tidak ada solusi instan untuk teka-teki iklim tersebut. “Teknologi terbukti dengan hasil investasi positif akan berdampak pada pemilik usaha kecil dan petani di fondasi ekonomi untuk memungkinkan transisi yang berkelanjutan.”
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari